Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU seratus meter keluar da-ri halaman rumah Laksamana Muda (Purnawirawan) Sony Santoso di Perumahan Taman Ro--yal 2, Jalan Hasyim -Ashari, Ta--ngerang, Banten, mobil yang -ditumpangi Abdul Basith dicegat puluhan polisi berse-ragam lengkap pada Sabtu dinihari, 28 September lalu. Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor itu satu mobil dengan temannya di Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara, Laode Sugiono. “Saya lihat kanan dan kiri ada polisi,” kata Abdul Basith kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Mereka baru saja mengikuti pertemuan di kediaman purnawirawan Tentara Nasio-nal Indonesia Angkatan Laut tersebut. Basith, 62 tahun, mengatakan Sony meminta dia datang ke Tangerang untuk rapat bersama Sugiono dan beberapa anggota Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara. “Pertemuan menyepakati Sabtu subuh peledak akan didistribusikan kepada para eksekutor,” ujar Basith.
Dalam pertemuan dua jam tersebut, mereka juga merancang teknis peledakan di sejumlah lokasi di Jakarta. Mereka memilih hari itu karena berbarengan dengan unjuk rasa “Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI”. Rute demonstrasinya dari Istana Negara hingga gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta Selatan. Laode Sugiono ikut satu mobil dengan Basith karena hendak mengambil bom yang sudah dirakit dan dibuat di rumah sang dosen di Dramaga, Bogor, Jawa Barat. “Keluar dari rumah, kami dikepung polisi,” kata Basith.
Saat menggeledah mobil Basith, -polisi me-nemukan selongsong gas air mata di kan-tong jok. Kepada polisi, ia mengatakan selongsong itu ditemukan di jalan dan sudah berbulan-bulan ditaruh di sana. Sepuluh polisi yang mengaku dari Sub-Direktorat Kejahatan dan Kekerasan Kepolisian Daerah Me-tropolitan Jakarta Raya itu lantas memeriksa telepon seluler Basith dan Sugiono. “Polisi bilang ada pembicaraan yang mencurigakan di HP saya. Setelah itu, saya digiring ke kantor polisi,” ujar ayah dua anak ini.
Polisi merangsek ke rumah Sony karena mendapat informasi Basith dan kelompok-nya sedang menyiapkan kerusuhan. Setelah mengintai hampir tiga jam, polisi mendekati lokasi karena rapat baru saja kelar. “Mereka baru selesai rapat membahas teknis soal letusan,” kata Kepala Sub-Direktorat Keamanan Negara Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Dwiasi Wiyatputera.
Menurut Dwiasi, polisi mengintai kelompok tersebut sejak 20 September lalu. Polisi mengantongi informasi rencana awal kerusuhan seharusnya pada 26 -September de--ngan agenda pemakzulan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran isu kebakaran hutan, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan adanya rancangan undang-undang bermasalah. Dari pengamat-an polisi, Dwiasi mengatakan, kelompok ini sepakat tidak ada pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. “Fakta penyidikan, kelompok ini telah mempersiapkan dengan sangat matang dan telah menentukan beberapa titik untuk diledakkan,” ujarnya.
Organisasi yang diikuti Basith sejak 2016 ini mempunyai gagasan membentuk lima majelis di Majelis Permusyawaratan Rak-yat yang diwakili tentara/polisi, buruh, akademikus, sultan/raja, dan organisasi profesi lain. “MPR yang akan memberikan mandat kepada presiden dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Sekarang kan pakai demokrasi liberal,” ucap Basith.
Setelah menangkap Basith dan Sugiono, tim yang dipimpin Kepala Sub-Direktorat Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Jerry Siagian menciduk Sony Santoso. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan Sony berperan menentukan target yang akan dibom. “Dia juga merekrut eksekutor pelempar bensin dan bom molotov,” kata Dedi.
Keesokan harinya, polisi bergerak ke ke--diaman Abdul Basith di Pakuan Regency, Jalan Linggabuana X G VI/1, RT 003 RW 007, Margajaya, Dramaga, Bogor. Di sana, tim menangkap empat orang pembuat bom. Polisi menyita 29 bom ikan yang terbuat dari lada, detergen, bensin, fosfor, dan paku yang dikemas dalam botol Krating-daeng. Bom-bom ini ditemukan di salah satu lemari di lantai dua kediaman Basith.
Menurut polisi, bom-bom itu dibuat dari botol dan dibalut dengan lakban tebal sehingga menimbulkan daya ledak tinggi. Sumbu bakarnya dari gagang lolipop yang dililit benang dan kertas yang diisi dengan fosfor merah. “Daya ledaknya tinggi karena di dalam balutan ada kandungan paku. Andai ini meledak, daya hancurnya tinggi, bukan bom motolov sederhana,” ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Komisaris Besar Asep Adi Saputra.
Basith mengaku ada empat orang yang membuat bom di kediamannya. Dosen IPB sejak 1984 ini bahkan baru pertama kali melihat bahan bom bisa dibuat dari mi instan. “Ada yang dari Supermi digencet-gen-cet,” tuturnya. Ia sudah meminta para pembuat bom itu pergi setelah -pekerjaan mereka selesai. “Saya sudah meminta mereka segera memindahkan peledak ini dari rumah saya, tapi tetap saja disimpan di sana,” katanya.
Sony Santoso dan Laode Sugiono kini berstatus tahanan. Polisi tidak mengizinkan Tempo menemui mereka untuk meminta konfirmasi. Kepada wartawan, anak Sony mengaku belum mengetahui kasus yang menjerat ayahnya. Keluarga Sony akan segera menunjuk pengacara untuk bekas calon legislator dari Partai Berkarya itu. Adapun Sugiono, menurut Basith, yang ditahan satu sel dengannya, belum mau terbuka, termasuk kepada polisi.
Titik Pengeboman
GAGASAN kerusuhan ini tercetus dalam pertemuan di rumah bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Ma-yor Jenderal (Purnawirawan) Soenarko di Kampung Utan, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada 20 September lalu. Abdul Basith mengatakan rapat ini dihadiri 15 orang, di antaranya sang tuan rumah; bekas Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana (Purnawirawan) Slamet Soebijanto; Sony Santoso; dan Laode Sugiono.
Dalam persamuhan itu, kata Basith, Soenarko menyimpulkan yang membuat ricuh negeri ini adalah etnis Cina yang tinggal di Indonesia dan dari negara lain. “Pak Narko dan kawan-kawan menyimpulkan ini duri dalam daging, harus ada ‘terapi’,” ujar Basith.
Kesimpulan dari pertemuan tersebut, menurut Basith, mereka bersepakat meng-usik dan mengusir warga etnis Cina yang di--anggap nakal. Caranya dengan meng-ganggu bisnis mereka. “Saat rapat itu sepakat perlu dibuat letusan dan ledakan di tujuh titik,” katanya. Lokasi yang dipilih adalah yang menjadi pusat bisnis etnis Cina, di antaranya Glodok dan Kelapa Gading, Jakarta Utara; Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur; Pasar Senen, Jakarta Pusat; serta Taman Anggrek, Jakarta Barat.
Salah seorang peserta pertemuan, Lao-de Sugiono, menyanggupi untuk menyiapkan ledakan. Dia bersedia mendatangkan pembuat peledak sebanyak 20 orang dari kampung asalnya, Buton, Sulawesi Tenggara. Mereka memperkirakan butuh dana setidaknya Rp 40 juta untuk mendatangkan orang-orang yang kebanyakan bekerja sebagai nelayan tersebut.
Dari 20 orang itu, yang bisa didatangkan hanya empat nelayan, yakni Laode Samiun, Laode Alu Ani, Laode Nadi, dan Jahlan Ra Ali. Mereka diterbangkan dari Maluku dan Papua Barat pada Selasa, 24 September lalu. Dari informasi Laode Sugiono, Basith mengetahui Soenarko yang membiayai perjalanan mereka. “Setelah sampai, mereka tinggal di rumah saya,” ujarnya.
Keesokan harinya, mereka berbelanja bahan bom. Basith mengaku tak memberi mereka uang. “Kalau ada andil, saya cuma beli bensin tiga liter dan menyediakan tempat tinggal,” katanya. Basith mengaku tak tahu dari mana dana yang digunakan untuk belanja bahan bom ikan dan paku.
Awalnya para pembuat bom ini akan me-nginap di rumah Slamet Soebijanto di Ci--bubur, Jakarta Timur. “Rumahnya penuh, ditempati orang-orang yang persiap-an demo di Cilangkap (Markas TNI),” ucap Basith.
Menurut Basith, Slamet Soebijanto juga bertugas mengajak para tentara keluar dari markas untuk bergerak bersama buruh, pelajar, dan sultan atau raja ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 September lalu. “Untuk menduduki gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat,” kata Basith. Namun aksi ini batal karena TNI enggan ikut. “Itu tugasnya Pak Slamet membujuk TNI keluar,” ujarnya.
Slamet Soebijanto saat aksi di Markas Besar TNI di Cilangkap menyerukan ribuan orang dari gabungan mahasiswa, buruh, dan warga itu berjuang untuk kepentingan rakyat. “Saya minta kalian tetap di sini selama dua hari. Tunjukkan keteguhan hati kalian,” kata Slamet melalui pengeras suara, Rabu, 25 September lalu. Massa juga menginginkan TNI keluar dari sarangnya dan ikut mendampingi mereka dalam menyuarakan aspirasi di gedung DPR.
Ditanyai Tempo soal tuduhan keterlibatannya merencanakan pengeboman bersama Abdul Basith, Soenarko, dan kelompok-nya, Slamet Soebijanto membantah. “Mereka berusaha menarik saya. Tapi pandangan mereka berbeda, jadi saya tidak mau,” ujar Slamet, Jumat, 4 Oktober lalu.
Polisi Militer Angkatan Laut sudah memanggil Slamet Soebijanto. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Muda Mohammad Zaenal mengatakan lembaganya mengundang Slamet untuk berdialog karena terlibat dalam aksi tersebut dan menggunakan atribut TNI. “Ia terlihat mendukung aksi dengan menggunakan atribut topi dengan logo TNI AL berbintang empat,” ucap Zainal dalam keterang-an tertulis.
Soenarko belum bisa diwawancarai lang-sung soal tuduhan keterlibatannya dalam kasus ini. Ia hanya bisa menjawab pertanyaan Tempo secara tertulis pada Jumat, 4 Oktober lalu. Soenarko mengaku menge-nal kelompok Majelis Kebangsaan Pancasi-la Jiwa Nusantara melalui Laksamana (Purnawirawan) Slamet Soebijanto. Ia juga membenarkan ada pertemuan pada 20 September lalu bersama Abdul Basith dan kelompoknya. Tapi, menurut Soenarko, itu pertemuan silaturahmi biasa dan tak ada pembicaraan soal etnis Cina. Ditanyai soal pertemuan yang mempersiapkan peledakan dalam Aksi Mujahid 212, Soenarko mengatakan, ”Tidak ada rencana semacam itu.”
LINDA TRIANITA, LANI DIANA, HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo