Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Klub Diskusi Dosen Ekonomi

Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara dituding sebagai kelompok di balik rencana kerusuhan yang melibatkan Abdul Basith. Bertekad menarik tentara ikut demonstrasi.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Markas Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara dan Pancasila Center di Jalan Cawang Baru Tengah, Jakarta./foto-foto: TEMPO/Hussein Abri Dongoran
Perbesar
Markas Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara dan Pancasila Center di Jalan Cawang Baru Tengah, Jakarta./foto-foto: TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEMBARI membuat bagan di papan tulis sepanjang dua meter menggunakan spidol biru dan merah, Slamet Soebijanto menjelaskan apa saja yang dibahas dalam organisasinya selama delapan tahun terakhir. Sejak 2010, mantan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut ini menjadi pemimpin di Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara. “Pancasila kita salah arah dan sistem demokrasi gelap,” ujar Slamet kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober lalu.

Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara disorot karena disebut polisi merupakan kelompok yang akan mendompleng unjuk rasa bertajuk “Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI” pada 28 September lalu. Menurut pengakuan tersangka, Abdul Basith, ia bersama sejumlah anggota majelis ini merencanakan pengeboman sejumlah tempat di Jakarta berbarengan dengan aksi tersebut untuk membuat kekacauan. Dosen ekonomi dan manajemen Institut Pertanian Bogor itu menyebut Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara sebagai klub diskusi wawasan kebangsaan. “Saya masuk pada 2016,” kata Basith.

Basith menyebutkan Slamet Soebijanto, sebagai pemimpin Majelis Kebangsaan Pancasila, aktif mengikuti rapat-rapat perencanaan kerusuhan. Ia bahkan menyata-kan Slamet punya tugas khusus dalam rencana kerusuhan tersebut. Menurut Basith, Slamet bertugas memimpin aksi di depan Markas Besar TNI. Tujuannya menarik tentara agar sama-sama turun ke lapang-an. “Pak Slamet ditugasi membujuk TNI ikut keluar aksi,” ujarnya. “Aksinya untuk menduduki gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Namun aksi ini batal karena TNI tidak bisa dibujuk, sehingga Majelis Kebangsaan Pancasila memutuskan mendompleng Aksi Mujahid 212.

Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nu-san-tara pun sudah membuat skema ihwal tata berbangsa dan bernegara dengan landasan Pancasila. Dalam bagan yang digambarkan oleh Slamet Soebijanto, Majelis Permu-syawaratan Rakyat memegang kendali -tertinggi di Indonesia. MPR akan diwakili oleh perwakilan sesuai dengan sila yang ada di Pancasila. Misalnya agamawan, cendekiawan, TNI serta bala cadang-an, raja atau sultan atau pemangku adat, dan profesional.

Slamet Soebijanto/foto-foto: TEMPO/Hussein Abri Dongoran

Orang yang duduk di MPR, Slamet melanjutkan, diambil dari setiap wilayah di Indonesia dan mewakili lima unsur terse-but. Nanti mereka akan berbicara sesuai de-ngan kebenaran ilmu yang dimiliki. “Jadi tidak gado-gado seperti saat ini. Bicara benar atau salah, tidak untung atau rugi,” katanya. Dalam bagan yang dibuat Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara, presiden akan menjadi mandataris MPR. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat akan menjalankan tugas pembuatan undang-undang yang disusun MPR.

Menurut Slamet, sejak memimpin Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara bersama empat tokoh lain, yakni Rudy Alfian, Mulyono Santoso, Adityawarman Chandra, dan Nendi Asep Sugandi, ia sudah berkeliling ke seribu lokasi di seluruh negeri. Mereka bertemu dengan perwakilan agama, pendidikan, militer, raja, dan para pekerja profesional. Mereka pun sudah mempersiapkan nama-nama yang akan duduk di MPR. “Siapa pun presidennya, ya, silakan,” ujar Slamet.

Kajian yang dilakukan Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara juga disalurkan ke mahasiswa. Menurut Mulyono, Majelis Kebangsaan Pancasila punya Pancasila Center untuk membahas masalah Pancasila dan negara di kampus-kampus. Di Jakarta, markas Pancasila Center berada di Jalan Cawang Baru Tengah Nomor 80. Menurut Abdul Basith, kajian rutin diadakan pada malam Sabtu atau malam Minggu.

Tempo pun mendatangi markas Majelis Kebangsaan Pancasila dan Pancasila Center di Jalan Cawang Baru Tengah. Ketika itu, ada satu mobil Innova yang terparkir di rumah bercat putih. Di dalamnya ada ba--nyak sepeda motor terparkir. Oki Reval Djulianda, mahasiswa Universitas Islam Negeri Bandung, yang tinggal di sana, menga-takan rumah tersebut memang rutin dipakai kumpul-kumpul oleh para mahasiswa ataupun aktivis lain. Selain menjadi tempat Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara dan Pancasila Center, rumah milik Rosita—saudara Mulyono—itu dijadikan kantor konsultan.

Kajian Majelis Kebangsaan Pancasila inilah yang dibawa Slamet Soebijanto beserta mahasiswa dan masyarakat saat berdemonstrasi di depan gerbang Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta Timur. Mereka menyuarakan penerapan sistem Pancasila se--suai dengan kajian mereka di negeri ini. Menurut Adityawarman Chandra, sebetulnya saat ini perwakilan itu sudah ada, tapi tidak punya peran. Ia mengibaratkan seperti orang yang punya tangan tapi ta-ngannya diikat. Untuk makan, orang yang ta-ngannya diikat itu harus disuapi oleh orang lain.

Slamet Soebijanto menuturkan, aksi di depan Mabes TNI itu murni gerakan mahasiswa dan bukan dirancang dalam pertemuan di rumah bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Soenarko. “Saya eng-gak tahu ada pertemuan itu,” ujarnya. Ia hanya mengawal mereka bertemu dengan TNI lantaran cuma institusi itu yang bisa dipercaya saat ini. Slamet tak gentar jika nanti ia dan Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara dituding akan melakukan makar kepada pemerintah. “Terserah saja, yang dijalankan saat ini politik kekuasaan. Dan kami sudah biasa diancam,” katanya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, LINDA TRIANITA


 

Ketua Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara Slamet Soebijanto:

Kami Tidak Tahu Rencana Itu

 

SATU hari setelah membawa ribuan mahasiswa dan kelompok pekerja ke gerbang Markas Besar Tentara Nasional Indonesia di Cilangkap, Jakarta Timur, Slamet Soebijanto dipanggil oleh Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Laut. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut ini diinterogasi oleh para juniornya ihwal alasan membawa massa ke tempat yang merupakan obyek vital negara. “Di antaranya ditanya apakah saya ingin mengganti pemerintahan,” ujar Slamet kepada Hussein Abri Dongoran dan Linda Trianita dari Tempo di rumahnya di Cibubur, Jakarta, Jumat, 4 Oktober lalu.

Slamet mengatakan demonstrasi itu terjadi karena mahasiswa dan masyarakat merasakan ada ketidakberesan dalam pemerintahan saat ini. Ketika diwawancarai, dia didampingi Adityawarman Chandra dan Mulyono Santoso. Ketiganya bergabung dalam satu organisasi, Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara.

 

Untuk apa Anda ikut aksi mahasiswa dan masyarakat di gerbang Mabes TNI?

Ingin menyampaikan aspirasi dan tanggung jawab TNI terhadap keutuhan wilayah. Saya bilang ke penjaga, negara sudah di ujung tanduk dan perpecahan. Yang dirusak sistem dan TNI wajib menyelamatkan bangsa ini.

Anda ingin mengajak TNI terlibat dalam aksi?

Sudah saya ajak sejak dulu, TNI harus mengambil langkah penyelamatan. Kalau saat itu ada respons, tentunya TNI akan menggiring para mahasiswa ke MPR. TNI ke MPR bersama rakyat.

Kenapa memilih mengadu ke TNI?

Karena ke DPR tidak mungkin, begitu juga ke partai. Maka satu-satunya tempat mengadu ya TNI. Karena TNI punya Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yang setia kepada Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.

Apakah betul Anda yang mengkoordinasi dan menyiapkan rumah Anda untuk tempat menginap massa?

Tidak ada. Mereka itu datang ada yang dari Bandung pada 25 September pagi. Kumpul di Masjid Al-Ikhlas, yang jaraknya satu kilometer dari rumah saya.

Kami mendapat informasi bahwa aksi itu direncanakan pada 20 September lalu di rumah mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat, Soenarko, termasuk rencana pengeboman? Anda dan Mulyono disebut ikut dalam pertemuan itu....

Tidak. Ini perlu diluruskan. Adik mahasiswa itu intelektual. Dia datang ke sini karena tahu saya pemimpin Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara. Saya beri arahan, jangan pergi ke mana-mana selain ke TNI. Karena mereka tidak berani, saya antar. Sampai di sana, diterima oleh TNI pun tidak. Tapi suara kami sudah sampai ke mereka. Kami tak tahu dan tak terlibat rencana itu.

Mulyono: Kami tidak ikut. Itu gerakan lain. Karena mereka misinya menurunkan rezim dan mengembalikan dasar UUD 1945. Kalau kami lain, tidak menurunkan rezim, tapi mengganti sistem dari demokrasi ke Pancasila.

Abdul Basith mengatakan dia menerima pembuat bom untuk tinggal di rumahnya karena rumah Anda saat itu penuh lantaran banyak orang yang menginap pada 24 September....

Tanggal 24 itu tidak ada. Tanggal 25 ya kami saja, tidak ada Pak Abdul Basith juga.

Anda kenal Laode Sugiono, salah satu tersangka kasus persiapan kerusuhan dalam “Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI”?

Saya tidak tahu. Saya kan pemimpin Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara, sehingga banyak orang yang datang.

Mulyono: Saya kenal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri

Hussein Abri

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus