Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makin jelas pertanda perekonomian dunia melambat. Resesi di ambang pintu. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan nilai perdagangan antarnegara tahun ini hanya tumbuh 1,2 persen, terendah sejak 2009. Perdagangan dunia merupakan motor penggerak ekonomi yang sangat vital. Jika perdagangan global melambat, aktivitas bisnis di seluruh dunia pasti lesu darah.
Indonesia juga mengalami gejala itu. Salah satunya tampak pada rendahnya penerimaan perpajakan pemerintah, yang per akhir Agustus 2019 baru mencapai 51 persen. Bukan cuma itu. Yang lebih seram mencerminkan perlambatan ekonomi adalah rendahnya penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) baik dalam negeri maupun impor sepanjang Januari-Agustus 2019. Keduanya merosot tajam dibanding tahun lalu, minus 6,5 persen untuk PPN dalam negeri dan minus 6 persen untuk PPN impor.
Nilai PPN yang masuk ke kas negara mencerminkan kondisi bisnis paling riil dan mutakhir. Pemerintah memungut PPN atas segala transaksi yang melibatkan wajib pajak. Maka merosotnya penerimaan PPN punya arti yang jelas: aktivitas bisnis sedang menurun.
Pangkal persoalan perlambatan bisnis secara global ini memang nun jauh di sana, tak lepas dari kekeliruan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sejak awal Trump punya anggapan bahwa perang dagang dengan Cina baik buat ekonomi Amerika dan mudah ia menangi. Logikanya, jika barang-barang Tiongkok menjadi lebih mahal karena terkena tarif bea masuk, industri manufaktur Amerika akan bangkit dan mampu bersaing melawan barang Cina yang terkenal murah.
Logika ini terbukti bengkok. Trump dan para pembantunya mengabaikan fakta bahwa industri manufaktur Amerika sangat bergantung pada rantai pasokan komponen dan berbagai bahan baku juga dari Cina. Ketika rantai pasokan ini terganggu, aktivitas industri manufaktur Amerika ikut tersendat. Alih-alih menyehatkan, perang dagang melawan Cina justru memukul industri manufaktur Amerika. Dampak buruk itu tampak pada merosotnya indeks nasional aktivitas pabrik hasil survei Institute for Supply Management (ISM), yang menjadi panutan pasar. Per September 2019, indeks ISM hanya 47,8. Ini titik terendah sejak Juni 2009.
Sayangnya, logika bengkok juga tengah mendominasi pemikiran para penguasa di Indonesia. Untuk mengatasi datangnya resesi, pemerintah ingin meningkatkan arus investasi langsung. Sampai di sini logika ini masih lempang. Namun, berikutnya, muncul kekeliruan fatal ketika upaya pemberantasan korupsi justru dituding sebagai penghambat investasi. Pemerintah pun mengebiri kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kabarnya, itu merupakan kesepakatan agar Dewan Perwakilan Rakyat meluluskan revisi Undang-Undang Perburuhan, yang tidak disukai calon investor.
Betul, revisi Undang-Undang Perburuhan dapat memperbaiki kesempatan Indonesia memenangi persaingan merebut investasi. Namun jika untuk itu pemerintah mengorbankan pemberantasan korupsi, hasil akhirnya malah bisa memukul balik ekonomi. Sudah banyak bukti bahwa korupsi justru membawa dampak buruk pada ekonomi dan minat berinvestasi.
Satu contoh saja: korupsi justru menciptakan ekonomi biaya tinggi lantaran kebutuhan investasi di setiap proyek akan menggelembung tinggi demi mengakomodasi uang semir dan potongan komisi. Kalau toh ada investasi, Indonesia hanya akan mendapat yang tak berkualitas. Investor yang datang hanyalah pemburu rente atau pengeruk sumber daya alam, bukan pebisnis jujur yang tulus berniat meningkatkan produktivitas ekonomi. Singkat kata, ekonomi menjadi tidak efisien. Dibutuhkan kerja lebih keras dan investasi jauh lebih besar untuk membuat ekonomi tumbuh.
Entah, apakah masih ada kemungkinan memperbaiki cara berpikir yang sungguh keliru ini. Dengan logika yang bengkok itulah Indonesia kini harus menyambut datangnya ancaman resesi.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo