Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Padam Pasal Sisipan

Pembahasan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara semula hendak dikebut menjelang berakhirnya masa tugas anggota Dewan. Memberikan perlakuan khusus kepada pengusaha batu bara pemegang kontrak generasi pertama.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas memantau heavy dump truck yang menurunkan batu bara di kawasan tambang milik Adaro, Tabalong, Kalimantan Selatan, Januari 2017./ ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat itu dikirim kepada pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat beberapa saat sebelum lima menteri dan anggota Komisi Energi bertemu di Senayan untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Bersifat “sangat segera”, surat yang diteken Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial pada Jumat, 27 September lalu, itu meminta pembahasan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara ditunda.

Kementerian Energi melayangkan surat itu setelah Presiden Joko Widodo memanggil sejumlah menteri, termasuk Menteri Energi Ignasius Jonan, ke Istana Merdeka pada Jumat pukul 9 pagi. Merujuk pada surat tadi, Jokowi meminta Jonan menunda pembahasan mengingat kondisi masyarakat yang tengah bergejolak. Situasi kian panas setelah ribuan mahasiswa dan pelajar menggelar aksi unjuk rasa di berbagai daerah. Mereka menolak pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi serta menentang sejumlah rancangan undang-undang yang ditengarai bermasalah.

Pertemuan di Istana Merdeka itu berlangsung singkat, hanya sekitar 30 menit. Empat menteri dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko hadir pagi itu. Selain mengundang Jonan, Jokowi memanggil Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, serta Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

Mereka bergegas meninggalkan Istana Merdeka seusai rapat. Yasonna cuma mengatakan pertemuan membahas situasi teranyar. Jonan malah enggan berbicara. “Tanya Pak Moeldoko,” ujarnya. Tapi Moeldoko menutup informasi rapat-rapat. “No comment,” katanya.

Sejumlah sumber yang mengetahui pertemuan itu bercerita, Presiden menegur Jonan dan beberapa menteri lain karena pembahasan beberapa rancangan undang-undang masih berlangsung. Padahal Jokowi telah memerintahkan menundanya. Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar hanya berkomentar singkat mengenai teguran itu. “Sesuai dengan arahan Presiden saja,” ucapnya, Kamis, 3 Oktober lalu.

Setelah berkonsultasi dengan DPR pada Senin, 23 September lalu, Presiden meminta Dewan menunda pengesahan empat rancangan undang-undang. Rinciannya: Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Undang-Undang Pertanahan, serta Undang-Undang Pemasyarakatan.

Pembahasan nyatanya terus berlangsung, bahkan makin intensif di ujung masa tugas anggota Dewan. Pada Rabu malam, 25 September lalu, Kementerian Energi menyerahkan daftar inventarisasi masalah untuk perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 kepada Komisi Energi. Pertemuan yang semula dirancang berlangsung pada pukul 13.00 itu digeser ke malam hari karena Menteri Energi dan wakilnya dipanggil mengikuti rapat di Istana.

Ego Syahrial satu-satunya wakil pemerintah yang hadir pada malam itu. Dihadiri delapan anggota Dewan dari enam fraksi pendukung pemerintah, rapat dipimpin Wakil Ketua Komisi Energi dari Fraksi Partai Golkar, Ridwan Hisjam. Ia sempat mengatakan pembahasan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara akan terus digeber. Alasannya: “Yang diminta Presiden untuk ditunda itu pengesahannya, bukan pembahasannya.”

Itu sebabnya Komisi Energi tetap mengagendakan sejumlah rapat. Pada hari ketika Jokowi memanggil sejumlah menteri ke Istana Merdeka itu, sejatinya Komisi Energi melakukan rapat kerja dengan Menteri Energi Jonan, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Pertemuan bahkan rencananya dilanjutkan pada malam hari dengan agenda lebih penting: pengambilan keputusan tingkat I.

GRUP WhatsApp anggota Komisi Energi DPR geger pada Jumat pagi, 27 September lalu. Sejumlah anggota mempertanyakan jadwal rapat maraton hari itu untuk membahas revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kardaya Warnika, anggota dari Fraksi Partai Gerindra, mempersoalkan intensifnya pembahasan di Komisi. Padahal Presiden Joko Widodo meminta penundaan. “Mana yang benar?” ia bercerita kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober lalu.

Apalagi agenda rapat sesi malam adalah pengambilan keputusan tingkat I. “Panitia kerja saja belum terbentuk, kok, tiba-tiba mau dibahas dan diketuk. Ini secara proses sudah cacat,” ujarnya.

Kardaya mengemukakan berbagai alasan perlunya penundaan. Salah satunya masa kerja anggota Dewan periode 2014-2019 tinggal beberapa hari sehingga tak mungkin dipaksa merampungkan seluruh pembahasan. Dokumen daftar inventarisasi masalah (DIM) pun belum terdistribusi merata ke semua anggota Komisi. “Jumat pagi itu saya belum menerima. Bagaimana mau membahas dan membuat keputusan?” katanya.

Anggota lain, Maman Abdurrahman dari Fraksi Partai Golkar, mengungkapkan, dari hampir 50 anggota Komisi Energi, hanya lima orang yang berkeras meminta revisi Undang-Undang Minerba tidak disahkan, termasuk dirinya. Maman beralasan, meski berasal dari partai pendukung pemerintah, dia tak ingin revisi undang-undang dibuat terburu-buru.

Pada Jumat siang, keriuhan grup percakapan anggota Komisi Energi reda setelah surat dari Kementerian Energi diterima. “Sesuai arahan dari pimpinan maka rapat kerja dengan lima menteri terkait pembahasan DIM dibatalkan,” begitu pesan yang beredar di grup percakapan anggota Komisi.

DOKUMEN daftar inventarisasi masalah untuk merevisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara beredar sehari setelah Kementerian Energi menyerahkannya ke Komisi Energi DPR. Penolak-an pun bermunculan. Sejumlah koalisi masyarakat meminta pemerintah menarik kembali dokumen tersebut. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah, menyatakan substansi DIM itu bermasalah karena lebih dari 90 persen memfasilitasi pengusaha dan investor. Sedangkan aturan mengenai bauran energi, keselamatan rakyat, juga kelestarian lingkungan belum terakomodasi.

Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi, Sukhyar, menyebutkan salah satu persoalannya adalah bab peralihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 luput mengatur hal setelah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) atau kontrak karya berakhir. Ia mengatakan, berdasarkan berbagai kajian akademis, bila kontrak berakhir, wilayah kerja dan asetnya harus dikembalikan kepada negara.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan (kiri) dan Wakil Menteri Arcandra Tahar sebelum mengikuti rapat kerja dengan Komisi Energi DPR.

Simon Sembiring, yang juga mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, punya pendapat senada. Menurut dia, pada prinsipnya, setiap kontrak bisa diperpanjang. Tapi, khusus PKP2B generasi pertama, semuanya harus kembali kepada negara dulu setelah kontrak berakhir. Pemegang PKP2B generasi pertama adalah PT Tanito Harum, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal.

Berdasarkan kontrak, Simon menambahkan, semua aset dalam operasi tambang, termasuk cadangan dan peralatan, adalah milik negara. Walhasil, setelah kontrak berakhir, semuanya harus dikembalikan kepada negara. Korporasi yang ingin mengusahakannya, baik perusahaan baru maupun yang hendak memperpanjang kontrak, harus mengajukan permohonan dan memberikan kompensasi kepada negara atas aset yang akan digunakan.

Artinya, perlu ada penilaian terhadap aset-aset setelah operasi tambang berakhir. Pemerintah, kata Simon, bisa meminta penilai independen menghitungnya. Hasilnya menjadi acuan bagi korporasi yang akan mengelolanya.

Simon menyayangkan materi DIM revisi Undang-Undang Minerba yang memberikan perpanjangan tanpa melalui mekanisme seperti sebelumnya. Kementerian Energi menyisipkan lima poin di antara pasal 169 dan pasal 170. Di pasal 169A, misalnya, pemegang kontrak karya dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus operasi produksi sebagai kelanjutan operasi.

Yang belum memperoleh perpanjangan akan mendapatkannya dalam jangka waktu dua kali sepuluh tahun. Adapun perusahaan yang telah memperoleh perpanjangan pertama akan memperoleh perpanjangan kedua paling lama sepuluh tahun.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan perpanjangan PKP2B merupakan ranah pemerintah. Selain berwenang memberikan perpanjangan, pemerintah adalah bagian dari PKP2B karena ikut menandatanganinya. Bagi Asosiasi, ia menambahkan, poin utamanya adalah bagaimana aturan tersebut bisa menjamin dan menarik untuk peningkatan investasi, baik dari investor yang sekarang beroperasi maupun yang akan datang. Hendra membandingkannya dengan PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, yang telah memperoleh perpanjangan kontrak.

Perdebatan materi revisi Undang-Undang Minerba tidak hanya terjadi di kalangan pelaku usaha dan masyarakat. Di lingkup internal pemerintah juga belum ada kata sepakat. Dokumen DIM yang Kementerian Energi serahkan kepada DPR belum mendapat paraf dari Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Airlangga menyampaikan ketidaksepakatannya dalam dua surat. Pertama, pada 13 September lalu, ia meminta kegiatan pemurnian dihapuskan dari proses bisnis pertambangan. Ia ingin aktivitas itu masuk ke sektor perindustrian. Kedua, 19 September lalu, ia hanya membubuhkan paraf pada poin yang diusulkan Kementerian Perindustrian.

Kepala Subdirektorat Industri Logam Kementerian Perindustrian Sri Bimo Pratomo mengatakan persoalannya adalah demarkasi. “Kami maunya jelas. Kalau konsentrat tambang, di ESDM. Tapi, kalau sampai ke produk, terintegrasi atau tidak, ya masuk wilayah industri.”

Kementerian Energi menolaknya. Karena itu, Wakil Menteri Energi Arcandra mengirim surat pada 23 September lalu agar Kementerian Koordinator Perekonomian memfasilitasi rapat pengambilan keputusan atas perbedaan pendapat tersebut. Ia melayangkan surat senada kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Dengan adanya berbagai sengkarut itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad menyarankan pembahasan daftar inventarisasi masalah tak serta-merta dilanjutkan oleh anggota Dewan periode 2019-2024.

Karpet Merah Pengusaha Tambang

RETNO SULISTYOWATI, FRISKI RIANA, VINDRY FLORENTIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus