"SAMPAI di pojok dunia manapun, kwitansi itu tidak palsu. Kalau
salah, saya digantung atau ditembak juga mau." Ini penegasan ir.
L. Panggabean setelah melihat nasib ibunya, Ny. A. Sitompul,
yang dijatuhi hukuman 3 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Utara-Timur 18 Mei lalu. Pengadilan yang dipimpin Hakim
etua A. Samad SH itu menyatakan wanita berusia 70 tahun
tersebut bersalah menyuruh anaknya, Panggabean, melakukan
pemalsuan surat kwitansi. Panggabean, selain menyatakan kehendak
ibunya untuk naik banding, juga menantang agar dia dijadikan
terdakwa. Karena kwitansi yang jadi pokok persoalan ini dialah
yang menulisnya.
Kasus ini bermula dari soal hutang-piutang. Karena menyangkut
perwira ABRI, Panggabean melapor kepada Menteri Penertiban
Aparatur Negara, Kaskopkamtib, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung
dan Kapolri. Nopember 1972, begitu laporan Panggabean, Ny.
Sitompul, ibunya, membeli tanah milik Kolonel Panjaitan.
Terjadi kesepakatan untuk membeli tanah seluas 750 mÿFD di
Kampung Ambon Jakarta itu dengan harga ~Rp 2,6 juta. Karena
uang belum cukup, baru diberikan tanda jadi. Baru lunas 19
Januari 1973. Untuk itu hanya dibuatkan kwitansi, tanpa
dibawa ke notaris. Semuanya atas dasar kepercayaan. Mungkin
juga karena Panjaitan seorang perwira. Kwitansi itu ditulis
Panggabean setelah disetujui Panjaitan. Kemudian surat tanah
diserahkan kepada Ny. Sitompul oleh Panjaitan, yang juga
membubuhkan tanda-tangannya pada kwitansi tersebut.
Belakangan Ketahuan
Sekarang, Ny. Sitompul mengurus dan membayar biaya untuk
memperoleh sertifikat. Nama Panjaitan masih dipakai dengan
harapan pengurusannya akan lancar. Betul juga. Maka setelah hak
pakai atas tanah turun, Panjaitan diberitahu. Tapi ia tak mau
memenuhi janjinya: memberi surat kuasa untuk melakukan balik
nama tanah itu kepada Ny. Sitompul.
Menghadapi kesulitan ini, Ny. Sitompul meminta bantuan Kol.
Pasaribu, kemenakannya. Setelah didesak Pasaribu, lahirlah surat
kuasa dari Panjaitan itu. Tapi sementara itu Panjaitan
melaporkan, bahwa surat-surat asli tanahnya hilang. Dengan
laporan itu ia dengan mudah memperoleh sertifikat. Baru
belakangan ketahuan - setelah diteliti pihak kantor pendaftaran
tanah - bahwa pengeluaran sertifikat yang belakangan ini salah.
Panjaitan sendiri mengatakan tandatangan pada surat kuasa itu
berbeda dengan tandatangan aslinya. Dan Panjaitan mengadukan Ny.
Sitompul sebagai orang yang terlibat dalam pemalsuan tekenannya
itu. Dan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, diajukanlah
perkara ini ke pengadilan.
Tertutup Harapan
Tiba giliran polisi untuk memeriksa palsu tidaknya surat-surat
tanah tersebut. Mabak meminta dikirimi surat-surat tanah yang
asli. Tapi yang diberikan Kejaksaan hanya akte asli dan surat
kuasa asli, sedang kwitansi hanya fotokopi saja.
Hasil penelitian menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres
pada surat-surat tersebut. Karena itu hakim menyimpulkan bahwa
Panggabean disuruh ibunya, Sitompul, membuat kwitansi palsu.
Tidak terdengar kabar, mengapa tidak Panggabean yang diajukan ke
sidang sebagai tertuduh utama pemalsu kwitansi.
Persoalan ini bagi Panggabean sendiri makin tambah panjang. Ia
pada waktu yang lain telah mengajukan gugatan perdata terhadap
Panjaitan untuk masalah tanah tersebut. Kalau pihaknya kalah
dalam kasus pidana ini, maka akan tertutuplah harapannya pada
perkara perdata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini