Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Wasdri bin dasimun itu ...

Wasdri bertubuh krempeng, 160 cm. bicaranya lirih. kuli angkat barang di pasar senen. berpendidikan sd kelas v. sikap wasdri ketika minta upah rp 50 dianggap mengancam.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN kerempeng, tinggi sekitar 160 cm. Kulit sawo matang, Berkumis dan berjanggut tidak teratur. Bercelana hijau tentara tapi sudah lusuh dan tanpa alas kaki. Bicaranya lirin sekali sehingga sangat disangsikan ia bisa menggertak. Umur 26 tahun, masih bujangan. TEMPO: Asal dari mana? Wasdri: Batang, Pekalongan, Pak. T: Kapan datang ke Jakarta? W:Tahun 74. T: Dengan siapa? W: Ikut tukang becak. T: Di Jakarta kerja apa? W: Kuli. T: Katanya jadi calo? W: Ya. T: Calo apa? W: Calo mobil. T: Kok hebat. Bagaimana kerjanya? W: Membantu ngangkut sayur-sayur. T: Berapa pendapatan sehari? W: Rp 300 atau Rp 400. T: Tidur dimana? W: Di emper-emper toko. T: Sering dirazzia ya? W: Sekali. Ditahan seminggu di Komwil. T: Punya KTP? W: Ada. KTP dari Jawa, tapi hilang digerayangi orang. Ia kemudian menceritakan bahwa ketika ada seorang wanita habis berbelanja, ia membantu mengangkat sayuran ke kendaraan. Dibantah bahwa ia mengancam wanita itu. "Saya minta seikhlasnya," katanya. Wanita itu memberikan Rp 50 tapi meminta kembali Rp 25 sedangkan Wasdri belum punya uang sama sekali. Sekalian ia membungkuk untuk menghormat wanita itu agar diberi uang. Tapi sikap Wasdri, yang merupakan ciri khas orang Jawa, ditafsirkan sebagai akan mengambil senjata tajam. Setelah tidak berhasil mendapat apa-apa dari wanita yang baru saja berbelanja itu, Wasdri duduk-duduk di tempat biasanya. Kemudian ditangkap polisi dan dinaikkan taksi. Dalam taksi itu ada wanita yang sebelumnya diminta uang oleh Wasdri. Wasdri yang berpendidikan hanya sampai SD kelas V, kelihatan sangat tidak tahu tentang liku-liku peradilan. Persidangan atas dirinya begitu cepat, hanya beberapa menit. Dan ia dijatuhi hukuman 3 bulan penjara. T: Bagaimana perasaanmu waktu itu? W: Saya sedih . . . (sambil akan menangis). T: Lalu bagaimana? W: Kita serahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. T: Tapi kamu merasa salah tidak? W: Tidak. T: Kalau sudah bebas mau tinggal di Jakarta atau pulang? W: Mau pulang, kalau ada biaya (sekali lagi mulai menangis). T: Punya saudara di Jakarta? W: Tidak. T: Di Batang? W: Kakak tiga. Adik juga tiga. T: Ayah ada. W: Sudah tidak ada. Dibikin (diguna-gunai - Red.) lurahnya. T: Ibu kerja apa sekarang? W: Jual lotto. T: Sudah punya isteri? W: Belum. Saya naksir pada Nan tapi dia diperkosa orang. Saya tidak bisa membela. (Kemudian Wasdri mulai menangis karena teringat kepada Nan, seorang perempuan penjual nasi di Senen).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus