Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Suatu hari, seorang jaksa di senen

Perkara wasdri, 26, menjadi populer. keterangan masing-masing fihak berlainan. wasdri dianggap mengancam. putusan hakim mengecewakan. perkara upah rp 50 divonis sama dengan perkara penggelapan jutaan.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Budiadji, maka Wasdribin Dasimun, 26 tahun, tiba-tiba naik jadi tokoh pembicaraan. Bukan korupsi besar, tapi bermula perkara uang Rp 50. Ujung kasus itu adalah dihukumnya Wasdri 3 bulan masuk penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir Juni yang lalu. Dan karena Wasdri berada dalam masa tahanan, ia akan bebas pada 22 Juli ini. Tersebutlah Ny. Sere Ida Napitupulu sehari-hari jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada sekitar jam 10.30, Jum'at 22 April 1977 ia berbelanja di proyek Senen. Di situ ia terlibat dalam suatu urusan dengan Wasdri, tukang bawa barang-barang belanjaan. Ada ketidakcocokan mengenai soal bayar uang jasa. Wasdri minta Rp 50 tapi Ny. Ida hanya mau memberi Rp 25. Wasdri lalu diadukan. Wasdri ditahan dan kemudian diadili dengan vonis seperti di atas. Tapi yang tarnbah bikin rumit adalah keterangan masing-masing pihak yang agak berlainan. Dimulai dengan penjelasan BAS Tobing SH, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, 4 Juli. Pada saat di atas, katanya, Jaksa Ny. Ida dicegat lelaki yang bercambang, berambut keriting, kulit agak merah dan mata merah. Sang nyonya diikuti terus. Barang bawaan perempuan itu akan ditarik, dan ia terkejut. Karena itu Ida lari menuju Jalan Pasar Senen, dekat Kalilio. Di situ ia menunggu kendaraan Bajaj. Lelaki yang kemudian diketahui sebagai Wasdri itu terus saja membuntuti, walaupun ia tidak mengangkut barang bawaan. Wasdri terus mendesak minta uang Rp 50. Tapi karena Ida hanya punya Rp 25, ia mencoba meminjam kepada pengemudi Bajaj. Juga tak ada. Karena takut Ida menitipkan barangnya pada pengemudi dan melapor pada petugas keamanan proyek. Kurang mendapat tanggapan, laporan diteruskan kepada polisi. Tobing menekankan sekali bahwa Wasdri samasekali tidak mengangkut barang wanita jaksa itu. Memasukkan Kepala Yang dipersoalkan bukan jumlah duitnya, tapi ancaman yang menakutkan itu. Wasdri sendiri dalam pemeriksaan pendahuluan di muka polisi menyatakan bahwa ia minta uang tapi diberi Rp 25. Biasanya ia diberi Rp 50. Tapi ia tidak meminta Rp 50 kepada Ida. Pokoknya ia minta agar ditambah. Wasdri mengakui, ia mengangkat barang tanpa disuruh pemiliknya. Ida di depan Tobing menyatakan bahwa Wasdri tidak mengangkat barang. "Sama-sama ngangkat. Tapi ia hanya seolah-olah mengangkat," kata Ida. Malah Ida juga menuduh ada kemungkinan tindakan Wasdri begitu sekedar untuk bisa kelihatan membantu mengangkat barang sedangkan maksud sesungguhnya memeras dirinya. Jadi menurut Tobing peristiwa tersebut tidak seperti yang dimuat di koran. "Saya juga marahi jaksa itu. "Babi lu, soal gitu aja diributkan," kata Tobing menirukan sikapnya pada Ida. Tapi setelah mendengar laporan anak buahnya itu sendiri, kemarahan Tobing agak rea. Berbeda dengan keterangan di atas, keesokan harinya Tobing--disaksikan Jaksa Ida dan Rochijatun SH, yang menuntut Wasdri - mengatakan kejadian itu adalah antara pukul 7 dan 8 pagi. Sebagai tambahan data di atas, menurut Tobing Wasdri malah sudah memasukkan kepalanya melalui jendela Bajaj, dan sebuah tangannya terkecak di pinggang. Ida menafsirkan ini sebagai langkah Wasdri akan mengambil senjata tajam. "Saya tidak merasa dibantu, tapi tahu-tahu dimintai uang," kata Ida. Dan dari petugas yang dilapori saat itu, ia hanya mendapat jawaban: "Pulanglah bu, kita yang selesaikan." Selesai melapor Ida masih terus diikuti Wasdri. Tidur-Tiduran Ida pulang dulu mengantarkan sayurannya. Baru kemudian ia melapor pada Komseko 712 Pasar Baru, yang kebetulan tak jauh dari rumahnya. Ida melapor, menurutnya berdasarkan "kepentingan umum" bahwa dirinya diperlakukan begitu sehingga ibu-ibu rumahtangga yang lain juga akan dapat mengalami nasib serupa. Ia juga mengaku bahwa sehabis melapor ia ikut bersama polisi dalam taksi mencari Wasdri km bali ke proyek. Tapi mengapa dalam berita acara kejadian itu disebutkan jam 10.30? "Itu kan pengakuan terdakwa saja", komentar Ida. Tapi setelah diingatkan berita acara yang ditandatanganinya sendiri (yang menyebut bahwa permintaan uang itu dilakukan pukul 10.30 pagi), Ida mengatakan bahwa saat tersebut adalah jam melapor. Sebab- setelah belanja ia masih makan dan tidur-tiduran. Baru menjelang tengah hari ia melapor. Maklum hari krida. Juga tentang Bajaj -- sebab dalam sidang disebut bemo. Menurut Ida, ini kan sama-sama kendaraan ke-IV. Tapi mungkin perbedaan bentuk kendaraan ini masing-masing punya arti yang penting. Perkara Wasdri adalah pel-kara sumir. Artinya secara sederhana, karena pernbuktiannya yang dianggap mudah. Saksipun bahkan tak ada. Menurut Tobing, Ida tidak tahu bahwa pengaduannya akan diperiksa pengadilan. Bahkan Jaksa Penuntut Rochijatun pun tidak tahu bahwa temannya telah "diperas". Berkas perkara memang melewati Kejaksaan Jakarta usat. Tapi karena Penuntut Umum tersebut hari itu sampai mengurus 14 perkara, maka ia tak sempat memeriksa satu persatu. Penggelapan Uang Negara Hakim pun pada persidangan sumir semacam ini umumnya tak perlu begitu mendalami kasus. Maklum terdakwa yang menunggu giliran juga banyak. "Unsur penekanan- Wasdri kepada Ida," kata Hakim Kustrini SH kepada TEMPO, "sudah cukup." Yaitu dengan kata kata dan mata melotot dari seorang lelaki kepada seorang wanita di daerah Senen. Yang memberatkan Wasdri, kata hakim, ia gelandangan yang sering terkena razia. Yang meringankan, ia belum pernah dihukum, walau kemudian Kustrini menambahkan: "Ngakunya belum pernah dihukum. Semua orang mesti mengaku begitu," ucap Kustrini lagi. "Kalau menurut saya, Wasdri harus bebas," kata Sunarto Surodibroto SH, Ketua Peradin Jaya yang baru saja bikin ramai setelah memhela Budiadji. Tidak cukup dasar, kata Sunarto untuk membuktikan Wasdri memeras. Meminta tambahan ongkos menjadi Rp 50 menurutnya wajar. Unsur ancaman pada hematnya harus dibuktikan dengan katakata, perbuatan atau sikap, yang bagi yang bersangkutan bisa ditafsirkan seperti menakutkan. Sebelumnya Jaksa Rochijatun menuntut Wasdri dengan hukuman 4 bulan. Tapi akhirnya dia menerima hukuman tersebut. Mungkin beralasan juga kekecewaan dialamatkan kepada sang hakim. Sebab tak kurang perkara-perkara penggelapan uang negara yang berjumlah jutaan juga dihukum dengan bilangan bulan yang praktis hampir sama. Pihak polisi juga banyak disesalkan lantaran dengan mudah saja menahan seseorang. Seperti dikatakan Buyung Nasution SH, pihak penyidik terlalu percaya pada pelapor. Dan karena terlalu percaya lalu kurang mempelajari dasar hukum kejadian. Tak kurang disorot adalah Ny. Ida, yang juga jaksa itu. "Saya sangsi apakah kalau yang melapor orang kecil biasa dan bukan pejabat, akan diperlakukan sama," sambung Buyung. "Seorang jaksa seharusnya lebih mengetahui batas-batas dan unsur-unsur perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemerasan, serta apa pula yang sekedar tuntutan kebiasaan yang terjadi di masyarakat," lanjutnya. Reaksi lain datang dalam bentuk surat kaleng. Seseorang di Majalengka 2 Juli yang lalu mengirim uang Rp 100 disertai salah satu karikatur Kompas yang pertama. Uang dan karikatur itu dikirim ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada bagian kosong dari gambar karikatur itu ada kata-kata: "Ini saya sampaikan Sumbangan Penggantian dari Si Kecil buat orang Gede yang bertitel SH. Sisanya Rp 50 lagi untuk bayar kuli nanti kalau bapak belanja lagi. Saya kasihan kalau bapak terang-terangan DIPERAS." Pengirim mengira kalau Ida seorang jaksa pria. Selain itu ada sepucuk kartupos dari orang yang bernama W. Simorangkir SH, Jalan Cendana 42 Jakarta. Kartupos itu berstempel Kebayoran. Jaksa Ida dimaki dengan kata-kata kasar. "Saya kira bukan SH. Kalau orang berpendidikan tidak mungkin nulis begitu," kata Ida mengomentari kartupos tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus