SETELAH Budiadji, maka Wasdribin Dasimun, 26 tahun, tiba-tiba
naik jadi tokoh pembicaraan. Bukan korupsi besar, tapi bermula
perkara uang Rp 50. Ujung kasus itu adalah dihukumnya Wasdri 3
bulan masuk penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir
Juni yang lalu. Dan karena Wasdri berada dalam masa tahanan, ia
akan bebas pada 22 Juli ini.
Tersebutlah Ny. Sere Ida Napitupulu sehari-hari jaksa pada
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada sekitar jam 10.30, Jum'at
22 April 1977 ia berbelanja di proyek Senen. Di situ ia terlibat
dalam suatu urusan dengan Wasdri, tukang bawa barang-barang
belanjaan. Ada ketidakcocokan mengenai soal bayar uang jasa.
Wasdri minta Rp 50 tapi Ny. Ida hanya mau memberi Rp 25. Wasdri
lalu diadukan. Wasdri ditahan dan kemudian diadili dengan vonis
seperti di atas.
Tapi yang tarnbah bikin rumit adalah keterangan masing-masing
pihak yang agak berlainan. Dimulai dengan penjelasan BAS Tobing
SH, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, 4 Juli. Pada saat di
atas, katanya, Jaksa Ny. Ida dicegat lelaki yang bercambang,
berambut keriting, kulit agak merah dan mata merah. Sang nyonya
diikuti terus. Barang bawaan perempuan itu akan ditarik, dan ia
terkejut. Karena itu Ida lari menuju Jalan Pasar Senen, dekat
Kalilio. Di situ ia menunggu kendaraan Bajaj. Lelaki yang
kemudian diketahui sebagai Wasdri itu terus saja membuntuti,
walaupun ia tidak mengangkut barang bawaan.
Wasdri terus mendesak minta uang Rp 50. Tapi karena Ida hanya
punya Rp 25, ia mencoba meminjam kepada pengemudi Bajaj. Juga
tak ada. Karena takut Ida menitipkan barangnya pada pengemudi
dan melapor pada petugas keamanan proyek. Kurang mendapat
tanggapan, laporan diteruskan kepada polisi. Tobing menekankan
sekali bahwa Wasdri samasekali tidak mengangkut barang wanita
jaksa itu.
Memasukkan Kepala
Yang dipersoalkan bukan jumlah duitnya, tapi ancaman yang
menakutkan itu. Wasdri sendiri dalam pemeriksaan pendahuluan di
muka polisi menyatakan bahwa ia minta uang tapi diberi Rp 25.
Biasanya ia diberi Rp 50. Tapi ia tidak meminta Rp 50 kepada
Ida. Pokoknya ia minta agar ditambah. Wasdri mengakui, ia
mengangkat barang tanpa disuruh pemiliknya. Ida di depan Tobing
menyatakan bahwa Wasdri tidak mengangkat barang. "Sama-sama
ngangkat. Tapi ia hanya seolah-olah mengangkat," kata Ida. Malah
Ida juga menuduh ada kemungkinan tindakan Wasdri begitu sekedar
untuk bisa kelihatan membantu mengangkat barang sedangkan
maksud sesungguhnya memeras dirinya. Jadi menurut Tobing
peristiwa tersebut tidak seperti yang dimuat di koran. "Saya
juga marahi jaksa itu. "Babi lu, soal gitu aja diributkan," kata
Tobing menirukan sikapnya pada Ida. Tapi setelah mendengar
laporan anak buahnya itu sendiri, kemarahan Tobing agak rea.
Berbeda dengan keterangan di atas, keesokan harinya
Tobing--disaksikan Jaksa Ida dan Rochijatun SH, yang menuntut
Wasdri - mengatakan kejadian itu adalah antara pukul 7 dan 8
pagi. Sebagai tambahan data di atas, menurut Tobing Wasdri malah
sudah memasukkan kepalanya melalui jendela Bajaj, dan sebuah
tangannya terkecak di pinggang. Ida menafsirkan ini sebagai
langkah Wasdri akan mengambil senjata tajam. "Saya tidak merasa
dibantu, tapi tahu-tahu dimintai uang," kata Ida. Dan dari
petugas yang dilapori saat itu, ia hanya mendapat jawaban:
"Pulanglah bu, kita yang selesaikan." Selesai melapor Ida masih
terus diikuti Wasdri.
Tidur-Tiduran
Ida pulang dulu mengantarkan sayurannya. Baru kemudian ia
melapor pada Komseko 712 Pasar Baru, yang kebetulan tak jauh
dari rumahnya. Ida melapor, menurutnya berdasarkan "kepentingan
umum" bahwa dirinya diperlakukan begitu sehingga ibu-ibu
rumahtangga yang lain juga akan dapat mengalami nasib serupa. Ia
juga mengaku bahwa sehabis melapor ia ikut bersama polisi dalam
taksi mencari Wasdri km bali ke proyek.
Tapi mengapa dalam berita acara kejadian itu disebutkan jam
10.30? "Itu kan pengakuan terdakwa saja", komentar Ida. Tapi
setelah diingatkan berita acara yang ditandatanganinya sendiri
(yang menyebut bahwa permintaan uang itu dilakukan pukul 10.30
pagi), Ida mengatakan bahwa saat tersebut adalah jam melapor.
Sebab- setelah belanja ia masih makan dan tidur-tiduran. Baru
menjelang tengah hari ia melapor. Maklum hari krida. Juga
tentang Bajaj -- sebab dalam sidang disebut bemo. Menurut Ida,
ini kan sama-sama kendaraan ke-IV. Tapi mungkin perbedaan bentuk
kendaraan ini masing-masing punya arti yang penting.
Perkara Wasdri adalah pel-kara sumir. Artinya secara sederhana,
karena pernbuktiannya yang dianggap mudah. Saksipun bahkan tak
ada. Menurut Tobing, Ida tidak tahu bahwa pengaduannya akan
diperiksa pengadilan. Bahkan Jaksa Penuntut Rochijatun pun tidak
tahu bahwa temannya telah "diperas". Berkas perkara memang
melewati Kejaksaan Jakarta usat. Tapi karena Penuntut Umum
tersebut hari itu sampai mengurus 14 perkara, maka ia tak sempat
memeriksa satu persatu.
Penggelapan Uang Negara
Hakim pun pada persidangan sumir semacam ini umumnya tak perlu
begitu mendalami kasus. Maklum terdakwa yang menunggu giliran
juga banyak. "Unsur penekanan- Wasdri kepada Ida," kata Hakim
Kustrini SH kepada TEMPO, "sudah cukup." Yaitu dengan kata kata
dan mata melotot dari seorang lelaki kepada seorang wanita di
daerah Senen. Yang memberatkan Wasdri, kata hakim, ia
gelandangan yang sering terkena razia. Yang meringankan, ia
belum pernah dihukum, walau kemudian Kustrini menambahkan:
"Ngakunya belum pernah dihukum. Semua orang mesti mengaku
begitu," ucap Kustrini lagi.
"Kalau menurut saya, Wasdri harus bebas," kata Sunarto
Surodibroto SH, Ketua Peradin Jaya yang baru saja bikin ramai
setelah memhela Budiadji. Tidak cukup dasar, kata Sunarto untuk
membuktikan Wasdri memeras. Meminta tambahan ongkos menjadi Rp
50 menurutnya wajar. Unsur ancaman pada hematnya harus
dibuktikan dengan katakata, perbuatan atau sikap, yang bagi yang
bersangkutan bisa ditafsirkan seperti menakutkan. Sebelumnya
Jaksa Rochijatun menuntut Wasdri dengan hukuman 4 bulan. Tapi
akhirnya dia menerima hukuman tersebut.
Mungkin beralasan juga kekecewaan dialamatkan kepada sang hakim.
Sebab tak kurang perkara-perkara penggelapan uang negara yang
berjumlah jutaan juga dihukum dengan bilangan bulan yang
praktis hampir sama. Pihak polisi juga banyak disesalkan
lantaran dengan mudah saja menahan seseorang. Seperti dikatakan
Buyung Nasution SH, pihak penyidik terlalu percaya pada pelapor.
Dan karena terlalu percaya lalu kurang mempelajari dasar hukum
kejadian. Tak kurang disorot adalah Ny. Ida, yang juga jaksa
itu. "Saya sangsi apakah kalau yang melapor orang kecil biasa
dan bukan pejabat, akan diperlakukan sama," sambung Buyung.
"Seorang jaksa seharusnya lebih mengetahui batas-batas dan
unsur-unsur perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
pemerasan, serta apa pula yang sekedar tuntutan kebiasaan yang
terjadi di masyarakat," lanjutnya.
Reaksi lain datang dalam bentuk surat kaleng. Seseorang di
Majalengka 2 Juli yang lalu mengirim uang Rp 100 disertai salah
satu karikatur Kompas yang pertama. Uang dan karikatur itu
dikirim ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada bagian kosong
dari gambar karikatur itu ada kata-kata: "Ini saya sampaikan
Sumbangan Penggantian dari Si Kecil buat orang Gede yang
bertitel SH. Sisanya Rp 50 lagi untuk bayar kuli nanti kalau
bapak belanja lagi. Saya kasihan kalau bapak terang-terangan
DIPERAS." Pengirim mengira kalau Ida seorang jaksa pria.
Selain itu ada sepucuk kartupos dari orang yang bernama W.
Simorangkir SH, Jalan Cendana 42 Jakarta. Kartupos itu
berstempel Kebayoran. Jaksa Ida dimaki dengan kata-kata kasar.
"Saya kira bukan SH. Kalau orang berpendidikan tidak mungkin
nulis begitu," kata Ida mengomentari kartupos tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini