Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengkritik ucapan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut bahwa tragedi Semanggi 1 dan 2 serta Trisakti, bukan merupakan pelanggaran HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menuding Burhanuddin sebagai penyidik perkara pelanggaran HAM berat, terus berupaya mengingkari, menyangkal dan lari dari tanggungjawabnya untuk menyelidiki perkara pelanggaran HAM berat. "Tindakan ini adalah tindakan yang melawan hukum," ujar Koordinator KontraS Yati Andriyani, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 17 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Burhanuddin itu merujuk pada putusan politik, yaitu hasil rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004.
Padahal, Yati mengatakan dalam mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, DPR sebagai lembaga legislatif tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan sebuah perkara sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. "Mandat DPR RI adalah mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad hoc," kata dia.
Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 43 Ayat 2. Selain itu, sesuai dengan mandat Pasal 18 Ayat 1 UU yang sama, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu perkara sebagai pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai Penyidik.
Karena itu, Yati menilai ucapan Jaksa Agung bertujuan menghindari tanggung jawab menyidik kasus-kasus pelanggaran HAM besar masa lalu. Selain itu, ia menilai Burhanuddin mencoba melindungi Presiden untuk tidak mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad hoc.
Sebab, keputusan Paripurna DPR adalah sebuah produk politik yang sengaja dikeluarkan untuk mencegah kasus ini diselesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, DPR RI bukan lembaga yang berwenang menyimpulkan sebuah perkara pelanggaran HAM berat atau bukan. "Sehingga terhadap keputusan paripurna DPR RI tidak dapat dijadikan acuan oleh Kejaksaan Agung untuk memutuskan suatu perkara adalah peristiwa Pelanggaran HAM berat atau bukan," kata Yati.