Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Soal Ucapan Tragedi Semanggi, KontraS: Jaksa Agung Melawan Hukum

Jaksa Agung ST Burhanuddin sebelumnya menyebut bahwa tragedi Semanggi 1 dan 2 serta Trisakti, bukan merupakan pelanggaran HAM.

17 Januari 2020 | 20.20 WIB

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriani. Dok TEMPO
Perbesar
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriani. Dok TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengkritik ucapan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut bahwa tragedi Semanggi 1 dan 2 serta Trisakti, bukan merupakan pelanggaran HAM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Mereka menuding Burhanuddin sebagai penyidik perkara pelanggaran HAM berat, terus berupaya mengingkari, menyangkal dan lari dari tanggungjawabnya untuk menyelidiki perkara pelanggaran HAM berat. "Tindakan ini adalah tindakan yang melawan hukum," ujar Koordinator KontraS Yati Andriyani, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 17 Januari 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pernyataan Burhanuddin itu merujuk pada putusan politik, yaitu hasil rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004.

Padahal, Yati mengatakan dalam mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, DPR sebagai lembaga legislatif tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan sebuah perkara sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. "Mandat DPR RI adalah mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad hoc," kata dia.

Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 43 Ayat 2. Selain itu, sesuai dengan mandat Pasal 18 Ayat 1 UU yang sama, lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu perkara sebagai pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai Penyidik.

Karena itu, Yati menilai ucapan Jaksa Agung bertujuan menghindari tanggung jawab menyidik kasus-kasus pelanggaran HAM besar masa lalu. Selain itu, ia menilai Burhanuddin mencoba melindungi Presiden untuk tidak mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad hoc.

Sebab, keputusan Paripurna DPR adalah sebuah produk politik yang sengaja dikeluarkan untuk mencegah kasus ini diselesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, DPR RI bukan lembaga yang berwenang menyimpulkan sebuah perkara pelanggaran HAM berat atau bukan. "Sehingga terhadap keputusan paripurna DPR RI tidak dapat dijadikan acuan oleh Kejaksaan Agung untuk memutuskan suatu perkara adalah peristiwa Pelanggaran HAM berat atau bukan," kata Yati.

Egi Adyatama

Egi Adyatama

Bergabung dengan Tempo sejak 2015. Alumni Universitas Jenderal Soedirman ini sejak awal meliput isu politik, hukum, dan keamanan termasuk bertugas di Istana Kepresidenan selama tiga tahun. Kini menulis untuk desk politik dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus