Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sosialisasi anak autistik

Tingkat kecerdasannya di bawah 70, sama dengan penderita lemah mental. mengalami gangguan berbicara. menyatakan perpisahan sering dengan telapak tangan yang terbalik.

24 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAYMOND Babbit dinyatakan oleh dokternya sebagai penderita idiot savant dungu-dungu pintar. Meskipun tampak sebagaimana penderita lemah mental, ia suatu saat menunjukkan kehebatannya, misalnya mampu menghitung cepat tusuk gigi yang jatuh di lantai restoran. Ia juga hafal nomor telepon sampai ke separuh nama berhuruf awal G di buku telepon yang besar. Raymond Babbit tadi adalah Dustin Hoffman yang berperan dalam film Rain Man, yang diputar beberapa tahun lalu. Dalam dunia perilaku, yang dialami Raymond itu disebut autistic atau kelainan perkembangan psikologi dasar. Penelitian terhadap penderita autistik inilah yang mengantarkan Dokter Soemarno Wignyosumarto, 55 tahun, meraih gelar doktor dalam ilmu kedokteran jiwa dari Universitas Kobe, Jepang. Soemarno, orang pertama yang melakukan penelitian bidang ini di Indonesia, Senin dua pekan silam menerima ijazah doktornya dari Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Selama 3 tahun (19881991), dosen Fakultas Kedokteran UGM ini menyaring 5.600 anak di Yogyakarta. Dari jumlah itu, ditemukan 150 anak yang mungkin menderita autistik. Setelah disaring lagi, ternyata enam anak memang mengidap autistik. Anak yang menderita autistik (autistic child) menunjukkan keterlambatan atau tidak mampu bersosialisasi, ada kelainan dalam psikomotor atau geraknya, dan memiliki kelainan dalam berkomunikasi. Tingkat kecerdasan (IQ) sebagian besar dari mereka itu, menurut Soemarno, di bawah 70. Jadi, sama dengan penderita lemah mental (mental retardation). Keenam anak yang ditemukan Soemarno itu hampir semua dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB), tempat anak lemah mental dididik. Ciri khusus anak autistik adalah selalu ingin menyendiri. ''Anak autistik sering bersembunyi di balik pintu jika ketemu orang yang baru dilihatnya,'' ujar Soemarno. Menurut ayah empat anak ini, berbeda dengan anak lemah mental yang bisa bersosialisasi dan akrab dengan siapa saja, anak autistik juga mengalami keterlambatan dalam berkomunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Penderita autistik juga menderita gangguan kognitif ketika berbicara. Mereka sering membalik kata-kata. Misalnya, bila si penderita minta minum, ia akan bilang, ''Kamu ingin minum.'' Atau, kalau melambaikan tangan sebagai tanda menyatakan perpisahan, ia sering melakukannya dengan telapak tangan yang terbalik telapak tangannya itu menghadap ke dalam. Yang lebih khusus lagi, anak ini masing-masing memiliki gerakan stereotip, misalnya berjalan sambil berputar-putar. Mereka juga menyukai gerakan tertentu, seperti gerakan kipas angin atau aliran air di jamban. Mereka tidak tertarik pada hal lain jika sudah melihat gerakan-gerakan khusus yang disukainya itu. Tidak cukup itu saja. Menurut Soemarno, anak-anak ini juga punya ketertarikan yang amat tinggi pada benda khusus, seperti karet gelang, sapu tangan, dan mainan tertentu. ''Jika benda yang disukainya itu dijauhkan, ia akan marah sekali dan sering menyakiti diri sendiri,'' ujarnya. Sampai saat ini, dunia keilmuan masih memperdebatkan penyebab kelainan autistik ini. Tapi teori mutakhir menyebutkan bahwa kelainan itu terjadi terutama karena kegagalan dalam apa yang disebut ''hubungan perlekatan'' antara anak dan pengasuhnya dalam hal ini ibu ketika usia si anak baru 2 sampai 7 bulan. Jika dalam usia tersebut terjadi kegagalan perlekatan, sistem lymbic dari otak, yakni sistem saraf yang menentukan perkembangan psikologis dasar seorang anak, tidak akan berkembang. Tapi, dalam studinya, Soemarno menemukan hal yang berbeda. Ternyata penyebab yang paling menonjol pada anak di Indonesia, menurut hasil penelitiannya, adalah infeksi pada otak janin (karena ibu menderita campak), trauma (misalnya jatuh sewaktu bayi) sehingga kerja saraf otak anak itu terganggu, atau kelainan hormonal. ''Ini justru terjadi pada anak yang ibunya, yang diteliti itu, tidak sesibuk ibu-ibu di negara maju,'' kata Soemarno kepada M. Faried Cahyono dari TEMPO. Penelitian Soemarno juga menemukan bahwa keenam anak yang menderita autistik itu memiliki tingkat kekhawatiran yang amat tinggi kalau ditinggalkan ibunya. Dalam uji coba, anak autistik rata-rata membutuhkan waktu 27 detik sebelum rela ditinggal, sedangkan anak normal hanya membutuhkan waktu 1,9 detik. Dari penelitian ini diketahui pula, jumlah penderita di Indonesia dari sampel yang diambil di Yogyakarta adalah 12 promil, atau terdapat 12 penderita setiap 10.000 kelahiran. Sedangkan angka rata-rata internasional adalah 316 promil. Sementara itu, angka untuk autistik di Jepang 16 promil, dan di Kanada 6,5 promil. Bagi penderita kelainan ini, masih bisa diupayakan terapi, dengan tujuan agar ia bisa mengurus dirinya sendiri. Sebab, tidak seluruh aspek psikologis penderita mengalami gangguan. Untuk itu, Soemarno menganjurkan agar pendidikan untuk anak seperti ini dicampur dengan anak-anak normal, sehingga mereka mudah bersosialisasi, dan kemampuan positifnya dapat dikembangkan. ''Kalau dicampur dengan anak lemah mental, perkembangannya malah terhambat,'' ujar Soemarno. Rustam F. Mandayun (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus