Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mulai Diadili

Adah Jaelani, bekas tokoh Darul Islam, mulai diadali. (hk)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA orang bekas tokoh Darul Islam, yang namanya pernah menjadi momok di sekitar tahun 1950-an di Jawa Barat Kamis pekan lalu bertemu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak bersenjata dan tidak bertampang seram seperti ketika masih di hutan-hutan, mereka tampil mengenakan setelan jas komplit dengan dasi. Sudah sama-sama tua, mereka berusia 60 tahun. Adah Djaelani, bekas "Komandan Resimen VII Tentara Islam Indonesia," yang belakangan kata jaksa, diangkat menjadi "Kepala/Imam Negara Islam Indonesia." la juga dituduh hendak melanjutkan cita-cita pembentukan NII yang diproklamasikan S.M. Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949 di Galunggung, Malangbong, Jawa Barat. Sedang Ateng Djaelani, orang kedua setelah Kartosuwiryo yang kini bekerja di lingkungan Kodam VI/Siliwangi, datang sebagai saksi. Di depan kamar kecil Adah dan Ateng bertemu dan berpelukan mesra. Ada kesan keduanya sudah lama berpisah. Sambil berjalan ke ruang tunggu mereka masih berbicara. Tapi ketika Ateng menyampaikan kesaksiannya, Adah menjadi berang dan menuduh rekannya pengkhianat. "Kalau saya tahu begini jadinya, dulu sudah saya tembak dia," gumamnya kesal. Atas pertanyaan hakim ketua Soedijono SH dan hakim-hakim anggota Abdul Razak dan M.A. Boediarto, dalam persidangan hari ketiga itu saksi Ateng mengakui ada rencana membentuk kembali NII pada tahun 1976 oleh Daud Beureueh (tokoh ulama Aceh itu), Adah dan Ules Sudja'i. Rencana itu kemudian disebar-luaskan kepada bekas DI yang jumlahnya, ketika mendapat amnesti pada 1962, sekitar 30.000 orang. "Saya mengikuti gerakan itu karena grogi. Kalau tidak ikut pasti ditindak tegas oleh teman-teman. Kalau ikut berarti berhadapan dengan pemerintah yang mustahil dilawan tanpa kekuatan senjata yang lebih baik," katanya. "Ketika itu saya antara ingin melapor kepada yang berwajib dan takut pada kawan-kawan. Tapi akhirnya saya ikut mereka," tambahnya. Meskipun katanya, sejak mendapat amnesti 1962 Ateng, tidak lagi sering menghadiri pertemuan para bekas DI, Ateng pernah pula mendapat mandat dari terdakwa untuk membai'at (menyumpah setia) 15 orang baru yang masuk DI. Kesaksian ini ditolak oleh terdakwa. Adah kemudian bertanya kepada saksi: "Masihkah saudara ingat, saudara pernah bilang demi NII saudara siap untuk mati digantung?" Agak gelagapan, Ateng Djaelani menangkis: "Sebenarnya bukan begitu. Jika saya salah, saya bersedia digantung oleh hakim. "Mendengar itu terdakwa semakin berang. "Setelah begini jadinya, semua tanggung jawab dibebankan kepada saya. Tapi sebagai pemimpin saya akan bertanggung jawab," katanya. Sambil menunjuk Ateng, Adah berkata: "Tapi pemimpin seperti dia, no!" Atas pertanyaan O.C. Kaligis SH, salah seorang dari 10 anggota tim penasihat hukum, Ateng Djaelani menyatakan, "NII sebenarnya praktis sudah mati, tidak punya kegiatan lagi setelah amnesti 1962." Kaligis menganggap jawaban itu cukup. Ia berkesimpulan bahwa NII barulah merupakan cita-cita. "Kalau begitu masak orang dihukum karena cita-cita," katanya seusai persidangan sore itu. Menurut hakim ketua Soedijono SH, perkara ini terbesar di awal 1983. Selain Adah Djaelani, ada 8 bekas tokoh DI lainnya yang akan disidangkan di semua wilayah Jakarta. Mereka itu Atjeng Kurnia, Tachmid Rachmad, Ules Sudja'i, Toha Machfud, Gustam Effendi, Syaeful Imam, Opa Mustofa, Adja Darul Alam. Seorang lagi, Ahmad Husein Salikun, disidangkan sejak 2 Februari lalu di PN Surakarta. Husein, 53 tahun, yang sehari-hari dikenal sebagai pedagang di Kudus, dalam kegiatan DI/TII menjadi "Anggota Komandemen Tertinggi" merangkap "Menteri Penerangan NII". Selain dituduh ikut melakukan perampokan atas bis malam "Pahala" dan gaji pegawai IAIN Yogyakarta, ia juga dituduh terlibat dalam pembunuhan atas diri Parmanto MA, pembantu rektor UNS Sala pada Januari 1979 lalu. Dalam perkara subversi "Negara Islam Indonesia" ini tak kurang dari 25 orang ditahan di Jakarta -- di antaranya terdapat 3 orang karyawan sekretariat DPR/MPR, seorang anggota DPR (1977/1982) dari NTB, 2 orang karyawan instansi pajak, seorang dosen IAIN dan seorang karyawan Lemhanas. Di daerah sekitar 190 orang ditahan pula, antara lain 29 orang di Jawa Timur. Dua berkas perkara di antara yang 29 itu merupakan kasus "Teror Hispran" (juga tokoh bekas DI) dan sudah dilimpahkan ke PN Probolinggo. Gerakan hendak membangkitkan kembali NII itu mulai tercium sejak 1977. Ketika itu disinyalir, banyak para bekas DI yang memanfaatkan kesempatan amnesti 1962 untuk melakukan konsolidasi. Jaksa Agung Ismail Saleh bahkan menyatakan "dengan dalih tetap taat dan bekerja sama dengan pemerintah, bantuan yang mereka terima disalahgunakan untuk mengadakan kontak-kontak menggalang kekuatan mendirikan NII." Ketika itu mereka antara lain mendapat fasilitas sebagai penyalur minyak tanah untuk daerah Jawa Barat. Menurut jaksa penuntut umum Haryadi Widyasa SH pada 1966-1971, Adah Djaelani dan tokoh-tokoh bekas DI lainnya seperti Ateng Djaelani, Danu Moh. Hasan dan Dodo Moh. Darda (anak Kartosuwiryo), juga sering dipanggil oleh Kodam VI/Siliwangi, diminta sumbangan pikiran mereka untuk menumpas G30S/PKI dan mensukseskan Pemilu 1971. "Tapi kesempatan itu digunakan untuk merundingkan kemungkinan meneruskan cita-cita NII," katanya. Dalam eksepsinya pada sidang hari kedua, 7 Februari, Adah Djaelani mengakui membentuk Jamaah DI, tapi tidak bertujuan mendirikan NII dan tidak bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945. "Sebab pendirian kami jelas, bahwa dengan menyerahkan seluruh kekuatan DI/TII pada 1962 maka NII praktis tidak ada dan dinyatakan hancur," katanya. Jamaah DI yang dibentuknya hanya bermaksud melakukan dakwah semata-mata. Mengenai dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dari pintu ke pintu, katanya bukan sebagai gerakan di bawah tanah. "Tapi upaya untuk menghindarkan kesalah-pahaman orang-orang yang tidak senang melihat bekas DI/TII berdakwah," katanya lagi. Ia juga mengaku bekas DI/TII tidak mungkin mampu menghadapi kekuatan persenjataan ABRI. Sebaliknya ia mensinyalir adanya usaha "mengeluarkan momok DI/TII untuk dijadikan alasan menyudutkan kaum muslimin." Pada sidang hari keempat, Sabtu akhir pekan kemarin, ditampilkan 2 saksi: Atjeng Kurnia, 60 tahun, bekas Komandan Kawal Pribadi S.M. Kartosuwiryo dan Ules Sudja'i, 53 tahun, tokoh bekas DI yang sejak 1976 aktif dalam Jamaah DI sebagai Ketua Tim Pembinaan Dakwah. Sehari-hari Ules Sudja'i mengurus perusahaannya sebagai kontraktor Pertamina. Kedua saksi lebih banyak membeberkan peranan Ateng Djaelani daripada peranan tertuduh, misalnya ketika Ateng pada 1976 menyerukan "kebulatan tekad meneruskan perjuangan." MESKIPUN diakui dalam bai'at 1979 di Tangerang tertuduh diangkat sebagai "Imam NII" menggantikan Daud Beureueh, namun kedua saksi tersebut menegaskan bahwa tujuan jamaah DI yang dibentuk tertuduh bukan untuk mendirikan NII melainkan organisasi dakwah biasa. Atjeng Kurnia bahkan menyatakan, sejak 1973-1976 tertuduh tidak pernah lagi memproklamasikan NII. Sidang hari itu juga memamerkan 3 granat tangan, 4 pistol dan 4 senjata laras panjang yang pernah digunakan DI/TII. Juga selembar bendera NII berwarna hitam dengan tulisan Lailaha illallah Muhammadarrosulullah berwarna putih yang juga bergambar pedang warna merah -- mirip bendera Arab Saudi. Sidang yang tidak begitu banyak dikunjungi hadirin itu diwarnai banyak gelak-tawa ketika penasihat hukum A.B. Loebis mempersoalkan fai'u (pampasan perang). Karena nyatanya hal tersebut berupa perampokan, Loebis bertanya: "Apakah merampok itu ada perintahnya dalam Al Quran?". Saksi Ules Sudja'i yang menjawab "ada" -- disambut tawa gemuruh oleh hadirin. "Yang benar saja. Mana ada Al Quran menyuruh merampok," sahut Loebis. Tapi atas pertanyaan hakim ketua, terdakwa yang ditahan sejak Agustus 1981 menyatakan secara tak langsung ia merestui dilakukannya fai'u, "karena saya menerima 4% dari hasilnya..."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus