LAGI-lagi ada korupsi di bidang kredit Bimas. Dan tentu petani
lagi yang jadi korban. Mula-mula, seperti yang terjadi di
Kabupaten Asahan (Sumatera Utara), yang tampak hanya sejenis
tunggakan pembayaran kembali kredit Bimas. Tak kurang dari Rp
600 juta uang negara tak disetorkan pada waktunya. Uang sekian
itu, menurut ukuran di kabupaten itu, berarti setengah dari
anggaran daerah (Rp 1,2 milyar) besarnya.
Jika petani Bimas nunggak kredit, itu soal biasa. Ada yang
memang bandel, tapi juga ada yang beralasan mengharukan:
sawahnya diserang banjir atau hama wereng. Tapi selain itu,
"memang ada penyelewengan orang-orang BRI (Bank Rakyat
Indonesia)." Begitu keterangan Letkol Pol. Otto Simanjuntak,
Komandan Kepolisian Asahan.
Berapa jumlah uang negara yang dimainkan oleh pegawai BRI,
sehubungan dengan pengembalian kredit Bimas, Otto belum bersedia
menjelaskan. "Itu rahasia kepolisian," katanya. Namun satuan
tugas (satgas) yang khusus dibentuk untuk menanggulangi
kemacetan pengembalian kredit tersebut pimpinan Kapten Pol.
Syahril (Komandan Kepolisian Kota Kisaran), kabarnya sudah
memperoleh angka Rp 26 juta. Yaitu sebagian dari jumlah uang
yang digelapkan dengan berbagai jalan oleh pegawai BRI. Satgas
Syahril memang menyelusuri kantor-kantor BRI di 11 unit desa se
Asahan.
Hanya Kesilapan
Adalah Bupati Asahan, Haji Abdulmanan, yang mula-mula merasa
pening kepala. Tunggakan kredit Bimas di wilayahnya makin hari
kian membuncit. Camat-camat, melalui ruang operasi kabupaten,
dikerahkan untuk menagih langsung kepada petani. Pihak BRI
dimintai daftar petani yang menunggak. Lantas para camat,
dikawal polisi dan hansip, mencocokkan antara daftar penunggak
dari BRI dengan para petani penerima kredit. Ternyata tak klop.
Ada petani yang telah merasa melunasi kreditnya, tapi namanya
tetap tertera di daftar BRI sebagai penunggak.
Misalnya yang terjadi pada Siddik Matondang. Petani ini, seperti
yang tercatat dalam kartu kitir (tanda pembayaran kredit), dapat
membuktikan dirinya telah beres mengembalikan kreditnya. Tapi
oleh tim penagih kredit bimas, yang membawa daftar penunggak
dari BRI, Siddik tetap ditagih Rp 4.154,50. Merasa ditagih
dobel, Siddik mengadu ke kantor kabupaten. Setelah diurus ke
sana ke mari, ternyata pengaduan Siddik itu benar adanya.
Begitu soal Siddik masuk ke kabupaten, petani-petani lain saling
susul membawa urusan yang sama: sudah lunas, masih ditagih
terus.
BRI Tanjungbalai jadi sorotan. Kepala BRI-nya, Darmawijaya,
bilang: "Tak ada manipulasi." Yang ada, "hanya kesilapan
administrasi biasa saja." Tapi Bupati Abdulmanan, memperhatikan
banyaknya apa yang disebut Darmawijayahanya sebagai kesilapan
administratif menyerahkan urusan kepada polisi.
Kerja polisi tak begitu berat. Hanya mencocokkan daftar
penunggak dari BRI langsung ke petani yang bersangkutan. Didit,
pegawai pembukuan BRI yang mula-mula ditangkap. Pegawai yang
lain, antara lain Kepala BRI Unit Desa Kampung Rawang, Azwar
Syarif, ditangkap di daerah Kabupaten Simalungun setelah
berusaha menyembunyikan diri di sana.
Anehnya tiga hari setelah polisi menangkapi pegawai BRI,
mendadak BRI membuat pernyataan: bank telah berhasil memperoleh
tagihan Rp 15 juta. Tak kurang dari Letnan Kolonel Otto sendiri
yang merasa ada keanehan tengah terjadi. "Masak dalam tempo tiga
hari saja sudah masuk duit Rp 15 juta?" kata Otto.
Polisi, jadinya, makin memelototkan mata ke BRI -- tak hanya
yang di unit desa. Tapi buat memeriksa langsung pembukuan bank
-- untuk mencocokkannya dengan kitir yang dipunyai petani --
Otto mendapat kesulitan. Darmawijaya, Kepala BRI, tak
mengizinkannya. Dia berlindung "demi rahasia bank."
Pun, agaknya -- begitu orang-orang di Asahan pada menggerutu --
polisi tak hanya berhadapan dengan rahasia bank semata. Lebih
dari itu, polisi kabarnya juga harus berhadapan dengan beberapa
penjabat yang hendak menanggung oknum-oknum BRI tersangka
penyelewengan, agar tak usah masuk tahanan. Hanya Otto
meyakinkan, "jangan khawatir dulu -- perkara pasti akan kita
teruskan ke pengadilan." Jadi tenang-tenang saja dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini