DI Kabupaten Aceh Tengah ada pemeo yang kesohor. "Kopi itu
dolar, tembakau adalah rupiah." Kedua tanaman ini ada di
lereng-lereng bukit berhawa sejuk sudah merupakan mata
pencaharian utama penduduk sana. Yang keliwat masyhur di Aceh
memang kopi Aceh Tengah -- berimbang dengan kopi asal Dairi di
Propinsi Sumatera Utara.
Tapi mengenai kopi itu Bupati M. Beni Bantacut pernah mengeluh:
"Harga kopi itu ditentukan semena-mena oleh si pembelinya atau
sang eksportir." Tentu saja pengekspor tak membeli langsung dari
ladang petani -- lewat perantara atau sub agen. Jalurnya jadi
berantai, sehingga petani hanya menerima harga penjualan sekitar
sepertiga dari harga beli, kata Beni.
Walau begitu si petani kopi tak perduli. Dalam sekali musim
panen berani melego hasil kebun mereka dengan harga berkisar Rp
1.500 sampai Rp 2.000 per kg. Rata-rata petani sana memiliki
kebun kopi sekitar 1 hektar. Sedang Aceh Tengah setahun dapat
menghasilkan biji kopi hampir 11 ribu ton. Kopi ini bermutu
paten, dari jenis Robusta. Sedang luas kebun kopi di seluruh
Aceh Tengah, menurut catatan di Kantor Bupati, 20.057 hektar.
Agak beda dengan tembakau yang masih diolah secara sederhana.
Luas kebun yang dimiliki penduduk berkisar 2.500 hcktar, di
seluruh kawasan Aceh Tengah yang bangga dengan Danau Laut
Tawar-nya itu.
Kabupaten ini memang subur untuk tumbuh-tumbuhan semacam itu.
"Tanam saja tembakau. Pasti tumbuh menghijau, tanpa pupuk," kata
seorang petani di Bandar Lampahan. Di kampung itu luas kebun
tembakau -- seluruhnya milik pribadi para petani -- 475 hektar.
Dan Randar Lampahan yang berpenduduk 1.225 jiwa itu pun kesohor
sebagai desa penghasil bahan cerutu di samping kopi. Entah
kenapa, tembakau dari sini keliwat lemak kendati tumbuhnya tak
perlu disisip dengan pohon ganja.
Selain hasil sawah, dari tembakau saja para petani di situ tak
pernah khawatir akan mengalami getir. Malah untuk membiayai
sekolah anak dan beli skuter cukup dengan menjual tembakau.
Biasanya mereka lego ke Medan, atau ke Pematang Siantar dan
Kisaran di Sumatera Utara, terutuma ke pabrik rokok. Untuk
tembakau suntil dan lintingan, cukup dijual ke Pusat Pasar
Medan. Istilah tembakau Takengon terbilang dikenal di sentral
pasar yang banyak pencopet itu.
Tapi petani di Bandar Lampahan juga punya klasifikasi terhadap
cincangan tembakau -- yang mereka kerjakan dengan tangan dan
pisau iris yang tajamnya bagai silet itu. Tembakau yang sudah
dipetik dari pohonnya mereka biarkan dulu dalam keadaan basah.
Lalu dijepit dengan belahan bambu, dan baru diiris halus dengan
pisau yang mirip mata guillotine. Hasil irisan ini dijemur dan
dipisahkan. Yang keliwat hitam dan kasar, dinyatakan bermutu
rendah. Yang irisannya halus bagai rambut, dan kekuningan,
kwalitasnya jempolan.
Dari sortiran itu terdapatlah klas-klas tembakau sehingga mudah
melempar ke pasaran lebih mantap memberi harga. Tambahan
kwalitas ekspor, yang mereka sebut dengan istilah lose,
rata-rata harga jualnya mereka tetapkan Rp 2.500 per kg. Malah
kalau permintaan meningkat harganya bisa melonjak jadi Rp 3 ribu
per kilo. Ada juga "tembakau Medan". Nama ini untuk kwalitas
nomor 2 dan biasanya harganya bermain-main dari Rp 800 sampai Rp
1.000 per kilogram. Adapun untuk tembakau yang dihasilkan dengan
mutu corot, atau di pasaran disebut kwalitas 'c', si petani
membikin harganya antara Rp 400 sampai Rp 500 per kg.
Biasanya tembakau kwalitas itulah yang dilego ke pabrik rokok
kretek di Pematang Siantar. Sebelum sampai ke Medan, biasanya
dikumpulkan lebih dahulu di Bireuen. Untuk pergi ke Takengon
orang juga harus melewati jalan di tepi gunung sampai 100 km di
pedalaman sana. Jalan ke sana memang mulus beraspal,
dikelilingi pohon pinus. Semuanya akan lancar sampai di tujuan,
kalau di jalanan tak terjadi tanah longsor (seperti baru-baru
ini, dan lebih 10 orang meninggal).
Masih soal tembakau, untuk seluruh Aceh Tengah dalam setahun
diketahui dapat dihasilkan lebih 1.500 ton. Selama manusia masih
suka merokok, petani di sana tak perlu gusar melanjutkan tradisi
tembakau sebagai mata pencaharian mendarah daging turun-temurun.
Lagi pula kebun tembakau di Aceh Tengah itu belum pernah diancam
wabah penyakit atau diserbu wereng.
Cuma, pengolahan tembakau secara mekanis sampai hari ini belum
pernah difikirkan. Kendati kecil-kecilan. Tapi betulkah 'yang
mekanis' selalu bermanfaat bagi rakyat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini