SEHABIS membacakan eksepsinya - dengan menyanggah kewenangan
pengadilan yang memeriksanya -- terdakwa Fahmi Basya terus
membisu.Dengan dingin ia duduk di muka majelis hakim, yang
dipimpin oleh Hasan Machmud SH dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Ia melewatkan semua pertanyaan dengan kepala tunduk dan
mulut tertutup. Menurut keyakinannya, pengadilan yang tengah
dihadapmya berupa "sidang penzaliman atau penganiayaan yang
diselenggarakan oleh orang-orang fasik atau kafir.' Alasan:
mahkamah tak diselenggarakan dengan "hukum Allah" (TEMIPO, 21
Januari).
Ternyata tak hanya Fahmi sendiri yang bersikap begitu. Beberapa
saksi yang dibawa jaksa Zamzam SH, untuk menopang tuduhan,
bersikap sama seperti terdakwa. Saksi Muhasril, mahasiswa teknik
UI, mula-mula menolak keras sumpah di bawah kitab suci Qur'an.
Alasan pokoknya seperti yang dikemukakan Fahmi: "Pengadilan ini
tidak berdasarkan hukum Allah." Desakan hakim, sampai ancaman
hendak dituntut jika ia tetap tak mau disumpah, tak
dihiraukannya. Muhasril malah minta agar hakim mengundang ulama
untuk didengar fatwanya sekitar penyumpahan yang benar bagi
seseorang saksi beragama lslam.
"Sebab," begitu menurut saksi ini," setahu saya di zaman Nabi
tak ada penyumpahan dengan menggunakan Qur'an." Apalagi kitab
suci belum terjilid seperti sekarang. Tak takut dituntut? "Saya
lebih mencintai penjara daripada harus mematuhi perintah bapak
hakim," kata Muhasril enteng, sambil menyibakkan rambut dari
dahinya. Setelah sidang ditunda dua minggu, barulah dengan berat
dan suara yang lemah, saksi ini mengikuti lafas sumpah di bawah
Qur'an yang diangkat oleh seorang pegawai pengadilan.
Saksi Budiantoro idem. "Apakah bapak hakim mau menanggung
dosanya ika saya disumpah dalam pengadilan yang tak berdasarkan
hukum Tuhan?" Pelan hakim Hasan Machmud membujuk. "Yang berdosa
saudara sendiri jika tak memberi keterangan yang sebenarnya."
Setelah terdiam beberapa saat saksi ini menyerah. Dengan
catatan: "Saya terpaksa bersumpah, tapi ingat, saya sudah
memperingatkan bapak hakim -- saya tidak bertanggungjawab lagi."
Setelah Budiantoro majulah saksi Rudiastuti. Sampai dua kali
hakim melafaskan "Wallahi". Tapi saksi tutup mulut. Ketika
hakim, dengan tidak sabaran lagi, memerintah agar saksi
menirukan ucapannya, saksi Rudiastuti tegas berucap: "Wallahi,
demi Fahmi Basyasaya bersumpah." Tentu saja hal itu membuat
Hasan Machmud marah. Sebab kebandelan saksi yang cewek ini bukan
yang pertama kali. Pada sidang minggu sebelumnya saksi enggan
disumpah dengan alasan: lagi berhalangan alias sedang haid. Tapi
alasan berikutnya, hanya mau disumpah di bawah kitab
KUHP-"karena Fahmi diadili dengan hukum KUHP, bukan hukum Allah"
--membuat hakim habis kesabarannya. Hakim memerintah jaksa agar
menyandera saksi ini seminggu lamanya, sampai hari sidang minggu
berikutnya.
Sidang berikutnya barulah Rudiastuti mentaati tata cara
pengadilan. Setelah memberikan kesaksian Rudiastuti pulang,
bebas dari penyanderaan, dijemput ayah dan ibunya. Dia mengaku
telah berubah sikap. "Setelah saya pelajari, ternyata sumpah di
bawah Qur'an tidak bertentangan dengan hukum agama." Ia merasa
tak dipengaruhi oleh siapapun. "Untuk suatu prinsip tidak ada
istilah bujukan," katanya.
Selesai dengan Rudiastuti kembali majelis hakim dibuat keras
oleh sikap saksi berikutnya. Saksi Sarjono tak menyatakan
kesediaannya disumpah sebagai saksi. Ia langsung saja membacakan
ayat-ayat Qur'an: "Marilah kita hanya tunduk pada hukum Allah
dan rasulNya!" Begitu diucapkannya berulang-ulang setiap hakim
mendesaknya untuk disumpah. Hakim Hasan Machmud, setelah
berpengalaman dengan para saksi yang bersikap demikian
merendahkan pengadilan yang dipimpinnya, kali ini tak banyak
timbang lagi. "Saya mengerti saudara tahu hukum Islam. Tapi sebagai
warganegara saudara harus tunduk juga kepada hukum negara."
Karena saksi ini masih juga menjawab setiap kali dengan
ayat-ayat suci, Hasan Machmud pun bersikap tegas: dia minta agar
jaksa menyandera Sarjono sampai dua minggu. "Bawa dia keluar dan
tahan!"
Saksi Sugiono, mahasiswa, memang tak sampai harus disandera
untuk mentaati ketentuan sumpah. Tapi ia sempat juga membuat
majelis kesal. Dia bersumpah demikian: "Wallahi, demi Allah yang
menghidupkan hakim, saya bersumpah . . . "
Hukum Acara (HIR 262) memang memberi kewenangan bagi hakim untuk
bersikap keras, sampai boleh memerintahkan jaksa untuk
menyandera dalam kurungan, bila ada saksi yang enggan bersumpah
tanpa alasan. Tapi adakah aturan-aturan sumpah secara khusus?
Tampaknya tidak ada.
Pernah seorang saksi beragama Hindu Bali dibawa sebagai saksi di
pengadilan. Hakim tak dapat menentukan tatacara sumpah bagi
saksi ini. Dan saksi sendiri juga tak paham: bagaimana sumpah di
pengadilan bagi penganut Hindu Bali Para hadirin sidang pun,
ketika dimintai pendapatnya oleh hakim, tak ada yang paham.
Akhirnya hakim, waktu itu Sukendro Asmoro SH dari pengadilan
Jakarta, mengambil jalan yang meyakinkan: Saksi diminta
menenggak segelas air putih, mengheningkan cipta sejenak, lalu
melafaskan sumpah .... yang biasa diucapkan bagi pemeluk agama
Kristen.
Hariman Berjanji
Menurut jaksa Zamzam, tatacara penyumpahan bagi penganut agama
Islam, "harus di bawah kitab Qur'an." Sedangkan bagi Hasan
Machmud penyumpahan cara begitu "kebiasaan" saja. Ia mengambil
contoh kebiasaan pengambilan sumpah bagi pegawai negeri.
"Semuanya dengan Qur'an." Namun menurut pengacara Haji Suprapto
SH, penyumpahan bagi orang Islam, sebenarnya "cukup dengan
mengatakan 'Wallahi ' saja." Tak usah di bawah kitab suci.
Pengacara Yap Thiam Hien berpendapat "Sikap para saksi, yang
enggan disumpah, sudah dapat dianggap menghina pengadilan." Tapi
"seharusnya hakim juga memberikan alternatif lain jika saksi
enggan disumpah." Kalau tak mau disumpah 'kan bisa mengucapkan
janji? Yang begitu sudah dipraktekkan beberapa kali. Misalnya
dalam perkara Malari. Ketika Hariman Siregar, beragama Kristen,
harus menjadi saksi dalam perkara drs. Sjahrir, ia lebih suka
mengucapkan janji daripada bersumpah atas nama Tuhan. Begitu
juga saksi Bambang Sulistomo, anak Bung Tomo, ketika berdiri
sebagai saksi dalam perkara Hariman. Hakim tak mempersoalkan,
juga tak melarang.
Kepastian tampaknya memang belum ada. "Tergantung kebijaksanaan
hakim saja," kata Hasan Machmud. Tapi kepada para saksi perkara
Fahmi Basya, yang terdiri dari para mahasiswa, Hasan Machmud
minta: "Saya harap generasi muda itu menaruh respeklah pada
pengadilan " Tentu saja itu bisa, jika mahkamah bisa
memperlihatkan wibawanya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini