Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sumpah itu bagaimana, sih?

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHABIS membacakan eksepsinya - dengan menyanggah kewenangan pengadilan yang memeriksanya -- terdakwa Fahmi Basya terus membisu.Dengan dingin ia duduk di muka majelis hakim, yang dipimpin oleh Hasan Machmud SH dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia melewatkan semua pertanyaan dengan kepala tunduk dan mulut tertutup. Menurut keyakinannya, pengadilan yang tengah dihadapmya berupa "sidang penzaliman atau penganiayaan yang diselenggarakan oleh orang-orang fasik atau kafir.' Alasan: mahkamah tak diselenggarakan dengan "hukum Allah" (TEMIPO, 21 Januari). Ternyata tak hanya Fahmi sendiri yang bersikap begitu. Beberapa saksi yang dibawa jaksa Zamzam SH, untuk menopang tuduhan, bersikap sama seperti terdakwa. Saksi Muhasril, mahasiswa teknik UI, mula-mula menolak keras sumpah di bawah kitab suci Qur'an. Alasan pokoknya seperti yang dikemukakan Fahmi: "Pengadilan ini tidak berdasarkan hukum Allah." Desakan hakim, sampai ancaman hendak dituntut jika ia tetap tak mau disumpah, tak dihiraukannya. Muhasril malah minta agar hakim mengundang ulama untuk didengar fatwanya sekitar penyumpahan yang benar bagi seseorang saksi beragama lslam. "Sebab," begitu menurut saksi ini," setahu saya di zaman Nabi tak ada penyumpahan dengan menggunakan Qur'an." Apalagi kitab suci belum terjilid seperti sekarang. Tak takut dituntut? "Saya lebih mencintai penjara daripada harus mematuhi perintah bapak hakim," kata Muhasril enteng, sambil menyibakkan rambut dari dahinya. Setelah sidang ditunda dua minggu, barulah dengan berat dan suara yang lemah, saksi ini mengikuti lafas sumpah di bawah Qur'an yang diangkat oleh seorang pegawai pengadilan. Saksi Budiantoro idem. "Apakah bapak hakim mau menanggung dosanya ika saya disumpah dalam pengadilan yang tak berdasarkan hukum Tuhan?" Pelan hakim Hasan Machmud membujuk. "Yang berdosa saudara sendiri jika tak memberi keterangan yang sebenarnya." Setelah terdiam beberapa saat saksi ini menyerah. Dengan catatan: "Saya terpaksa bersumpah, tapi ingat, saya sudah memperingatkan bapak hakim -- saya tidak bertanggungjawab lagi." Setelah Budiantoro majulah saksi Rudiastuti. Sampai dua kali hakim melafaskan "Wallahi". Tapi saksi tutup mulut. Ketika hakim, dengan tidak sabaran lagi, memerintah agar saksi menirukan ucapannya, saksi Rudiastuti tegas berucap: "Wallahi, demi Fahmi Basyasaya bersumpah." Tentu saja hal itu membuat Hasan Machmud marah. Sebab kebandelan saksi yang cewek ini bukan yang pertama kali. Pada sidang minggu sebelumnya saksi enggan disumpah dengan alasan: lagi berhalangan alias sedang haid. Tapi alasan berikutnya, hanya mau disumpah di bawah kitab KUHP-"karena Fahmi diadili dengan hukum KUHP, bukan hukum Allah" --membuat hakim habis kesabarannya. Hakim memerintah jaksa agar menyandera saksi ini seminggu lamanya, sampai hari sidang minggu berikutnya. Sidang berikutnya barulah Rudiastuti mentaati tata cara pengadilan. Setelah memberikan kesaksian Rudiastuti pulang, bebas dari penyanderaan, dijemput ayah dan ibunya. Dia mengaku telah berubah sikap. "Setelah saya pelajari, ternyata sumpah di bawah Qur'an tidak bertentangan dengan hukum agama." Ia merasa tak dipengaruhi oleh siapapun. "Untuk suatu prinsip tidak ada istilah bujukan," katanya. Selesai dengan Rudiastuti kembali majelis hakim dibuat keras oleh sikap saksi berikutnya. Saksi Sarjono tak menyatakan kesediaannya disumpah sebagai saksi. Ia langsung saja membacakan ayat-ayat Qur'an: "Marilah kita hanya tunduk pada hukum Allah dan rasulNya!" Begitu diucapkannya berulang-ulang setiap hakim mendesaknya untuk disumpah. Hakim Hasan Machmud, setelah berpengalaman dengan para saksi yang bersikap demikian merendahkan pengadilan yang dipimpinnya, kali ini tak banyak timbang lagi. "Saya mengerti saudara tahu hukum Islam. Tapi sebagai warganegara saudara harus tunduk juga kepada hukum negara." Karena saksi ini masih juga menjawab setiap kali dengan ayat-ayat suci, Hasan Machmud pun bersikap tegas: dia minta agar jaksa menyandera Sarjono sampai dua minggu. "Bawa dia keluar dan tahan!" Saksi Sugiono, mahasiswa, memang tak sampai harus disandera untuk mentaati ketentuan sumpah. Tapi ia sempat juga membuat majelis kesal. Dia bersumpah demikian: "Wallahi, demi Allah yang menghidupkan hakim, saya bersumpah . . . " Hukum Acara (HIR 262) memang memberi kewenangan bagi hakim untuk bersikap keras, sampai boleh memerintahkan jaksa untuk menyandera dalam kurungan, bila ada saksi yang enggan bersumpah tanpa alasan. Tapi adakah aturan-aturan sumpah secara khusus? Tampaknya tidak ada. Pernah seorang saksi beragama Hindu Bali dibawa sebagai saksi di pengadilan. Hakim tak dapat menentukan tatacara sumpah bagi saksi ini. Dan saksi sendiri juga tak paham: bagaimana sumpah di pengadilan bagi penganut Hindu Bali Para hadirin sidang pun, ketika dimintai pendapatnya oleh hakim, tak ada yang paham. Akhirnya hakim, waktu itu Sukendro Asmoro SH dari pengadilan Jakarta, mengambil jalan yang meyakinkan: Saksi diminta menenggak segelas air putih, mengheningkan cipta sejenak, lalu melafaskan sumpah .... yang biasa diucapkan bagi pemeluk agama Kristen. Hariman Berjanji Menurut jaksa Zamzam, tatacara penyumpahan bagi penganut agama Islam, "harus di bawah kitab Qur'an." Sedangkan bagi Hasan Machmud penyumpahan cara begitu "kebiasaan" saja. Ia mengambil contoh kebiasaan pengambilan sumpah bagi pegawai negeri. "Semuanya dengan Qur'an." Namun menurut pengacara Haji Suprapto SH, penyumpahan bagi orang Islam, sebenarnya "cukup dengan mengatakan 'Wallahi ' saja." Tak usah di bawah kitab suci. Pengacara Yap Thiam Hien berpendapat "Sikap para saksi, yang enggan disumpah, sudah dapat dianggap menghina pengadilan." Tapi "seharusnya hakim juga memberikan alternatif lain jika saksi enggan disumpah." Kalau tak mau disumpah 'kan bisa mengucapkan janji? Yang begitu sudah dipraktekkan beberapa kali. Misalnya dalam perkara Malari. Ketika Hariman Siregar, beragama Kristen, harus menjadi saksi dalam perkara drs. Sjahrir, ia lebih suka mengucapkan janji daripada bersumpah atas nama Tuhan. Begitu juga saksi Bambang Sulistomo, anak Bung Tomo, ketika berdiri sebagai saksi dalam perkara Hariman. Hakim tak mempersoalkan, juga tak melarang. Kepastian tampaknya memang belum ada. "Tergantung kebijaksanaan hakim saja," kata Hasan Machmud. Tapi kepada para saksi perkara Fahmi Basya, yang terdiri dari para mahasiswa, Hasan Machmud minta: "Saya harap generasi muda itu menaruh respeklah pada pengadilan " Tentu saja itu bisa, jika mahkamah bisa memperlihatkan wibawanya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus