SEBAGAI lurah, Suwarto, 37 tahun, tahu ke mana uang PBB (pajak bumi dan bangunan) harus disetor. Tapi Kepala Desa Purwosari, Sukadana, Lampung Tengah, itu dituduh meraibkan uang Rp 4 juta lebih yang dikumpulkan dari penduduknya. Dan ia kelabakan mencari gantinya ketika uang itu ditagih atasannya. Jalan keluarnya bagi Suwarto, menurut polisi, adalah bersekutu dengan komplotan perampok Supaham. Komplotan beranggota empat orang itulah yang Jumat pagi Desember tahun silam menyerbu kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Desa di Raman Aji, Seputih Raman, Lampung Tengah, tak jauh dari pasar. Mereka mengendarai dua sepeda motor, lalu masuk ke bank itu sambil mengacungkan pistol. ''Jangan bergerak kalau mau hidup,'' hardik Supaham. Karyawan BRI dan dua nasabah tidak berkutik ketika digelandang ke satu kamar di kantor yang berbentuk rumah itu, dan dikunci dari luar. Dalam aksi yang cuma lima menit, perampok itu menyikat Rp 4,8 juta dari laci kasir. Para perampok itu tak menutupi mukanya. ''Dari ciri-ciri yang disebutkan, kami sudah mengenali komplotan ini,'' ujar Kepala Polres Lampung Tengah Letnan Kolonel Waluyo. Supaham, yang bertubuh tinggi besar, berpotongan rambut cepak, dan mata kirinya merah itu, pernah ditahan karena terlibat pencurian sapi. Ia bekas anggota ABRI berpangkat prajurit satu dipecat karena desersi. Rekan Supaham, Sugimin, yang kekar dan berkulit hitam, juga masuk daftar wanted di kepolisian setempat, sejak 1989. Awal Januari lalu mereka juga menyatroni pabrik tapioka di Jojok, Lampung Tengah, dan menggondol Rp 6 juta. Di Lampung Tengah, Supaham dan kawan-kawan setidaknya sudah tujuh kali beraksi. Lantas keterlibatan Suwarto? Menurut polisi, ia ini tokoh intelektual perampokan itu, di samping Sugianto, kepala dusun di Sri Tejo Kencana, Punggur, Lampung Selatan. Suwarto dan Sugianto menentukan sasaran, lalu mereka, sebagai perangkat de- sa, memberikan surat jalan untuk komplotan itu jika beraksi di daerah lain. Ketika komplotan itu ke Riau, misalnya, Suwarto membekali mereka surat keterangan untuk mencari kerja. Setelah 15 hari bekerja di penggergajian kayu, mereka merampok gudang PT Perkebunan XXXVI Kampar dan menggaet sekitar Rp 400 juta. Sekembalinya ''merantau'', pertengahan Maret lalu, komplotan itu digulung polisi. Mula-mula Sugianto. Ia melawan saat ditangguk di rumahnya, sehingga tubuhnya luka kena tembakan. Ayah dua anak ini sedang memperluas rumahnya. Suwarto, Supaham, dan dua temannya, Ediar dan Sali, ditangkap di rumah mereka. Sugimin, ketika berbulan madu dengan seorang pelacur yang dinikahinya, diciduk di Indramayu, bersama Nasib, yang ikut merampok di Riau. Di tahanan, Suwarto, yang mengaku tamatan madrasah tsanawiyah ini, mengingkari terlibat dalam komplotan itu. Desember tahun lalu ia didatangi Sugianto, kepala dusun di desa tetangganya, beserta Supaham, Sugimin, dan lainnya. ''Sugianto minta agar saya membuat surat jalan untuk teman-temannya itu. Mereka mau mencari kerja di Jambi,'' kata ayah satu anak itu. Suwarto mengaku, ia sebetulnya menolak sebab mereka bukan warganya, tapi Sugianto mendesak, dengan alasan mereka bakal tertangkap polisi bila tetap di desanya. ''Sudah kadung mereka ke rumah, saya takut kalau tidak mengeluarkan surat itu,'' katanya kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Ia kini sudah dicopot dari jabatan lurah. Polisi tidak mempercayai omongan Suwarto. Sepeda motor yang dipakai merampok BRI itu ternyata miliknya. Suwarto sendiri mengaku mendapat sejuta rupiah dari hasil perampokan itu. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini