Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tangan Bandar dalam Penjara

Kepala Rumah Tahanan Purworejo dan anggota Kepolisian Daerah Jawa Tengah terlibat jaringan narkotik di dalam penjara. Diduga ada upeti ke pejabat lain.

21 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tangan Bandar dalam Penjara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN petugas Badan Narkotika Nasional singgah di warung Erinawati di Kompleks Komando Rayon Militer 01, Purworejo, Jawa Tengah, Senin pekan lalu. Sebelum memesan makanan, mereka sejenak mengawasi Rumah Tahanan Kelas IIB Purworejo, yang lokasinya bersebelahan dengan kantor Koramil. Tak lama kemudian, para penyidik BNN memesan sup dan soto ayam. "Saya melihat mereka tiba-tiba saja datang ke warung, duduk, dan pesan makanan," ujar Erinawati, Rabu pekan lalu.

Saat rekan-rekannya asyik menyantap hidangan, salah seorang petugas BNN menelepon Teguh, petugas Rutan Purworejo, kenalannya. Ia meminta Teguh mengajak Kepala Rutan Purworejo Cahyo Adhi Satriyanto ke warung tersebut untuk membicarakan kerja sama dengan BNN. Teguh lalu datang bersama bosnya. Belum sempat Cahyo duduk dan memesan makanan, petugas BNN langsung menginterogasi dia. "Awalnya kami tanya, kenal enggak Sunarso dan Suhartinah?" kata Kepala BNN Jawa Tengah Brigadir Jenderal Tri Agus Heru Prasetya.

Cahyo terkesiap. Wajahnya langsung memerah ketika mendengar nama Sunarso dan Suhartinah. Ia semakin gelagapan setelah seorang petugas BNN menunjukkan rekening atas nama Sunarso dan Suhartinah. Keduanya kenalan Cahyo saat menjadi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Semula Cahyo membantah tak mengenal mereka. Begitu ditanya ulang, menurut Heru, dia menjawab, "Siap salah."

Melalui dua rekening ini, Cahyo menampung duit Rp 300 juta dari Christian Jaya Kusuma alias Sancai, terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Dari hasil penelusuran petugas BNN, pengirim duit ke rekening itu adalah salah satu orang kepercayaan Sancai yang berada di Kalimantan Selatan, Charles Cahyadi, 33 tahun. Transaksi terjadi 18 kali sejak Sancai dan Cahyo sama-sama di LP Nusakambangan, awal 2017.

Petugas BNN juga memperdengarkan rekaman komunikasi Cahyo dan Sancai yang membahas pengaturan narkotik di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan beserta imbalannya. Cahyo terkulai setelah petugas BNN menunjukkan semua barang bukti itu. Setelah Cahyo mengakui temuan transaksi dan keberadaan rekaman, belasan petugas BNN segera membawa dia ke ruangannya di kantor Rumah Tahanan Purworejo. "Kami interogasi dia di warung, bukan di kantornya, karena khawatir gaduh," ujar Heru.

Setiba di ruangan Cahyo, belasan petugas BNN menyebar untuk melakukan penggeledahan. Mereka kemudian menyita sejumlah barang, yang menurut pengakuan Cahyo dibeli dengan duit Sancai. Barang itu antara lain sepatu seharga Rp 2,5 juta, televisi, dan empat kalung kesehatan senilai Rp 1,3 juta. Kepada petugas BNN, Cahyo mengakui bahwa semua barang tersebut dibeli dari uang Sancai. Selain dibelikan barang-barang, Rp 32 juta duit dari Sancai dikirimkan Cahyo ke rekening istrinya. "Beberapa kali untuk membayar tiket pesawat dan sewa hotel," kata Heru.

Setelah semua bukti kuat, petugas membawa Cahyo ke kantor BNN Jawa Tengah. Di sana, ia langsung diperiksa secara maraton. Pada hari itu juga BNN menetapkan Cahyo sebagai tersangka dan langsung menjebloskannya ke tahanan. Penyidik menjerat Cahyo dengan Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Keesokan harinya, penyidik membawa Cahyo dan Sancai ke kantor BNN pusat di Cawang, Jakarta, untuk gelar perkara.

Nama Cahyo mulai masuk radar setelah BNN menciduk Dedi Setiawan, kurir pembawa sabu 800 gram, di Jalan Setiabudi, Semarang, pada 8 November 2017. Kepada petugas, Dedi mengaku bahwa sabu asal Aceh itu berasal dari Sancai. Padahal saat itu Sancai sedang menjalani sisa hukuman di dalam Lembaga Pemasyarakatan Pekalongan. Petugas kemudian mencokok Sancai hari itu juga. Semua barangnya disita, termasuk telepon seluler. Dari ponsel Sancai itu jejak keterlibatan Cahyo terkuak.

Dugaan keterlibatan Cahyo menguat setelah petugas BNN menangkap dua orang kepercayaan Sancai di Kalimantan Selatan, Kamis dua pekan lalu. Keduanya adalah Charles Cahyadi dan Sabiran, 24 tahun. Saat penangkapan, mereka kedapatan membawa Rp 400 juta dalam safe deposit box sebuah bank swasta. Dari mereka, petugas BNN juga menyita dua batang emas 500 gram dan 850 gram.

Charles dan Sabiran adalah orang yang disuruh Sancai membuka rekening untuk menyuap para pejabat lembaga pemasyarakatan dan menampung duit hasil narkotik. Dari pengakuan Charles kemudian terungkap jejak aliran dana ke Cahyo.

Sancai mulai berinteraksi dengan Cahyo ketika keduanya sama-sama di LP Nusakambangan, awal 2017. Cahyo saat itu yang memimpin pengamanan lembaga pemasyarakatan tersebut. Sedangkan Sancai baru saja datang ke LP Nusakambangan setelah dipindahkan dari LP Kelas I Kedungpane, Semarang. "Sancai tergolong bandar kakap narkoba dalam penjara," ujar Ajun Komisaris Besar Polisi Suprinarto, Kepala Bidang Pemberantasan BNN Jawa Tengah.

Sancai pertama kali masuk bui karena kasus kepemilikan 500 gram sabu pada 2014. Ia divonis tujuh tahun penjara dan mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Karang Intan, Kalimantan Selatan. Dua tahun kemudian, ia dipindahkan ke LP Kedungpane, Semarang. Baru satu tahun di sana, ia dipindahkan lagi ke LP Narkotika di Nusakambangan, sampai akhirnya menghuni LP Pekalongan. Selama di penjara, Sancai tetap mengendalikan jaringan narkotiknya.

Ketika Sancai di Lembaga Pemasyarakatan Pekalongan, Cahyo menjadi Kepala Rutan Purworejo. Kendati terpisah ratusan kilometer, komunikasi keduanya tetap berlanjut melalui telepon seluler. Menurut Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso, dalam ponsel milik Sancai, Cahyo beberapa kali terdeteksi meminta duit ke Sancai melalui aplikasi pesan instan BlackBerry Messenger. Bahkan, kata Budi, ada percakapan ketika Cahyo meminta duit untuk atasannya kepada Sancai. "Sebagai upeti," ucapnya. BNN tengah mendalami apakah atasan Cahyo turut menikmati fulus Sancai.

Saat di Nusakambangan, Cahyo diduga menjadi pelindung Sancai. Ia bahkan memfasilitasi dan mempermudah Sancai dalam menjalankan roda bisnis narkotiknya di dalam penjara dengan memberi alat komunikasi. "Dia tahu, bahkan bekerja sama. Makanya dia minta duit," ujar Budi Waseso. Saat dihadirkan pada konferensi pers di kantor BNN pusat, Cahyo memilih bungkam ketika ditanya wartawan ihwal penerimaan duit dari Sancai dan keterlibatannya membantu jaringan tersebut.

Selain melibatkan Cahyo, kasus narkotik Sancai ini menyeret anggota Direktorat Reserse Kriminal Narkoba Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Ajun Komisaris Koko Wahyu. Nama Wahyu muncul tidak lama setelah petugas BNN mencokok Dedi Setiawan.

Seusai penangkapan itu, Suprinarto menerima panggilan telepon dari Wahyu. Ia meminta BNN tidak mengaitkan kasus Dedi dengan Sancai. Wahyu bahkan menawari Suprinarto sejumlah uang agar mengabulkan permintaannya.

Mendapat tawaran itu, Suprinarto melapor kepada atasannya, Tri Agus Heru Prasetya. Keduanya sepakat menjebak Wahyu dengan berpura-pura menerima tawaran uang tersebut. Sempat terjadi tawar-menawar yang alot, Suprinarto dan Wahyu sepakat transaksi di angka Rp 500 juta. Pada hari transaksi, 1 Desember 2017, Wahyu menelepon Suprinarto dan meminta bertemu di Restoran Gama, Jalan M.T. Haryono, Semarang, sembari makan siang. Wahyu menyerahkan duit itu di mobil Suprinarto saat hendak pulang.

Pada saat bersamaan, tim Pengamanan Internal Polda Jawa Tengah yang sudah sejak awal mengawasi gerak-gerik Wahyu langsung mencokoknya. Saat penyergapan itu, tim menemukan uang Rp 450 juta dan narkotik jenis sabu 1 gram dari dalam tas Wahyu. Polisi juga menggeledah rumah Wahyu dan menyita Rp 100 juta di sana. Semua uang Wahyu diduga berasal dari Sancai. Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Agus Admaja mengatakan perkara Wahyu masih dalam proses melengkapi berkas sebelum ke pengadilan. "Kami masih menunggu apa saja petunjuk dari jaksa," ucap Agus.

Pengacara Sancai, Musrito, mengatakan kliennya akan membantu BNN membongkar jaringan narkotik dalam penjara. Upaya ini, kata dia, dilakukan agar hukuman untuk Sancai kelak bisa ringan. "Di atas Sancai itu ada bosnya lagi," ujarnya.

Erwan Hermawan, Fitria Rahmawati (semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus