Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa kecelakaan seorang petinggi negeri pada November tahun lalu memunculkan berbagai hal, dari yang sarat muatan politik sampai yang ringan-ringan. Dua hal yang ringan dan menjadi viral adalah perbincangan tentang tiang listrik atau tiang lampu dan istilah pembantaran.
Di jagat bahasa, kata pembantaran diusut asal-usulnya. Dalam Tuhfat al-Nafis, yang mulai ditulis pada 1866, terdapat teks yang memuat kata bantar. Kalimat lengkapnya: "dengan takdir Allah taala Yang Dipertuan Muda pun geringlah kena penyakit raja, iaitu penyakit pak ipa pada pihak belakangnya, mangkin sehari mangkin besar. Beberapa kali sudah dibantar-bantar orang tiada juga sembuh penyakit itu mangkin sangat juga."
Kamus Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woordenboek (1916), yang disusun Klinkert, memuat kata bantar. Kata bantar, membantar didefinisikan sebagai "stuiten, bezweren, beletten, b.v.v.e. ziekte, gevaar, strorm enz. iets dreigends tegenhouden, tegengaan" atau "berhenti, mengusir, mencegah, misalnya hentikan penyakit, bahaya, ketegangan, dan lain-lain, hentikan sesuatu yang mengancam". Kemudian pembantaran didefinisikan sebagai "stuiting, bezwering".
Dari dua data tersebut, saya memahami bahwa kata bantar berkolokasi dengan upaya penghentian atau pencegahan sesuatu yang negatif, seperti penyakit dan bahaya. Kata bantar dengan makna itu kemudian direkam dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang disusun Poerwadarminta, dengan makna "menolak (mencegah) penyakit dsb.". Selanjutnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi pertama, yang diterbitkan pada 1988, mencatat kata bantar dengan arti yang sama, dengan penambahan lema pembantar dengan makna "pencegah; penangkal".
Dalam KBBI edisi keempat, yang diterbitkan pada 2008, kata bantar dicatat dengan hal yang sama, dengan penambahan kata pembantaran yang didefinisikan sebagai "penangguhan masa penahanan". Kata dan makna itu tentu merujuk pada konteks yang baru karena makna ini berbeda dengan makna yang sudah ada.
Makna pembantaran berkaitan dengan istilah hukum. Lalu dari mana asal pemaknaan itu? Jika menelusuri Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie atau Kitab Oendang-Oendang Hoekoeman bagi Hindia-Belanda, yang menjadi cikal-bakal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kita akan bersua dengan kata stuit dan stuiting dalam Artikel 80 Pasal 1 dan 2.
Kemudian, dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pembantaran (Stuiting) Tenggang Waktu Penahanan bagi Terdakwa yang Dirawat-Nginap di Rumah Sakit di Luar Rumah Tahanan Negara atas Izin Instansi yang Berwenang Menahan, terdapat frasa "penahanannya ditangguhkan" (gestuit). Adapun dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian, terdapat frasa "pembantaran penahanan" yang didefinisikan sebagai "penundaan penahanan sementara terhadap tersangka karena alasan kesehatan".
Apa yang bisa disimpulkan dari uraian tersebut? Kamus-kamus mencatat kata bantar dari bahasa Melayu dalam arti yang pertama. Kata itu sudah tidak digunakan dalam konteks umum. Namun, dalam konteks hukum, kata bantar masih digunakan dalam tiga arti, yaitu "penghentian", "penangguhan", dan "penundaan", karena ketiganya dalam bahasa Belanda menggunakan kata yang berakar sama, yaitu stuit, stuiting, dan gestuit. Karena itu, perkembangan makna dari kata bantar itu dicatat kemudian oleh KBBI. Nah, kata-kata lain yang merupakan bagian dari khazanah kosakata bahasa Indonesia dapat bernasib sama. Sebuah kata yang sudah "mati" atau klasik dapat dihidupkan kembali atau diberi makna baru sesuai dengan konsep yang diperlukan. Dengan demikian, bahasa Indonesia mengalami pengayaan konsep. l
Asep Rahmat Hidayat
Peneliti muda di Balai Bahasa Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo