SEKITAR 600 kepala keluarga atau 4.000 jiwa penduduk Kalianak Timur, Kota Madya Surabaya, mengalami musibah yanK tidak pernah dialami penduduk di tempat lain: hak perdata mereka selaku penduduk untuk mempcroleh Kartu Tanda Penduduk (KTP), tanpa melalui pengadilan, dicabut wali kota. Hukuman itu dijatuhkan pemerintah kota karena mereka dianggap berdosa mendiami tanah yang berstatus tanah negara. Pemerintah kota kini merencanakan pembangunan terminal bemo dan pertokoan di atas tanah itu. Persoalan yan menimpa ribuan penduduk itu bermula dari instruksi pembantu wali kota Surabaya Utara, Wasito Adi, April lalu. Wasito melarang seluruh aparat kecamatan dan kelurahan yang membawahkan wilayah Kalianak Timur untuk memproses atau mengeluarkan surat Keterangan Susunan Keluarga (KSK) dan KTP. Kecuali itu, menurut Wasito, pemerintah kota merencanakan menarik KSK dan KTP yang telanjur diberikan. Instruksi itu dikeluarkan setelah wali kota Surabaya, Poernomo Kasidi, mengumumkan bahwa KTP penduduk yang lama, berwarna hijau, tidak berlaku lagi, dan harus diganti dengan yang berwarna oranye. Akibat instruksi Wasito itu, hampir tidak ada penduduk Kalianak Timur yang bisa mendapatkan KTP. Tiga rukun tetangga di Kalianak Timur itu di bekukan oleh lurah setempat. Penduduk yang berusaha menemui ketua RW dan lurah Morokrembangan ditolak oleh aparat pemerintah desa itu. "Kami tidak diperbolehkan lagi mengurusi keperluan warga Kalianak Timur," jawab Ketua RW Soewandi dan Lurah R.C. Moedjono, kepada setiap penduduk yang mencoba meminta haknya. Penolakan aparat desa itu membuat keresahan penduduk semakin hari semakin memuncak. "Kami ini orang-orang kecil. Kalau pemerintah mau mengambil tanah itu, silakan. Tapi mengapa kami tidak diberi KTP? Bukankah kami orang Surabaya asli? Lalu dianggap orang mana kami ini?" tanya Sukirno, seorang penduduk di Kalianak Timur, beruntun. Ketua RT IV, yang kini dibekukan, Nawawi, menyesali soal status tanah yang didiaminya disangkutkan dengan pengurusan KTP dan pembekuan RT-nya. "Sekarang kaml )adi sulit untuk ke mana-mana. Seandainya kami kecelakaan di jalan, bagaimana orang tahu identitas kami?" kata Nawawi. Mereka memang mengakui, tanah itu semula milik Dinas Perikanan. Tetapi tidak pula semata-mata kesalahan mereka sampai bermukim di daerah itu. Semula, cerita mereka, tanah itu merupakan rawa, dan dipakai untuk pembuangan sampah. Pada 1979, seorang pegawai Dinas Perikanan, H. Soleh Sudjono, mengaku mendapat surat kuasa dari kepala dinasnya, waktu itu Army Broto, untuk menjual tanah rawa itu. Mendengar kabar itu, penduduk yang tidak mempunyai rumah berbondong-bondong meminta kapling dari Soleh. Mereka membeli rawa yang dikapling-kapling seluas masing-masing 5 m x 20 m dengan harga a Rp 300.000. "Itu baru untuk kapling. Jika dihitung dengan ongkos uruk, waktu itu bisa mencapai Rp 1 juta," ujar Hasan Misdiyar, seorang penduduk. Sejak saat itu rawa-rawa Dinas Perikanan disulap menjadi permukiman - yang kemudian dikenal dengan Kalianak Timur. Tidak kurang dari 415 buah rumah berdiri disitu, lengkap dengan sarana masjid, musala, sekolah, balai kesehatan, bahkan bioskop. Pemerintah kota pun seperti sudah mengakui status kampung itu. Buktinya, camat Morokrembangan meresmikan tiga buah RT di kampung itu. Bahkan di atas tanah yang dikeringkan penduduk itu kini berdiri pula kantor-kantor instansi pemerintah, seperti kantor perikanan, polisi, dan koramil. Sebagai layaknya sebuah kampung, jaringan PLN, PAM, bahkan telepon pun sudah menjangkau daerah itu. Sebab itu, adalah di luar dugaan penduduk bila tibatiba pemerintah kota memerintahkan agar tanah seluas 4,5 hektar yang sudah menjadi kampung - dengan segala macam atribut resmi - itu dibebaskan karena berstatus tanah negara. Apalagi perintah itu disusul dengan instruksi yang mencabut hak mereka untuk ber-KTP. Kaget mendapat keputusan itu, Mei lalu, penduduk mencoba menemu wali kota. Tapi gagal. Mereka juga gagal mengadukan nasibnya ke ketua DPRD Surabaya. Sebuah sumber menyebutkan bahwa ada anggota DPRD yang enggan mempersoalkan nasib warga itu. "Soalnya, penduduk di situ anggota PPP semua," kata sumber itu. Kepala Humas Kota Madya Surabaya. Achmad Kuntjoro, membantah bahwa ribuan penduduk itu kehilangan hak untuk mendapatkan KTP. "Mereka bisa mendapatkannya, asal saja mereka mau kembali ke tempat asal mereka dulu," ujar Achmad. Sebab, kata Achmad, mereka dianggap salah mendiami tanah yang bukan milik mereka. "Kalau mereka diberi KTP, nanti mereka akan menyulitkan Pemda. Jadi, buat apa diberi kalau nanti KTP itu buat memukul kami," ujar Achmad. Tapi seorang pejabat Pemda Surabaya bersuara lain. Katanya, soal KTP tidak bisa disangkutkan dengan status tanah yang didiami penduduk. Sebab, menurut Peraturan Daerah Nomor 18/1978, semua penduduk Surabaya yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah kawin wajib memiliki KTP. Bahkan mereka yang melalaikannya bisa dipidana 1 bulan kurungan atau denda Rp 10.000. Penduduk sementara atau musiman di kota itu,menurut peraturan tadi, juga harus mempunyai "KTP sementara" atau "KTP musiman". "Kalau orang musiman mendapat KTP lantas orang Kalianak Timur itu penduduk mana?" ujar pejabat yang tidak mau disebut namanya itu. Karni Ilyas Laporan Choirul Anam (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini