Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bermula dari kabayan

Film pertama produksi pemerintah daerah hasil imbauan mendagri rudini lahir di bandung, yakni film "si kabayan saba kota". menyusul pemda ja-tim, ntt, sum-sel, juga sedang sibuk membuat film.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEUSAI menonton film Si Kabayan Saba Kota, Yogie S. Memet langsung mengacungkan jempol. "Bagus," ujarnya. "Tata warna dan pengambilan gambar cukup baik. Film produksi awal kita cukup mengembirakan," sambungnya. Bekerja sama dengan PT Kharisma Jabar Film, Pemda Jawa Barat menyediakan anggaran Rp 150 juta untuk memproduksi Si Kabayan, sementara Kharisma menyediakan dana Rp 200 juta. Biaya itu ternyata akhirnya bisa ditekan. Ongkos produksi keseluruhan hanya Rp 250 juta. Soal penghematan ini juga menunjang kegembiraan Gubernur. Bukan cuma andil saham. Pemda Ja-Bar juga turut rembuk membicarakan skenario dan penentuan lokasi shooting. "Di luar itu kami tidak ikut campur," kata H.S.A. Yusacc, Humas Pemda Ja-Bar. Maksudnya tak ada campur tangan untuk urusan artistik. "Sebagaimana kata Gubernur, kami tidak bermaksud memasung kreativitas seniman," ujar Yusacc. Kisah yang lengket dengan budaya Sunda ini dibuat dalam dua versi. Satu versi untuk masyarakat berbahasa Sunda, menggunakan dialog lokal dan musik yang sangat berbau tradisional. Sedang versi lainnya dijiwai semangat nasional. "Saya juga capek bikin ilustrasi musik dalam dua versi," kata Harry Rusli. Dalam versi Sunda, Harry memakai lagu Cingcangkeling. Sedang untuk "versi nasional", musiknya dibuat lain yang bisa dipahami warga non-Sunda. Film ini cuma memakai 13 artis, yang semuanya berasal dari Jawa Barat. Pengambilan gambar yang dilakukan di Bandung, Lembang, dan Singaparna betul-betul membutuhkan waktu yang singkat. Dari shooting sampai film siap edar, konon, hanya perlu waktu kurang dari satu bulan. "Sebenarnya ini film komersial, hanya mempunyai tanggung jawab ekstra karena kerja sama dengan pihak Pemda. Karena biayanya dari rakyat, maka tanggung jawabnya lebih besar," kata Edison Nainggolan, produser pelaksana film ini. Si Kabayan, yang diputar serentak di seluruh Jawa Barat, sejak awal Mei ini tampaknya memang digemari. Di Bandung saja, misalnya, sampai hari kedua Lebaran, penonton sulit mendapatkan karcis masuk. Tokoh Kabayan itu sudah menjadi bagian dari masyarakat Parahyangan. Selain suasana lebaran membuat masyarakat berbondong-bondong mencari hiburan. Tapi pencinta seni budaya Sunda, Tjetje Hidayat Padmadinata, memberi komentar miring. "Pembuatan film ini ada cacat dalam kandungan. Mengapa kok Jawa Barat memilih film badut?" tanyanya. Walaupun Kabayan merupakan tokoh fiktif, menurut Tjetje, sosok karakter tokoh itu sudah baku sebagai tokoh jenaka. Juga Kabayan adalah tokoh negatif, sama dengan tokoh larangan. Misalnya, kalau orangtua memarahi anaknya yang mempunyai kelakuan jelek, biasanya dikatakan 'kamu jangan seperti Si Kabayan. "Kabayan itu digambarkan pemalas suka menipu dan tidak sopan. Saya kurang setuju film dagelan yang dimunculkan," ujarnya. Tjetje, lalu menunjuk film bertemakan kepahlawanan yang digarap pemerintah daerah lain. Seperti film 10 Nopember yang dibuat Pemda Jawa Timur dan film Nuansa Rinjani yang dibuat Pemda Nusa Tenggara Barat. Juga disebutkan film Tjoet Nya' Dhien yang menularkan tema kepahlawanan -- walau film ini bukan dibuat berdasarkan imbauan Menteri Rudini. Menurut Tjetje, Pemda Ja-Bar lebih tepat kalau mengangkat kisah kepahlawanan, misalnya tokoh pejuang K.H. Zainal Mustafa dari Singaparna atau H. Hasan dari Cimateme, Garut, yang melawan Jepang. Bisa pula Sultan Agung Tirtayasa, Hasanuddin atau Bagusrangin dari Majalengka. "Kalau Si Kabayan ini murni biaya swasta, saya tidak perlu berkomentar. Tapi ini kan biaya dari Pemda Rp 150 juta, itu bukan sedikit," kata Tjetje. Suyatna Anirun, seniman teater cukup kondang di Bandung, juga kecewa. Menurut dia, film ini kurang perencanaan, sejak pembuatan skenario sampai penggarapannya. "Tidak berkembang. Dialogpun kebanyakan verbal, suasananya kurang menggelitik," kata Suyatna. Namun, Yusacc membela. Justru film ini untuk mengubah citra masyarakat pada tokoh Kabayan. Diakuinya ada beberapa versi tentang tokoh Kabayan. Ada yang menyamakannya dengan tokoh Abunawas yang tengil itu. "Kategori itulah yang ingin kami perbaiki," ujar Yusacc. Dalam film ini, profil Kabayan muncul sebagai orang lugu, jujur, dan simpatik. "Pada pembuatan film perdana ini, kami sengaja menampilkan cerita yang sederhana, tetapi tetap masih bisa dinikmati dan merupakan penggalian dari potensi masyarakat. Kalau bertemakan kepahlawanan dan sejarah, sepertinya harus semikolosal atau kolosal. Berat dalam soal biaya," katanya. Yang meniru Jawa Barat -- dalam arti tidak membuat film kepahlawanan -- ada juga. Misalnya Pemda Sumatera Selatan. Kini di Palembang sedang dikerjakan film Si Pahit Lidah, sebuah legenda setempat. Film ini disutradarai Pitrajaya Burnama, dengan artis-artis lokal. Bintang tamunya Anna Tairas dan Dewi Irawan. "Jika daerah lain bisa membuat film, kenapa kita tidak," kata Gubernur Sum-Sel Ramli Hasan Basri. Sementara itu, di provinsi lainnya belum terdengar ada sambutan. Di Bali, misalnya, memang banyak dikerjakan film, tapi bukan dibuat atau bekerja sama dengan pemerintah daerah. Di Sumatera Utara lain lagi. Seniman-seniman Medan sudah berusaha menghubungi Pemda Sum-Ut. Tapi belum ada hasilnya. "Konon, tidak ada uang dan masalahnya tidak ditanggapi secara serius," kata M. Arief Husin Siregar, Ketua Parfi Sum-Ut. Padahal, di masa Gubernur Marah Halim, seniman Medan menghasilkan lima buah film. Bahkan Medan punya studio film yang dibangun atas bantuan pemerintah daerah. Putu Wijaya dan Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus