SUARA letusan mengejutkan Padel, yang sore 28 Juni itu tengah bersantai di rumahnya di kawasan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Ia menoleh ke arah bunyi itu sebuah rumah yang cuma berbatas gang dengan tempat tinggalnya. Padel sebenarnya tahu persis, di lantai atas rumah petak itu enam pemuda sedang berkumpul. Mereka adalah teman-teman Padel, karena samasama berasal satu kampung dengannya di ranah Minang. Hanya saja, Padel, 28 tahun, tak tahu pasti, buat apa teman-temannya itu berkumpul. Sebelum letusan itu, ia hanya melihat seseorang naik tangga rumah itu, sambil membawa bir dan minuman keras "Mansion House". Sebab itu, begitu letusan berbunyi, Padel bergegas menuju rumah itu. Tapi ketika ia menuju ke rumah itu, seorang pemuda, bernama Ai, berlari menuruni tangga, lalu mengambil helm yang dititipkan di rumah Padel, dan kabur dengan motornya. Disusul Kale, calo karcis kereta, Monte, penjaga toko, Jeki, calo karcis, dan Amboni, pedagang teh botol. Keempat orang itu, yang biasa mencari nafkah di staslun Senen, tergopoh-gopoh meninggalkan kamar. Hanya Heri yang belum kelihatan. Ke mana? Padahal, Padel tahu pasti, Heri berada dalam kamar itu. Sebab, Sertu. (Pol.) Heri Marwan Syamsu, 26 tahun, yang kini anggota Polsek Beber, Cirebon, sempat mampir ke rumah Padel, sebelum naik ke kamar yang disewa Hasan. Tapi bukan hanya Padel yang kaget karena letusan itu. Warga yang tinggal di Gang H. Mohamad Ali juga bergegas keluar rumah. Maklum, di gang sempit itu rumah berdempet-dempetan. Tapi tak seorang pun berani melongok kamar berukuran 3 x 4 meter itu, sampai akhirnya Nyonya Nuri, salah seorang warga, memberanikan diri. Di kamar itu ternyata Heri Marwan telah tewas. Tubuhnya terkulai tak bernyawa. Kaus merah dan celana jeans-nya dibasahi darah segar. Dan warna merah memercik ke dinding tripleks kamar itu. Botol-botol minuman keras berserakan. Polisi pun dihubungi. Sabtu pekan lalu, Kapolda Metro Jaya, Poedy Sjamsudin, mengumumkan bahwa Sertu. (Pol.) Heri Marwan tewas karena pembunuhan. "Si pelaku menembak Sertu. Pol. Heri dengan senjata api dinas korban. Kemudian menyelipkan kembali senjata api itu di pinggang korban yang telah tewas," kata Poedy. Empat orang tersangka pelaku penembakan telah ditangkap, termasuk Hasan, yang menyewa kamar itu sejak sekitar empat bulan lalu. Tapi, kata Poedy, polisi masih melacak motif pembunuhan itu. Ternyata, hasil outopsi memberikan kemungkinan lain atas peristiwa itu. Ciri-ciri luka korban, mendukung kemungkinan Heri bunuh diri. Pada kepala Heri ditemukan luka tembak tempel di pelipis. Arah luka menunjukkan tembakan dari pelipis sebelah kanan, dengan posisi agak miring ke atas, menembus otak besar dan keluar beberapa sentimeter di belakang pelipis kiri. "Melihat ciri luka itu, penembakan dilakukan dalam jarak sangat dekat atau luka tembak tempel. Sebab itu. kami memprediksikan kasus itu ke arah bunuh diri," kata sumber TEMPO. Luka itu, menurut sumber tadi, cocok dengan ciri orang yang menembak pelipis dengan tangan sendiri. Juga diketahui bahwa Heri meninggal tidak dalam keadaan mabuk, meskipun botol minuman keras berserakan di kamar itu. Kemungkinan pembunuhan hanya ada bila pelaku bisa dengan persis meniru letak tangan korban ketika menembak, untuk memberi kesan bunuh diri. Atau, korban diancam agar bunuh diri. Teka-teki itu memang belum terjawab tuntas. Apalagi sampai kini tak jelas kenapa Heri waktu itu berada di Jakarta. Atasan Heri, Kapolsek Beber, Cirebon, tidak mengetahui alasan Heri ke Jakarta. "Selesai tugas jaga malam, dia pergi tanpa saya ketahui. Jadi, bukan dalam rangka tugas," kata Letda. (Pol.) Djachudin A.S. Anehnya, Wakapolres Cirebon, Mayor (Pol.) Didi Rochyadi, membenarkan bahwa Heri ke Jakarta untuk suatu tugas, kendati tak mau menyebutkan persisnya tugas Heri. Heri, pemuda lajang kelahiran Lolong, Padang, dikenal sebagai anak baik dan peadiam. "Segala perintah dilaksanakan. Tak ada masalah di bidang mentalitasnya," kata Djachudin lebih lanjut. Heri, lulusan Sekolah Bintara Militer Sukarela 1984 itu, bertugas di Polsek Beber pertengahan 1986. Di Cirebon, Heri tinggal bersama Bachtiar, 42 tahun, yang sama-sama urang aak dan satu marga dengannya. Menurut Bachtiar, Heri -- anak sulung dari lima bersaudara -- datang keJakarta tahun 1981, setelah lulus STM di Padang. Ketika dia menganggur, kata Bachtiar, Heri sempa menjadi "jagoan" yang menguasai beberapa tempat di Jakarta, termasuk Tanah Tinggi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini