Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA petinggi Kejaksaan Agung itu meriung di ruang rapat Jaksa Agung, Senin siang pekan lalu. Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono memimpin rapat, membahas langkah Kejaksaan menghadapi putusan Mahkamah Agung yang menolak peninjauan kembali gugatan praperadilan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dalam rapat yang dihadiri para jaksa agung muda itu, Darmono meminta masukan opsi yang paling mungkin diambil Kejaksaan.
Dari pertemuan ini muncul usulan tiga langkah hukum, yaitu deponering atau mengesampingkan perkara Bibit-Chandra demi kepentingan umum, menerbitkan SKPP baru, atau melimpahkan perkara ke pengadilan. Setelah ditimbang peluang dan risiko hukumnya, dalam rapat selama dua jam itu, Darmono menjatuhkan pilihan pada opsi deponering atau melimpahkan perkara ke pengadilan. Peluang menerbitkan SKPP baru dianggap sangat kecil karena belum pernah terjadi satu perkara dihentikan dua kali. ”Saya jauh dari opsi itu,” kata Darmono kepada Tempo seusai rapat.
Palu tak bisa langsung diketukkan, karena Darmono menunggu ada ketetapan Jaksa Agung baru. Sebagai pelaksana tugas, ia mengaku tidak memiliki kewenangan memutuskan kebijakan strategis itu. Jaksa Agung baru nanti, kata dia, yang akan menentukan dan meneken opsi yang dipilih.
Sejumlah kalangan terbelah dalam menyikapi ihwal bisa atau tidaknya Pelaksana Tugas Jaksa Agung mendeponir perkara. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. dan Ketua Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman menilai Pelaksana Tugas Jaksa Agung bisa mengesampingkan perkara. Sedangkan anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun dan Aziz Syamsudin, menilai sebaliknya. Gayus dan Aziz menambahkan syarat, deponering bisa diputuskan setelah Kejaksaan meminta saran DPR, Presiden, dan MA.
Putusan MA itu menjadi antiklimaks perlawanan Kejaksaan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang memenangkan gugatan praperadilan Anggodo Widjojo atas terbitnya SKPP perkara Bibit-Chandra. Setelah upaya bandingnya ditolak dua pekan lalu, giliran MA menolak upaya PK dari Kejaksaan. Dalam amarnya, majelis hakim yang diketuai Imron Amwari dan beranggota Komariyah P. Saparjaya dan Mugiharjo menyatakan NO (niet ontvankelijk verklaard) alias PK ditolak karena alasan formalnya tidak terpenuhi.
Menurut juru bicara Mahkamah Agung, Hatta Ali, putusan itu menguatkan putusan banding. Pada 12 Mei lalu, pengadilan tinggi di Jakarta menyatakan SKPP yang dikeluarkan Kejaksaan pada 1 Desember lalu tidak sah. Majelis hakim juga memerintahkan untuk melimpahkan ke pengadilan perkara Bibit-Chandra menyangkut tuduhan penyalahgunaan wewenang dan dugaan memeras Direktur PT Masaro Radiokom yang juga kakak kandung Anggodo, Anggoro Widjojo.
Saat itu, sejumlah kalangan sudah mendesak agar Jaksa Agung Hendarman Supandji mengeluarkan deponering karena tidak ada opsi lain untuk menghentikan perkara. Menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan banding praperadilan bersifat final dan mengikat. Ketua MA Harifin A. Tumpa pernah mewanti-wanti Kejaksaan untuk tidak menempuh upaya hukum ke lembaganya. Harifin justru menyarankan deponering. Dengan dalih yurisprudensi, Hendarman memilih langkah PK. Belakangan, PK itu dinilai keliru oleh MA.
Desakan agar Kejaksaan mendeponir perkara itu kembali mencuat. Indonesia Corruption Watch mendesak Kejaksaan segera mengesampingkan perkara Bibit-Chandra. Selain kasusnya tak pernah ada, menurut Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho, jika perkara ke pengadilan, kinerja KPK bakal terganggu. Lebih-lebih, kata dia, saat ini KPK tengah menangani perkara besar seperti kasus cek pelawat dan Bank Century. ”Kalau SKPP lagi, bisa berlarut-larut karena bisa kembali dipraperadilkan,” kata Emerson.
Sejumlah mantan anggota tim delapan juga menyuarakan desakan deponering. Rabu pekan lalu, dua eks anggota tim delapan, Todung Mulya Lubis dan Anies Baswedan, menemui Darmono di Kejaksaan Agung. Keduanya mendesak Kejaksaan melakukan pemeriksaan tambahan berkas Bibit-Chandra. Alasannya, kata Anies, ada perkembangan baru, yaitu vonis bersalah percobaan suap oleh Anggodo dan tidak bisa ditunjukkannya rekaman pembicaraan antara deputi penindakan KPK Ade Rahardja dan Ary Muladi di sidang Anggodo. Dua hal baru itu, kata Anies, semakin menegaskan rekayasa dalam perkara Bibit-Chandra.
Soal pemeriksaan tambahan, Darmono menyatakan upaya itu tak bisa dilakukan karena kasusnya sudah dinyatakan lengkap (P21). Adapun perihal deponering akan dikaji Kejaksaan. Jika dianggap pilihan tepat, akan diputuskan Jaksa Agung baru.
Sumber Tempo di Kejaksaan menyatakan Darmono tidak akan mengambil langkah gegabah pada saat masa-masa penjaringan nama calon Jaksa Agung. Jika memutuskan deponering, Darmono khawatir putusannya itu dipersoalkan karena statusnya hanya sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung.
Opsi ke pengadilan, kata sumber itu, jelas tidak mungkin dilakukan Darmono. Langkah itu sama saja melawan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Artinya, kans Darmono menduduki posisi Jaksa Agung bisa berkurang. Pelimpahan ke pengadilan juga akan membuktikan inkonsistensi Kejaksaan, yang semula menghentikan perkara itu. ”Dua opsi ini tergantung Jaksa Agung baru,” katanya.
Sumber itu justru berpendapat, opsi yang paling mungkin adalah penerbitan SKPP baru. Syaratnya, putusan Anggodo inkracht. Di MA, kata dia, sangat jarang putusan pengadilan korupsi diralat. Dengan status inkracht, Kejaksaan tinggal menerbitkan SKPP baru dengan dalil tidak ada bukti. Terbuktinya percobaan penyuapan oleh Anggodo, kata sumber itu, otomatis menggugurkan tuduhan pemerasan oleh Bibit-Chandra. Putusan Anggodo sendiri saat berada dalam tahap banding.
Hal senada diungkapkan guru besar hukum Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji. Menurut dia, bila putusan Anggodo inkracht, ada keadaan baru yang memungkinkan SKPP baru yang berbeda dengan sebelumnya—yang memuat alasan penghentian demi hukum. Surat ketetapan baru ini terbit karena alasan tak ada bukti. ”Dalam pidana korupsi untuk sampai inkracht itu tidak lama,” kata Indriyanto.
Opsi melimpahkan berkas ke pengadilan, kata Indriyanto, juga bisa menjadi pilihan. Jika sebagian kalangan tidak meributkan langkah ini, Kejaksaan bisa memilih melimpahkan berkas Bibit-Chandra ke pengadilan. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia termasuk mendukung opsi ke pengadilan. ”Kalau di pengadilan, biar jelas siapa yang berbohong,” Ketua Mappi Hasril Har tanto.
Pilihan deponering dianggap Indriyanto kurang tepat karena harus meminta saran sejumlah lembaga negara terkait. Jika mau deponering, Kejaksaan pasti sudah melakukannya dari awal dan tidak mengulur-ulur waktu. Kini langkah ini, kata Indriyanto, hanya bisa dilakukan oleh Jaksa Agung definitif.
Sumber Tempo di lingkungan Istana menyebutkan kemungkinan besar Jaksa Agung baru dilantik Presiden bersamaan dengan pelantikan Kepala Kepolisian RI, medio Oktober. Anggota staf khusus presiden, Deny Indrayana, tidak menampik hal itu. Soal langkah hukum terkait Bibit-Chandra, ujar Deny, Presiden tidak akan turut campur. Status dua pemimpin KPK ini, Deny menyatakan akan diputuskan setelah Kejaksaan menentukan pilihan. ”Kalau pilihannya deponering, ya mereka tetap pimpinan KPK,” katanya.
Bibit dan Chandra sendiri menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan mengenai langkah hukum yang akan diambil. Kepada Tempo, dalam beberapa kesempatan, keduanya mengaku siap menghadapi kemungkinan terburuk. ”Karena kami tidak punya pilihan,” kata Chandra. Sedangkan Bibit mengaku harap-harap cemas. Sebaliknya, Anggodo menantang Bibit-Chandra untuk berani maju ke pengadilan. Menurut pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, Kejaksaan juga seharusnya melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. ”Perintah hakim itu kan ke pengadilan, jangan dibalas dengan deponering.”
Anton Aprianto, Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo