MANA yang lebih penting: kepastian hukum ataukah keadilan? Polemik klasik itu kini diperdebatkan dalam proses peninjauan kembali (PK) perkara Ram V. Gulumal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Semula, perkara Ram dianggap telah memperoleh kepastian hukum karena sudah divonis bebas di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), vonis itu tak bisa lagi diutak-atik jaksa.
Namun, dengan alasan demi keadilan, Jaksa Fachrul Rozy menuntut agar MA, melalui vonis PK, segera menganulir vonis tadi. Alasannya, vonis kasasi yang membebaskan Ram mengandung empat kekhilafan. Pertama, Ram disebut warga negara Indonesia, padahal ia warga negara India. Kedua, majelis kasasi mencantumkan putusan banding Ram dengan nomor perkara 74 , mestinya nomor 71.
Yang ketiga, MA menyatakan bahwa permohonan banding Ram terhadap dakwaan kedua, yang berupa pasal penggelapan, tidak diterima. Padahal, Ram tidak mengajukan banding atas dakwaan itu. Keempat, MA tak mempertimbangkan fakta tentang dakwaan pertama berupa pasal pemalsuan yang sebelumnya dianggap terbukti oleh pengadilan tingkat pertama dan banding.
Persoalannya, bila upaya PK dari jaksa kelak dikabulkan MA, tidakkah itu justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Bayangkan kaos yang akan terjadi jika pelbagai vonis bebas yang telah berkekuatan hukum tetap lantas bisa dianulir. Memang, preseden serupa pernah terjadi semasa Orde Baru. Pada 25 Oktober 1996, MA melalui putusan PK memvonis Muchtar Pakpahan dengan hukuman empat tahun penjara. Padahal, sebelumnya, Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia itu divonis bebas oleh majelis kasasi.
Namun, perlu diingat, menurut I Made Gelgel, pengacara Ram Gulumal yang bekas Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, vonis PK Muchtar lebih berunsur politik ketimbang hukum. Apalagi belakangan Muchtar memperoleh amnesti, sehingga tak perlu menjalani hukuman berdasarkan putusan PK.
Akan halnya perkara Ram Gulumal, sesungguhnya vonis kasasi tanggal 11 Mei 1995 itu sudah lama digunjingkan. Dulu, Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto mensinyalir vonis bebas itu mengandung kolusi. Ram disebut-sebut telah mengucurkan dana Rp 1,4 miliar untuk memuluskan perkaranya di MA. Tak mengherankan, isu kolusi itu tak kunjung diusut tuntas. MA hanya menyatakan bahwa yang terjadi bukanlah kolusi, melainkan kesalahan prosedur. Sedemikian "sakti" yang namanya Ram Gulumal sehingga Adi Andojo "digusur" dari MA. Pada permohonan PK jaksa, soal kolusi itu pun tak disinggung-singgung sebagai kekhilafan majelis kasasi.
Namun, bagi Made Gelgel, seharusnya MA menolak PK perkara Ram. Sebab, sesuai dengan KUHAP, vonis bebas tidak bisa ditinjau kembali. Apalagi PK yang menjadi hak terpidana atau ahli warisnya—jadi, jaksa tak bisa mengajukan PK—dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi hukuman pada vonis sebelumnya. Dengan demikian, bila vonis bebas bisa ditinjau kembali, vonis macam apa lagi yang lebih ringan dari vonis bebas?
Lagi pula, sambung Made Gelgel, permohonan PK itu sebelumnya pernah dicabut semasa Basrie Arief bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang MA, PK yang sudah dicabut tak bisa diajukan lagi.
Made Gelgel juga menyatakan bahwa PK jaksa sudah tak bermanfaat lagi. Soalnya, vonis kasasi yang membebaskan Ram sudah dieksekusi. "Kenapa jaksa mengurusi perkara yang sudah lima tahun selesai, bukannya menangani kasus korupsi yang begitu banyak?" katanya.
Sayangnya, argumentasi Made Gelgel baru akan ditanggapi Jaksa Fachrul Rozy pada persidangan Kamis pekan ini. Namun, menurut Direktur Pidana MA, Djoko Sarwoko, ketentuan KUHAP yang mengatur hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK tidaklah bersifat limitatif (dibatasi secara tegas). Dengan demikian, berarti tak ada larangan bagi jaksa untuk memohon PK.
Sementara itu, menurut pensiunan hakim agung M. Yahya Harahap, Pasal 21 Undang-Undang Kehakiman Tahun 1970 menentukan pihak yang berkepentingan mengajukan PK. Pihak yang berkepentingan, menurut Yahya Harahap, selain terpidana atau ahli warisnya, ya, jaksa. Dalam Undang-Undang Peradilan Militer Tahun 1997, oditur militer juga dibolehkan mengajukan PK terhadap vonis bebas.
Berdasarkan penafsiran itulah, selain untuk menjamin prinsip keadilan, semestinya jaksa bisa mengajukan PK. "Tidakkah masyarakat, hakim, jaksa, atau pengacara menangis bila seseorang yang bersalah dibebaskan pengadilan?" demikian Yahya Harahap, mempersoalkan.
Hp. S., Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini