Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAUH-JAUH datang dari Lhokseumawe, Aceh Utara, Saiful Syamsuddin, 42 tahun, kini terdampar di sebuah ruko di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sudah empat purnama ia menempati sebuah kamar di rumah-toko itu dengan gratis. Seorang sahabatnya memberikan fasilitas prodeo itu setelah Saiful ditemukan terpuruk kehabisan uang. Ia sedang mengurus kasusnya yang sudah sepuluh tahun tak kunjung selesai.
Kasus yang diurusnya memang tak ringan. Saiful menuntut pertanggungjawaban lima jenderal polisi dan ganti rugi atas lahan keluarganya seluas 10 hektare yang di atasnya kini ”tumbuh” markas Brigade Mobil (Brimob). Lima jenderal yang dikejarnya juga bukan jenderal sembarangan. Mereka: mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Bimantoro dan Da’i Bachtiar, Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam Inspektur Jenderal Bahrumsyah Kasman, Wakil Kapolda Aceh Brigadir Jenderal Rismawan, dan Deputi Logistik Mabes Polri Inspektur Jenderal Heru Susanto. ”Mereka merekayasa hukum sehingga keluarga saya dirugikan,” ujar Saiful.
Tuntutan mantan anggota Polri ini berawal dari penandatanganan perjanjian hibah atas lahan milik PT Banda Kersa, perusahaan milik mertuanya, H.T. Hamzah Risjad, pada 11 Desember 1996. Di situ dinyatakan, Hamzah menyerahkan lahan miliknya untuk pembangunan markas Kompi Brimob di Lhokseumawe. Perjanjian juga menyebutkan, jika markas itu dibangun, Banda Kersa sebagai kontraktornya. Adapun jika pihak lain yang membangun, Polda Aceh harus membayar ganti rugi lahan itu.
Kapolda Aceh, waktu itu Kolonel Suwahyu, menyetujui perjanjian itu. Bersama Kepala Direktorat Logistik Polda Aceh, Letkol M. Ramli Arsjad, Suwahyu menandatangani perjanjian tersebut. Hamzah ikut meneken perjanjian itu sebagai Direktur Utama Banda Kersa.
Polda Aceh dan Banda Kersa juga meninjau lokasi lahan. Semuanya oke. Status lahan Hamzah tak dipersoalkan karena ia memiliki bukti kepemilikan lahan: Hak Guna Usaha Nomor 1. Dokumen ini diterbitkan Badan Pertanahan Kabupaten Aceh Utara pada 8 November 1984. Letak lahan itu di Desa Blang Ado dan Jeulikat, Kecamatan Kuta Makmur dan Blang Mangat, Aceh Utara.
Janji Polda ini, ujar Saiful, ternyata hanya manis di bibir. Diam-diam Polda Aceh menggandeng empat perusahaan yang namanya tak pernah secuil pun muncul pada perjanjian 11 Desember 1996. Mereka: CV Kenari Indah, CV Paramitra, CV Young Star, dan CV Putra Kalit.
Dari sinilah masalah mengalir. Polda Aceh, belakangan, justru mempersoalkan kepemilikan lahan itu. Polda menganggap lahan itu bukan milik Banda Kersa, tapi tanah adat yang dikuasai masyarakat. Empat perusahaan yang menjadi kontraktor itu lantas ”berbaik hati” pada polisi. Mereka membeli lahan itu dan menghibahkan ke Polda. Luas lahan yang dibeli sekitar 31 hektare. Lahan yang dibeli itu tak lain, ya, lahan milik Banda Kersa.
Tak hanya meninggalkan Banda Kersa, belakangan tim Mabes Polri yang turun ke Aceh menyatakan perjanjian Polda Aceh dengan Banda Kersa tidak sah secara hukum. Pihak Saiful kecewa. ”Padahal, sebelum tim Mabes turun, Kapolri Jenderal Bimantoro mengakui lahan itu milik Banda Kersa,” ujar Saiful, yang saat perjanjian antara mertuanya dan Polda Aceh diteken berstatus sebagai anggota Polisi Resor Aceh Utara berpangkat brigadir kepala, dulu setingkat sersan mayor.
Sejak itu, pembangunan markas Brimob pun dimulai. Adapun Saiful mulai bergerak menuntut keadilan. Tidak hanya di Aceh, tapi ”menyeberang” hingga ke Jakarta, dari Dewan Perwakilan Rakyat hingga Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kepada DPR, Kapolri Jenderal Bimantoro membantah lahan itu milik Banda Kersa. Kendati demikian, dalam surat tertanggal 28 September 2001 yang ditujukan ke pimpinan Fraksi TNI/Polri, Bimantoro mengakui ada perjanjian antara polisi dan PT Banda Kersa. Bimantoro menyebut perjanjian itu terjadi 11 November 1996sesuatu yang keliru karena yang benar 11 Desember 1996. Pengganti Bimantoro, Jenderal Da’i Bachtiar, dalam kasus Saiful, juga memberi jawaban yang sama ke DPR. Lahan itu milik masyarakat. Surat penjelasan Da’i itu dikirim ke pimpinan DPR pada 27 Desember 2002.
Berbeda dengan Kapolri, Kepala Polda Aceh Bahrumsyah menyatakan tidak mengetahui adanya perjanjian pada 11 Desember 1996. Kepada Tempo, yang mewawancarainya Jumat pekan lalu, Bahrumsyah bercerita, saat ia ditunjuk sebagai Kapolda Aceh pada 1999, Wakil Kapolri Nana Permana memerintahkan dirinya menyelesaikan sengketa lahan markas Kompi Brimob di Lhokseumawe, Aceh Utara.
Menurut Bahrumsyah, untuk mempercepat penyelesaian kasus itu, ia memanggil Saiful ke kantornya. Bahrumsyah memberi Saiful kompensasi, menjadi kontraktor pada dua proyek Polri yang sebelumnya gagal. Proyek itu membangun rumah polisi di Lancang Garam, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan asrama polisi di Polisi Sektor Blang Keujren, Aceh Tenggara. ”Saya pikir maksud perintah itu karena Saiful dulu tidak kebagian proyek, makanya dia saya kasih proyek,” ujar Bahrumsyah.
Supaya pekerjaan dua proyek itu berjalan lancar, ujar Bahrumsyah, ia lantas mengirim memo kepada Kepala Polres Aceh Utara, atasan Saiful. ”Biarkan Saiful selesaikan proyek itu dulu.” Belakangan, ternyata Saiful justru ditangkap karena dianggap desersi.
Menurut Saiful, sebelum penangkapan itu, pada Maret 2000, sebenarnya ia telah dipecat. Tapi ia tidak tahu lantaran, saat surat pemecatan keluar, ia sedang mengerjakan proyek yang diberikan Bahrumsyah. Kepada Tempo, Bahrumsyah menyatakan tak tahu adanya pemecatan Saiful karena kala itu sudah dipindahkan ke Kalimantan Timur. ”Saya tahu soal itu setelah jadi Kapolda Aceh kembali,” ujarnya.
Pemecatan ini pun dipertanyakan Saiful karena tanpa melalui proses di Mahkamah Militer. ”Pemecatan ini sepihak,” ujarnya. Surat pemecatan Saiful ditandatangani Kapolri Jenderal Bimantoro. ”Ini tidak biasa, karena pemecatan seorang brigadir kepala biasanya cukup oleh Kapolres atau Kapolda,” katanya. Anehnya, empat bulan setelah dipecat, ia dimutasikan ke Polres Aceh Besar. Di sana tak jelas apa posisinya. ”Gaji saya langsung berhenti setelah dimutasi,” ujarnya. Saiful menduga kariernya sebagai polisi sengaja ”dimatikan” lantaran bersuara keras tentang kasus lahan mertuanya.
Saiful bertekad akan terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak keluarganya yang dirampas Polri. Ia menyatakan tak akan pulang ke Aceh sebelum tuntutannya dikabulkan. ”Saya akan menggugat lima jenderal itu ke pengadilan,” ujarnya.
Jenderal Sutanto sudah turun tangan mengusut kasus Saiful. Sebuah tim sudah dibentuk dan diterbangkan ke Lhokseumawe. Hasil kerja tim itu 9 Juli lalu sudah diterima Sutanto. Cuma, isinya tak jauh beda dengan kesimpulan Kapolri sebelumnya. Lahan yang disebut Saiful itu bukan milik Banda Kersa. Adapun juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Paulus Purwoko, membantah cerita Saiful yang menyebut dirinya dipecat karena memperjuangkan lahan keluarganya. ”Saiful memang prajurit yang tidak disiplin,” ujar Paulus.
Maria Hasugian, Erwin Dariyanto, Abdul Manan
Lain Dulu, Lain Kini
Jenderal (Purn.) Bimantoro Kapolri, September 2000-November 2001
Dulu: Sempat mengakui PT Banda Kersa sebagai pemilik lahan markas Kompi Brimob Lhokseumawe. Belakangan ia membantah pengakuan tersebut dan memecat Brigadir Kepala Saiful Syamsuddin yang juga Direktur PT Banda Kersa.
Kini: ”Tugas Kapolri itu legalisasi saja. Bagian teken saja. Seperti apa kasusnya, silakan tanya Polda. Dan banyak sekali sersan yang dipecat, kan? Kalau yang dipecat mayor jenderal, pasti saya ingat betul.”
Inspektur Jenderal Polisi Bahrumsyah Kasman Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam
Dulu: Memberi Saiful dua proyek rehabilitasi rumah dan asrama polisi di Aceh Utara dan Aceh Tenggara sebagai kompensasi atas tuntutan ganti rugi lahan PT Banda Kersa.
Kini: ”Saya tidak tahu ada perjanjian antara PT Banda Kersa dan Kapolda Aceh pada 11 Desember 1996. Saya hanya mematuhi perintah Wakapolri Bapak Nana Permana untuk menyelesaikan masalah kepemilikan tanah Markas Kompi Brimob di Lhokseumawe. Lalu, saya kasih Saiful membangun dua proyek yang dulu gagal, sebagai kompensasi masalah itu. Saya kira masalah sudah selesai.”
Jenderal (Purn.) Da’i Bachtiar Kapolri, November 2001- Juli 2005
Dulu: Mendukung pemecatan Saiful dan tidak pernah mengakui kepemilikan lahan atas nama PT Banda Kersa.
Kini: ”Saya sudah tidak ingat, tapi tolong cek ke bagian logistik. Saya juga sudah hubungi Pak Anton Bahrul Alam. Anda ketemu Pak Anton saja.”
Letjen (Purn.) Polisi Posma Lumban Tobing Wakil Pemimpin Fraksi TNI/Polri DPR 2001
Dulu: Menerima pengaduan Saiful dan mendesak Mabes Polri segera menyelesaikan masalah ini.
Kini: ”Dua kali kami surati Mabes Polri agar segera menyelesaikan kasus itu dengan baik. Tapi sampai tugas kami berakhir di DPR, kasusnya ternyata belum selesai.”
Maria Hasugian, Abdul Manan
Sumber: Wawancara dan investigasi Tempo
Sengketa Panjang Itu
Sudah 10 tahun markas Kompi Brimob di Lhokseumawe, Aceh Utara, berdiri, tapi lahannya masih menjadi pokok perseteruan antara Polri dan warga yang menghibahkan tanah.
8 November 1984 Kantor Agraria Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, menerbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan bagi PT Banda Kersa, perusahaan milik HT Hamzah Risjad. Sertifikat jatuh tempo pada 31 Desember 2005.
11 Desember 1996 Kapolda Aceh Kolonel Polisi Suwahyu bersama Kepala Direktorat Logistik Polda Aceh M. Ramli Arsjad menandatangani perjanjian penyerahan 10 hektare lahan milik H.T. Hamzah Risjad. Lahan digunakan untuk membangun markas Kompi Brimob di Lhokseumawe.
5 Januari 1997 Polda Aceh dan PT Banda Kersa meninjau lokasi.
30 September 1997 PT Banda Kersa memprotes Polda Aceh karena melanggar perjanjian 11 Desember 1996. Perjanjian itu menyebutkan, jika PT Banda Kersa menghibahkan lahan 10 hektare ke Polda Aceh, maka perusahaan itu yang menjadi kontraktornya.
27 November 1998 Terbit delapan akta hibah di atas lahan yang menjadi lokasi pembangunan markas Kompi Brimob Lhokseumawe.
26 Oktober 1999 Atas perintah tertulis Kapolda Aceh Bahrumsyah, Brigadir Kepala Saiful Syamsuddin, Direktur PT Banda Kersa, membangun kembali rumah-rumah dan asrama polisi di Aceh Utara dan Aceh Tenggara yang sudah tidak layak huni.
30 Maret 2000 Saiful diberhentikan dengan tidak hormat dari kepolisian. Saat itu ia masih menyelesaikan pembangunan rumah dan asrama polisi di Aceh Utara dan Aceh Tenggara.
15 Mei 2000 Saiful dimutasi dari Polres Aceh Utara ke Polres Aceh Besar. Padahal, 30 Maret 2000 ia sudah dipecat.
6 Maret 2000 Polres Aceh Utara memasukkan Saiful dalam daftar pencarian orang.
29 Agustus 2001 Pimpinan Fraksi TNI/Polri DPR menyurati Kapolri untuk segera menyelesaikan masalah ini karena sudah berlarut-larut.
17 September 2001 Rapat penyelesaian masalah antara pihak Polri dengan PT Banda Kersa di Mabes Polri.
10 September 2002 Komisi Hukum DPR menyurati Kapolri untuk segera menyelesaikan masalah ini.
12 Januari 2006 Kapolri Jenderal Sutanto menerbitkan surat perintah Nomor Pol: Sprin/43/I/2006 tentang penunjukan tim terpadu untuk meneliti masalah lahan yang dipermasalahkan PT Banda Kersa.
9 Juli 2006 Tim terpadu melaporkan hasil penelitiannya kepada Kapolri Jenderal Sutanto. Intisari laporan, PT Banda Kersa bukanlah pemilik lahan yang disengketakan.
Maria Hasugian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo