Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI gugatan praper-adilannya ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Eddy Tirtadarma masih bisa tersenyum. Hakim tunggal Martin Ponto setidaknya mendengarkan keinginan Direktur Utama PT Transindo Utama Elok itu atas nasib penanganan kasus yang dilaporkannya kepada Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan Markas Besar Kepolisian RI. Dalam pembacaan putusan pada Rabu pekan lalu, hakim memerintahkan penyidik Kepolisian serius menangani laporan Eddy. "Para termohon agar menyempurnakan penyidikannya," ujar Martin.
Eddy mengajukan permohonan gugatan praperadilan lantaran penanganan kasus yang dilaporkannya sebelas tahun yang lalu kepada Badan Reserse Kriminal Polri tak pernah sampai ke pengadilan. Pemilik perusahaan penyedia pakaian dinas tentara itu melaporkan tiga rekan bisnisnya dengan tuduhan penggelapan dan pemberian keterangan palsu. Polisi sudah menetapkan dua rekan bisnis Eddy itu sebagai tersangka. Tapi sejak saat itu pula kasus tersebut jalan di tempat. "Saya hanya butuh perhatian dari semua pihak agar kasus ini ditangani serius," kata Eddy.
Berlarut-larutnya penanganan kasus tanpa kejelasan ini dianggap hakim praperadilan tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Karena soal ini bukan menjadi obyek praperadilan, hakim menolak gugatan tersebut. Terkecuali, menurut hakim, penyidik polisi sudah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan, yang masuk kategori ranah praperadilan. Dengan pertimbangan kasus mendekati kedaluwarsa 12 tahun seperti diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hakim memerintahkan penyidik menyelesaikan perkara tersebut.
Eddy melaporkan dua rekan bisnisnya, Nardi Atmaja dan Lani Kurnia, kepada Direktorat Tindak Pidana Umum Polda Metro Jaya pada 19 Februari 2017 dengan tuduhan penipuan dan penggelapan jabatan. Tak sampai tiga bulan, penyidik menetapkan dua rekan bisnis Eddy itu sebagai tersangka. Berselang lima bulan dari laporan pertama, Eddy kembali melaporkan pasangan suami-istri itu bersama satu rekan bisnisnya lagi, Jack Sian, ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dengan tuduhan pemberian keterangan palsu di hadapan notaris. Tak sampai empat bulan, ketiganya menjadi tersangka. Tapi sejak saat itu penanganan kasusnya macet.
Eddy mulai menjalin bisnis dengan Nardi Atmaja pada 2006. Ketika itu Eddy, yang juga pemilik bank perkreditan rakyat, mendapat tawaran dari Nardi untuk berinvestasi Rp 6 miliar ke perusahaannya. Nardi, yang mengaku pemilik PT Transindo (yang berdiri pada 1997), menjanjikan kepada Eddy bahwa perusahaannya bakal mendapat tender 60 ribu pasang sepatu seragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Kepada Eddy, Nardi mengaku terancam tak bisa mendapatkan proyek itu karena kesulitan modal.
Nardi lantas meminta Eddy berinvestasi di perusahaannya dengan menjanjikan kepemilikan saham 70 persen. Dengan iming-iming itu, Eddy akhirnya menerima tawaran tersebut. Perusahaan itu kemudian menggelar rapat umum pemegang saham untuk memutuskan struktur baru kepemilikan saham pada Juni 2016. Rapat memutuskan Eddy menjadi pemegang saham sebanyak 140 ribu lembar alias 70 persen setelah menyetor Rp 140 juta. Sedangkan Nardi menguasai 60 ribu lembar atau setara dengan Rp 60 juta. Sebagai pemegang saham mayoritas, Eddy didapuk sebagai direktur utama. Adapun Nardi menjabat direktur.
Setelah urusan administrasi perusahaan rampung, Nardi mulai mencari pihak lain untuk memproduksi sepatu. Mereka akhirnya bekerja sama dengan PD Armindo untuk menyediakan 60 ribu pasang sepatu, yang terdiri atas 30 ribu pasang sepatu untuk pakaian dinas harian (PDH) dan 30 ribu pasang sepatu untuk pakaian dinas lapangan (PDL). Perjanjian dengan Armindo didasarkan pada informasi bahwa Nardi memperoleh tender sepatu tersebut.
Untuk membiayai pemesanan itu, Eddy dan Nardi membaginya menjadi dua. Eddy membiayai produksi 15 ribu pasang sepatu PDH dan 15 ribu pasang sepatu PDL. Begitu juga Nardi. Dalam kenyataannya, perjanjian itu hanya terealisasi 15 ribu pasang sepatu untuk pakaian dinas harian dan 15 ribu pasang untuk pakaian dinas lapangan. PT Transindo atau Eddy akhirnya membayar kepada Armindo sebesar Rp 3,3 miliar.
Meski Eddy dan Nardi telah memesan sepatu, ternyata mereka secara resmi baru mendapatkan tender sepatu dari Direktorat Pembekalan dan Angkutan Angkatan Darat melalui Induk Koperasi Angkatan Udara pada November 2006. Karena Nardi tak punya uang, akhirnya pembiayaan tadi sepenuhnya lewat Bank Perkreditan Rakyat Tri Sejahtera Makmur milik Eddy. Nardi mewakili PT Transindo dan BPR Tri Sejahtera Makmur, yang disetujui bagian peralatan TNI, meneken cessie atau pengalihan atas hak tagihan Rp 5,28 miliar atas pekerjaan 30 ribu pasang sepatu dua jenis itu.
Sebulan kemudian, Nardi tanpa memberi tahu Eddy mengirimkan 10 ribu pasang sepatu PDL ke TNI Angkatan Darat dengan kode produksi 2006-01-219. Setelah pengiriman sepatu itu, Nardi dan Lani Kurnia membuat surat pembatalan persetujuan pengalihan hak tagih dari PT Transindo kepada BPR Tri Sejahtera yang ditujukan kepada TNI Angkatan Darat.
Setelah mengetahui pengiriman itu, Eddy menyurati TNI Angkatan Darat agar pembayaran 10 ribu pasang sepatu sebesar Rp 2 miliar dikirim ke rekening PT Transindo. TNI Angkatan Darat lantas menyatakan pembayaran 10 ribu sepatu diserahkan kepada Lani Kurnia. Eddy kemudian menanyakan sisa 5.000 pasang sepatu, tapi TNI menjawabnya tidak ada. Setelah itu, Eddy menyelidiki dan mendapat informasi bahwa sejumlah sepatu tadi telah dijual ke Toko Garuda. Eddy baru menyadari telah ditipu pasangan Nardi-Lani. Ia kemudian melaporkan penipuan ini ke Polda Metro Jaya.
Saat pengusutan kasus penipuan itu, Eddy mendapat informasi bahwa ia telah didepak dari PT Transindo. Informasi itu ia peroleh setelah penyidik Polda Metro Jaya menunjukkan akta RUPS yang digelar pada 20 November 2016. Dalam akta itu tertulis Nardi menjadi direktur utama dengan kepemilikan 140 ribu lembar saham. Ada juga nama Jack Sian, yang merupakan keponakan Nardi, tercatat sebagai direktur dengan kepemilikan 40 ribu lembar saham. Sedangkan Lani di akta itu tertulis memiliki 20 ribu lembar saham dengan posisi sebagai komisaris.
Eddy merasa tak pernah menjual sahamnya kepada Nardi. Ia juga merasa ditelikung karena tak pernah diundang dalam RUPS yang mengubah komposisi saham perusahaan. Merasa dicurangi, Eddy melaporkan ketiganya ke Bareskrim dengan tuduhan pemberian keterangan palsu di hadapan notaris. Beberapa pekan kemudian, mereka menjadi tersangka.
Sama seperti kasusnya di Polda Metro Jaya, laporan Eddy di Bareskrim ini belakangan terkatung-katung. Eddy dan tim kuasa hukumnya berkali-kali menanyakan kepada penyidik soal nasib kasus itu. Mereka selalu mendapat jawaban bahwa kasus sedang diproses. Hingga pada 2017, Polda Metro Jaya mengungkapkan alasan kenapa kasus laporan Eddy jalan di tempat. Rupanya, polisi beralasan bahwa penyidik kasus ini, Inspektur Satu Sudomo, sudah meninggal. "Mereka meminta untuk pemeriksaan ulang Pak Eddy selaku pelapor," ucap Song Sip, pengacara Eddy.
Adapun penanganan kasus di Bareskrim Polri, menurut salah satu penyidik, Ajun Komisaris Besar Yakobus, mengalami kendala pemanggilan para tersangka. "Tersangkanya tidak pernah hadir setiap kali dipanggil," ujar Yakobus. Kendati ketiga tersangka itu tak kooperatif, polisi tak mencegah mereka bepergian ke luar negeri, apalagi memasukkan nama mereka ke daftar pencarian orang.
Menurut Yakobus, penyidikan di Bareskrim sebenarnya masih berjalan. Penyidik, kata dia, kembali memanggil saksi-saksi sejak September 2017. Di persidangan praperadilan, polisi menjadikan pemanggilan saksi lagi itu sebagai dasar bukti membantah telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.
Tempo mendatangi alamat Nardi Atmaja dan Lani Kurnia sesuai dengan alamat yang tertera dalam akta perusahaan mereka, yakni di Taman Harapan Indah P Nomor 25, Jelambar Baru, Jakarta Barat. Etty, penjaga rumah tersebut, membenarkan bahwa Nardi dan Lani pernah tinggal di sana. "Mereka kos di sini," ujar Etty.
Keduanya ternyata sudah lama pindah. Menurut Etty, Nardi dan Lani juga memiliki masalah dengan bosnya karena menunggak pembayaran kos. "Kulkasnya yang sudah jelek itu disita, tapi belum cukup untuk menutup tunggakan kos," tuturnya. Meski Nardi dan Lani telah lama pergi dari tempat kos tersebut, Etty sering menerima surat yang ditujukan untuk mereka. "Banyak orang yang mencari mereka. Katanya punya banyak utang," ujar Etty.
Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo