Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERKAS laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan setebal dua ratus lembar itu diterima Bagian Pengaduan Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal pekan lalu. Isinya memuat laporan transaksi tak wajar Agus Djoko Prasetyo, Kepala Subdirektorat Penyidikan Bea dan Cukai Kepulauan Riau.
Bagi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, informasi tentang rekening mencurigakan salah satu pejabat pabean itu bisa menjadi amunisi baru bagi lembaganya yang memprioritaskan penyelamatan keuangan negara dari sektor bea dan cukai. Adapun ihwal materi laporannya, Saut memilih tidak berkomentar. "Agar tidak mengganggu prosesnya nanti," ujarnya Rabu pekan lalu.
Dari dokumen yang diperoleh Tempo, laporan yang masuk ke komisi antikorupsi tersebut memuat rekening mencurigakan terkait dengan Agus Djoko dalam kapasitasnya sebagai pegawai Bea dan Cukai pada 2006-2011. Laporan itu menyebutkan rekening Agus tak sesuai dengan profil karena salah satunya tidak sebanding dengan pendapatannya yang pada periode tersebut tak sampai Rp 15 juta per bulan. Pangkat Agus ketika itu penata IIIc.
Selama kurun tersebut, rekening pribadi Agus menerima aliran dana Rp 2,7 miliar. Ketika itu, ia menjabat Kepala Seksi Barang Hasil Penindakan dan Kepala Seksi Penindakan II Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dua posisi ini berada di bawah Direktorat Penindakan dan Penyidikan. Agus juga sempat menjabat Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Bukan hanya tak sesuai dengan profil, menurut laporan tersebut, duit di rekening pribadi Agus Djoko itu diduga dari setoran tunai dan kiriman pihak swasta yang bidang usahanya berkaitan dengan impor, otomotif, travel, emas, dan perdagangan.
Salah satu pengirimnya yang disebut dalam laporan itu adalah Sugianto, yang tercatat sebagai Direktur Prakarsa 81. Sebanyak 16 rekening perusahaan ini juga menampung puluhan miliar rupiah duit dari belasan importir. Tiga dari 16 rekening tersebut tercatat pernah menyetor ke rekening istri Agus, Venny Anugerah Sari, dan Wahyu Puji Kristanto, adik Agus.
Selama periode yang sama, Sugianto juga tercatat pernah menyetorkan duit belasan miliar rupiah ke rekening pegawai Bea dan Cukai lainnya, Ahmad Dedi. Pria yang tahun lalu masih tercatat sebagai Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur II ini sudah membantah tuduhan tersebut. "Saya tidak pernah menerima uang dari pengusaha melalui siapa pun," ujar Dedi.
Kedekatan Agus dan Dedi sudah terjalin sejak mereka sama-sama belajar di Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Mereka angkatan keenam sejak Jurusan Bea-Cukai STAN -terbentuk. Setelah lulus pada 1993, Agus langsung masuk sebagai pegawai Bea dan Cukai. "Betul yang bersangkutan satu -angkatan dengan Ahmad Dedi," ucap Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumi-yati.
Agus juga membenarkan bahwa ia kenal baik dengan Ahmad Dedi. "Iya, kami seangkatan, memangnya kenapa?" kata pria kelahiran Surabaya yang kini merupakan pejabat eselon IIIa Bea dan Cukai tersebut. Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ke KPK pada 10 Oktober 2016, Agus Djoko tercatat mengantongi kekayaan Rp 5,11 miliar.
Seperti tertera di akta notaris, PT Prakarsa 81 beralamat di Jalan Utan Kayu Nomor 48, Jakarta Timur. Tempo sempat menelusuri alamat tersebut untuk mengkonfirmasi kepada Sugianto tentang hubungan perusahaannya dengan para pejabat Bea dan Cukai. Ternyata PT Prakarsa 81 tak berkantor di sana. Tempat itu lokasi gedung pertemuan dan kantor notaris. Sesuai dengan kartu tanda penduduk dan surat izin mengemudi, Sugianto juga mencantumkan alamat yang sama dengan PT Prakarsa 81.
Tim Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan juga sedang mengklarifikasi tentang temuan akta perusahaan PT Prakarsa 81 yang diduga berkaitan dengan Agus Djoko dan Ahmad Dedi. "Kami mendalami tentang informasi tersebut, tapi memang belum selesai," ucap Sumiyati.
Agus Djoko membantah pernah menerima setoran dari para importir melalui rekening pribadinya. Ia juga mengatakan tak pernah menerima setoran dari Sugianto atau PT Prakarsa 81. Lulusan magister hukum Universitas Lampung ini -mempersilakan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan membuktikan tuduhan tersebut. "Itu semua tak benar. Saya tidak pernah mengetahui nama-nama itu," katanya ketika dihubungi Tempo pada -Jumat pekan lalu.
SEBUAH banner terlihat mencolok di Jalan Kedung Cowek arah Jembatan Suramadu, Surabaya. Menempel di dinding pembatas rumah toko, banner itu menawarkan tiket murah untuk perjalanan domestik dan internasional dengan harga grosir.Di samping banner berlatar warna oranye-kuning-biru itu, berdiri dua rumah toko yang digabung menjadi satu dengan ornamen kayu di bagian atasnya. Persis di bagian tengah ornamen terdapat tulisan "Graha Thera". Saat Tempo mendatangi lokasi itu, hanya satu ruko yang terbuka, yang menjadi kantor PT Thera Buana.
Salah satu penjaga loket mengatakan tak tahu saat ditanya identitas pemilik perusahaan ini. Namun sehari-hari mereka mengaku dikontrol oleh Wahyu Puji, yang tak lain adalah adik Agus Djoko Prasetyo. Di situs perusahaan itu tertulis sejumlah rekening penampung dana atas nama Wahyu Puji. "Pak Wahyu saat ini di Banjarmasin," ujar petugas perempuan yang tak mau menyebutkan namanya.
Sekitar 25 meter di sebelah selatan ruko tersebut terdapat warung Giras 47 yang berjualan minuman dan makanan ringan. Seorang wanita paruh baya pemilik warung mengatakan, sebelum menempati ruko itu, Thera Buana menyewa rumah milik kakaknya yang juga beralamat di Jalan Kedung Cowek. "Waktu itu 2010. Yang punya Pak Agus, pegawai Bea dan Cukai," tutur pemilik warung tersebut.
Perusahaan biro perjalanan yang dikelola Wahyu Puji dan istri Agus Djoko, Venny Anugerah Sari, itu memang berdiri sejak 2010. Nama Thera Buana tercantum sebagai salah satu penerima uang dari -Sugianto, Direktur PT Prakarsa 81. Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, ada 33 rekening yang terkait dengan Thera Buana. Selama 2012-2016, dana masuk sebesar Rp 750,1 miliar dan dana keluar Rp 749,0 miliar.
Dana masuk teridentifikasi berasal dari pihak terkait dengan Agus Djoko dan pihak lain yang profilnya sebagai swasta dengan bidang usaha bervariasi. Sedangkan transaksi dana keluar teridentifikasi mengalir ke perusahaan maskapai penerbangan, rekening pihak terkait, dan pengeluaran lain tidak terkait dengan biro travel.
Atas dana masuk tersebut, menurut laporan itu, dilakukan pemilahan berdasarkan profil lawan transaksi, nominal transaksi, jenis transaksi, pola transaksi, dan underlying transaction. Ujungnya diketahui total dana yang masuk berasal dari sesama kerabat Agus Djoko sebesar Rp 251,1 miliar. Sedangkan sisanya, Rp 482,9 miliar, diklasifikasikan sebagai transaksi usaha.
Dari dana sebesar Rp 482,9 miliar tersebut, Rp 417,5 miliar di antaranya mengalir ke perusahaan penerbangan nasional dan internasional. Laporan itu menyebutkan ada perbandingan antara total penerimaan dan gross margin keuntungan Thera Buana, yakni sebesar Rp 65 miliar atau 13,55 persen. Di sisi lain, berdasarkan data publik, diketahui gross margin untuk usaha travel kurang dari 5 persen. "Dengan demikian, perkiraan gross margin Thera Buana tidak wajar atau menyimpang dari profil keuntungan usaha biro perjalanan wisata pada umumnya," tulis laporan tersebut.
Dari pengembangan lebih lanjut atas ketidakwajaran itu, seperti mengutip laporan tersebut, ditemukan transaksi usaha Thera Buana bercampur transaksi lain. Disebutkan juga dalam laporan bahwa transaksi itu diduga merupakan suap atau gratifikasi kepada Agus Djoko. Dugaan ini berdasarkan penelusuran dana masuk transaksi tersebut melalui setoran tunai tanpa menggunakan buku tabungan atau hanya melalui anjungan tunai mandiri (ATM) dengan jumlah yang besar.
Salah satu pengirimnya teridentifikasi pengusaha ekspedisi yang namanya sempat disebut-sebut dalam kasus Heru Sulastyono. Pada 2013, penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menangkap Heru karena diduga menerima suap dari importir. Mahkamah Agung sudah memvonis Heru 6 tahun 6 bulan penjara.
Menurut dokumen yang diperoleh Tempo, beberapa pihak pengirim dana ke Thera Buana juga memiliki transaksi keuangan yang tidak sesuai dengan profilnya sebagai biro perjalanan. Mayoritas pengirim dana bergerak di bidang usaha distributor produk kecantikan dan importir. Beberapa agen Thera Buana lainnya juga tercatat sebagai karyawan di toko emas.
Berdasarkan penelitian tersebut, jumlah uang yang diduga sebagai transaksi suap atau gratifikasi yang disamarkan sebesar Rp 40 miliar. Modus transaksinya melalui pencucian uang. Caranya dengan mencampurkan transaksi usaha dan dugaan gratifikasi tersebut. "Atas setiap dana masuk dinyatakan sebagai transaksi penjualan tiket atau paket usaha," ujar salah seorang penegak hukum.
Seorang pejabat di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengatakan Sugianto ataupun perusahaan biro perjalanan tadi diduga sebagai perantara pemberian dana untuk Agus Djoko guna membantu meloloskan barang impor bermasalah.
Modusnya, menurut dia, meloloskan jenis dan jumlah barang dalam kontainer yang tidak sesuai dengan dokumen pemberitahuan impor barang, memberitahukan harga barang impor lebih rendah sehingga pembayaran pajak impornya menjadi rendah, serta membantu memasukkan barang larangan dan yang dibatasi importasinya. "Dia membantu tidak hanya di tempatnya bertugas, tapi juga di berbagai lokasi. Mereka ini jaringan," ucapnya.
Agus Djoko membenarkan bahwa Thera Buana merupakan perusahaan biro perjalanan yang dikelola keluarganya. Namun ia membantah kabar bahwa perusahaan itu telah menerima setoran dari para importir. "Itu semua tidak benar," katanya.
Linda Trianita, Syailendra Persada, Nur Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo