Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka kasus penganiayaan yang menewaskan taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Putu Satria Ananta Rustika, bertambah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Resor Jakarta Utara menetapkan tiga lagi senior korban, yakni FA alias A, KAK alias K, dan WJP alias W sebagai tersangka. Hingga kini total tersangka berjumlah empat orang.
Kapolres Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan memastikan adanya keterlibatan tersangka lain dalam proses penganiayaan setelah menggelar perkara dan juga mempedomani pandangan ahli bahasa.
"Sehingga tiga tersangka itu mempunyai peran 'turut serta', 'turut serta melakukan'. Dalam konteks ini orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu," kata Gidion, Rabu, 8 Mei 2024.
Karena itu, menurut Gidion, KAK, FA dan WJP juga dapat dijerat sebagai tersangka berkaitan dengan Pasal 55 dan/atau 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Seperti tersangka sebelumnya berinisial TRS, penyidik mengenakan pasal 338 tentang pembunuhan juncto 351 ayat 3 tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian, dalam konstruksi hukum terhadap tiga orang tersangka yang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun peran dari masing-masing tersangka tersebut adalah FA alias A adalah siswa tingkat II yang memanggil P bersama rekan-rekan juniornya yang lain untuk turun dari lantai 3 ke lantai 2.
Pemanggilan itu disebabkan oleh pandangan para senior jika P teridentifikasi menyalahi aturan sekolah, karena menggunakan pakaian dinas olah raga (PDO) saat memasuki ruang kelas. "Woi, tingkat satu yang pakai PDO (pakaian dinas olahraga) sini," kata FA.
Lalu FA juga ikut mengawasi ketika terjadi kekerasan eksesif terhadap P di depan pintu toilet dan itu dibuktikan lewat rekaman kamera pengawas (CCTV) di tempat kejadian serta keterangan para saksi. "Sehingga FA pun ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan konstruksi pasal 55 jo 56 KUHP," kata Gidion.
Kemudian WJP alias W pada saat proses terjadinya kekerasan eksesif mengatakan suatu kata yang diduga mengandung ejekan terhadap kalangan siswa STIP, yakni CBDM. "Jangan malu-maluin, CBDM. Kasih paham!" seru WJP.
Bahasa yang keluar darinya membuat penyidik mesti meminta pandangan ahli bahasa. Menurut ahli bahasa memang ada bahasa-bahasa prokem di antara para taruna yang kemudian memiliki makna tersendiri.
Bukan cuma sekali, saat P dipukul oleh tersangka TRS, WJP mengatakan “’Bagus enggak prederes’ artinya masih kuat berdiri, kira-kira begitu," kata Gidion.
Dari hasil pemeriksaan terhadap ahli bahasa, penyidik menetapkan WJP sebagai tersangka berdasarkan konstruksi pasal 55 jo 56 KUHP.
Lalu tersangka tambahan yang ketiga adalah KAK alias K. Peran KAK adalah menunjuk korban sebelum dilakukan kekerasan eksesif oleh TRS.
K mengatakan "Adikku saja nih, mayoret terpercaya". Menurut ahli bahasa, kata mayoret itu juga hanya hidup di kalangan siswa STIP yang mempunyai makna tersendiri di antara mereka.
"Sehingga K juga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan konstruksi pasal 55 jo 56 KUHP," kata Gidion.
Menurut Gidion, penyidik Polres Jakarta Utara masih berupaya mengembangkan kasus penganiayaan tersebut dan melengkapi berkas-berkasnya sebelum diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Selama proses pengembangan tersebut, total ada 43 saksi yang sudah diperiksa penyidik, di antaranya 36 siswa STIP dari tingkat I, tingkat II dan tingkat IV, pengasuh STIP, dokter klinik STIP, dokter RS Tarumajaya, ahli pidana serta ahli bahasa.
Kemudian barang buktinya merupakan hasil visum et repertum yang menyatakan korban memiliki luka-luka lecet pada bibir dan perut akibat kekerasan benda tumpul. Hasil skrining alkohol dan NAPZA negatif, tetapi terdapat tanda-tanda perundungan hebat dan ada pendarahan.
Polisi memperoleh pakaian korban, pakaian tersangka yang digunakan saat kejadian, rekaman kamera pengawas (CCTV) dan hasil analisis digital terhadap rekaman tersebut.