Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terus Berkelit dengan Jurus Sakit

Dengan alasan sakit, bekas pejabat Kabupaten Bogor sembilan kali menghindari sidang pembacaan dakwaan kasus korupsi. Padahal dokter menyebut dia hanya sakit ringan.

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah enam bulan ruangan di kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor itu tak ditilik pemiliknya. Meski masih tertata rapi, ruangan itu tampak berdebu. Sang empunya ruang, Helmi Gustian, tak datang ke kantor itu sejak Maret lalu. Anggota staf ahli Bupati Bogor Rachmat Yasin itu absen dengan alasan sakit. "Dia hanya beberapa kali datang ke kantor sejak dilantik Januari lalu," kata seorang anggota staf kantor kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Alasan sakit pula yang dipakai Helmi, 55 tahun, untuk menghindar dari persidangan. Menjadi terdakwa kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi senilai Rp 12,4 miliar, dia sembilan kali tak bisa dihadirkan oleh pengadilan untuk mendengarkan pembacaan dakwaan. Pada 18 September lalu, Helmi akhirnya bisa didatangkan ke ruang sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Tapi itu pun dalam keadaan tak lazim: terbaring di atas brankar—tempat tidur untuk pasien rumah sakit.

Sebelum menjadi anggota staf ahli bupati, sejak 2010, Helmi menjabat Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor. Pada akhir Desember tahun itu, dia ditunjuk sebagai pejabat kuasa pengguna anggaran oleh Bupati Rachmat Yasin. Status itu membuat Helmi leluasa mempenga­ruhi proses lelang proyek di dinasnya.

Sumber Tempo menuturkan Helmi membuat aturan main sendiri ketika berhubungan dengan pengusaha yang berminat ikut lelang. Untuk kantongnya sendiri, ia mematok komisi lima persen buat proyek yang dibiayai anggaran daerah dan tujuh persen untuk proyek dari pusat. Padahal, menurut sumber itu, masih ada kantong lain yang harus disawer.

Permintaan komisi disampaikan Helmi jauh sebelum proses lelang dimulai. Biasanya ia yang meminta langsung kepada pengusaha untuk menyiapkan setoran. "Mau proyek, setor dulu," begitu kata-kata Helmi yang masih diingat si sumber. Adapun saat serah-terima uang, Helmi meminta anak buahnya menggantikannya.

Tapi, selihai-lihainya Helmi bermain, akhirnya boroknya terlihat. Pada 2011, seorang pengusaha bernama Azwar "bernyanyi". Kepada tim Kejaksaan Negeri Cibinong, dia mengaku diperas Helmi. Waktu itu jaksa tengah mengusut kasus korupsi proyek pembangunan Jalan Sukahati-Kedunghalang, Bogor. Azwar menjadi salah satu tersangka dalam proyek bernilai Rp 10,8 miliar itu. "Bagaimana proyek yang saya kerjakan bisa benar bila setor­annya begitu besar?" ujar seorang penyidik menirukan ucapan Azwar.

Kasus korupsi Jalan Sukahati-Kedung­halang sudah diputus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Bersama Azwar, mantan Kepala Bidang Pembangunan dan Rehabilitasi Dinas Bina Marga dan Pengairan Asep Yuyun dihukum dua tahun enam bulan penjara. Di tingkat banding, Azwar dihukum enam tahun pen­jara.

Adapun Helmi menjadi tersangka sejak Juni 2012. Saat menggeledah ruang kerja Helmi pada April 2012, tim Direktorat Kriminal Khusus Tindak Pidana Korupsi Kepolisian Daerah Jawa Barat menemukan barang bukti uang tunai Rp 60 juta. Di ruangan itu, tim juga menemukan sejumlah dokumen yang menunjukkan permainan Helmi selama ini.

Selama penyidikan, 50 saksi menguatkan dugaan pemerasan dan penyuapan Helmi. Keterangan saksi itu diperkuat lagi oleh catatan uang keluar-masuk yang ditemukan polisi. Dokumen yang dibuat anak buah Helmi itu mencatat 186 transaksi. Catatan uang masuk terbesar di antaranya berjumlah Rp 1 miliar. "Ada orang yang sama memberi tiga-empat kali," kata seorang penyidik.

Menurut penyidikan polisi, Helmi sebenarnya tak pelit berbagi. Sejumlah wartawan dan lembaga swadaya masyarakat termasuk yang dia "sumbang". Dalam catatan anak buah Helmi, mereka mendapat Rp 63 juta. Meski menemukan catatan uang keluar-masuk, polisi tak menemukan jumlah uang yang mencurigakan di rekening Helmi. "Uang dibagikan Helmi ke banyak pihak, termasuk para pejabat pemerintah daerah Bogor," ujar sumber Tempo.

Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyatakan berkas Helmi lengkap pada 10 Januari 2013. Belakangan Kejaksaan Tinggi menyerahkan penuntutan kasus Helmi ke Kejaksaan Negeri Cibinong. Jaksa penuntut Nasrudin mengatakan Helmi bakal didakwa menerima hadiah atau gratifikasi seperti diatur Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara.

1 1 1

Sidang pembacaan dakwaan Helmi semula dijadwalkan pada 6 Maret 2013. Saat itulah Helmi, yang sebelumnya tampak sehat bugar, tiba-tiba sakit. Pertama kali mangkir, ia beralasan sakit vertigo dan urat kejepit. Empat kali sidang dijadwalkan ulang, Helmi tak kunjung hadir. Ia beralasan vertigonya belum sembuh. Pada sidang kelima, 22 Mei lalu, majelis hakim yang dipimpin G.N. Arthanaya kehilangan kesabaran. Dia memerintahkan jaksa memeriksa kesehatan Helmi.

Pemeriksaan kesehatan pun dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi, Bogor. Tim dokter di sana menyebutkan Helmi mengalami gangguan jantung ringan dan alergi saluran pernapasan—bukan vertigo yang jadi alasannya. Pada sidang keenam, Helmi kembali absen dengan alasan yang sama. Pada 5 Juni 2013, hakim mengembalikan berkas perkara ke kejaksaan dan menyarankan Helmi ber­obat sampai sembuh.

Lewat hampir dua bulan, pada 29 Juli 2013, jaksa meminta pemeriksaan ulang kesehatan Helmi di Rumah Sakit PMI Bogor. Kali ini ia didiagnosis menderita pembesaran jantung ringan. "Tapi penyakit itu tak menghalangi terdakwa melakukan aktivitas dan mengikuti persidangan," ucap Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Cibinong Bayu Adhinugroho.

Berdasarkan rekomendasi Rumah Sakit PMI, Kejaksaan Negeri Cibinong melimpahkan kembali berkas perkara Helmi ke pengadilan pada 20 Agustus lalu. Sidang kembali dijadwalkan pada 4 September. Helmi memang datang, tapi ia menolak diperiksa dengan alasan masih sakit. "Padahal fisiknya terlihat sehat," kata Bayu.

Sidang pun kembali ditunda hingga 11 September. Namun, sehari sebelum sidang, jaksa lagi-lagi menerima kejutan: datang pemberitahuan menyatakan Helmi dirawat di Rumah Sakit Azra, Bogor. Artinya, ia tak datang ke sidang yang sudah dijadwalkan itu.

Kali ini kesabaran jaksa habis. Kepala Kejaksaan Negeri Cibinong Mia Amiati bersama timnya mendatangi rumah sakit. Mereka meminta bertemu dengan dokter yang menangani Helmi. Adapun Helmi saat itu "dirawat" di ruang VIP Melati. Lantaran tak bertemu dengan dokter yang dicari, tim jaksa balik kanan, pulang.

Esoknya, sekitar pukul 06.30, sepuluh jaksa kembali mendatangi rumah sakit. Di sana mereka bertemu dengan dokter yang mengerti kondisi Helmi. Dokter itu menegaskan, kesehatan Helmi sebenarnya tak bermasalah. "Kami sudah mengendus modusnya. Setiap ada panggilan sidang, malam harinya terdakwa masuk rumah sakit," ujar Mia.

Tepat pukul 10.00, jaksa memutuskan mengangkut paksa Helmi. Tapi, saat Helmi hendak dibawa, tiba-tiba tubuhnya letoi, tampak lunglai. Matanya juga kemudian meredup, lalu memejam. Melihat hal ini, petugas medis dengan sigap memasang slang bantuan pernapasan. Kepada Tempo, seorang jaksa berkata, saat itu, sebelum akan dibawa paksa, Helmi duduk tegak di tempat tidur. Dia asyik mengobrol bersama istri dan anaknya. Dibaringkan di atas brankar, Helmi diminta jaksa harus dikeluarkan dari RS Azra. "Ini shock therapy. Agar koruptor tak pura-pura sakit untuk menghindari sidang," kata jaksa Bayu.

Helmi lantas diangkut dengan ambulans ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Di ruang sidang, ia tetap berbaring di atas brankar sambil menutup mata. Melihat kondisi terdakwa seperti itu, majelis hakim yang dipimpin Syafrudin hanya menggelar sidang selama lima menit. Hakim lantas meminta jaksa menghadirkan dokter yang menangani Helmi. Sidang dilanjutkan pekan depan.

Sepekan kemudian, pada 18 September, Helmi kembali datang ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Kali ini dia diangkut ambulans Palang Merah Indonesia yang dilengkapi fasilitas dan petugas medis. Berselimut cokelat, Helmi masuk ruang sidang dengan cara berbaring di atas brankar.

Dokter yang merawat Helmi di Rumah Sakit Azra, Rizasyah Daud, hadir menjelaskan kondisi kesehatan pasiennya. Penjelasan Daud membuat sejumlah pengunjung sidang tersenyum. Menurut Daud, Helmi menderita usus buntu ringan yang tak perlu dioperasi. Ketika hakim Syamsudin menanyakan mengapa terdakwa tampak lemas, Daud menjelaskan, "Mungkin dia agak ngantuk. Kalau tadi sih dia kelihatan segar." Menurut Daud, Helmi juga masih bisa mendengar bila jaksa hendak membacakan dakwaan. Tapi hakim memilih kembali menunda sidang sampai 2 Oktober pekan ini.

Kali ini hakim mengizinkan Helmi dirawat selama dua minggu. Tidak di Bogor, tapi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Helmi menginap tiga hari di Paviliun Parahyangan, yang terletak di lantai tiga dan tarifnya per hari Rp 765 ribu. Pada 21 September, ia meninggalkan rumah sakit tersebut. "Dia diduga menderita hipertensi," ucap juru bicara RS Hasan Sadikin, Djumala.

Penasihat hukum Helmi dari kantor pengacara Abidin Associates, Ade Sunjaya, enggan memberikan keterangan seputar kondisi Helmi dan kasus yang menjerat kliennya. "Pak Helmi sekarang ber­obat jalan," kata Ade. Ia menolak diwawancarai lebih jauh perihal kliennya itu. Jika berobat jalan itu tak membuahkan hasil, bisa jadi 2 Oktober ini pun hakim akan gigit jari lagi: Helmi tak muncul dengan alasan sakit.

Yuliawati, M. Sidik Permana (Bogor), Erick P. Hardi, Persiana Galih (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus