Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Lain Cuma Kecipratan Susunya

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyanyian Brigadir Kepala Labora Sitorus membuat gerah Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal M. Tito Karnavian. Dari Sorong, tempat dia kini ditahan, kepada Tempo yang mendatanginya dua pekan lalu, Labora menyatakan telah menyetor uang ratusan juta rupiah untuk Kapolda. Catatan setorannya itu juga sudah ia serahkan, lewat perantaranya, ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Labora kini menjadi tersangka kasus pembalakan ilegal dan penyelundupan bahan bakar minyak (Tempo, 23-29 September 2013).

Tito menyebutkan Labora kini berulah seperti korban. Padahal pemilik rekening dengan akumulasi transaksi hampir Rp 1,5 triliun itu merupakan "jantung" dari lingkaran bisnis menahun yang diduga ilegal. "Yang terkait dengan bisnis Labora otomatis kecipratan," kata Tito, Kamis pekan lalu. Berikut ini wawancara Tempo dengan Tito, Kamis pekan lalu.

Labora Sitorus terus membeberkan nama-nama polisi yang menerima setoran….

Begini, kasus ini sebaiknya jangan digiring dulu ke arah adanya anggota polisi yang menerima uang Labora atau tidak. Jantung masalahnya itu Labora sendiri. Bisnis dia sudah berlangsung cukup lama. Ada lingkaran di sana. Labora melakukan bisnis yang menghasilkan banyak keuntungan. Lalu ada orang di sekitarnya yang menikmati. Mereka bukan hanya polisi. Semua yang terkait dengan bisnis Labora otomatis kecipratan.

Catatan Labora juga menyebut ada se­toran untuk Kapolda….

Saya tanya balik, yang tertulis di catatan Labora itu Tito Karnavian atau Kapolda Papua? Kalau Tito, sejak lahir, inilah orangnya. Tapi kalau Kapolda Papua itu jabatan. Bisa ganti-ganti. Jadi, cek dulu tanggalnya. Saya dilantik menjadi Kapolda Papua pada 21 September 2012. Saya baru efektif bertugas setelah acara pisah-sambut, pada 25 September 2012.

Setelah Anda dilantik pun Labora mengaku masih setor….

Labora lima kali menyebut Kapolda dalam catatannya. Empat di antaranya terjadi pada 2012. Yang saya peduli hanya catatan pada Februari 2013. Disebutkan ada uang Rp 200 juta untuk Kapolda. Saya pastikan, saya tidak terima. Saya clean. Sebelumnya saya pun tak kenal Labora.
Labora sudah diperiksa khusus soal itu. Dia mengaku didatangi Taufik Irfan (mantan Kepala Polres Raja Ampat ). Dia mengaku menitipkan uang Rp 600 juta. Tapi dalam catatan Labora sendiri hanya Rp 200 juta. Labora sendiri bilang tidak tahu uang itu sampai ke Kapolda atau tidak. Lalu diperiksalah Taufik oleh tim Propam dan tim Mabes Polri.

Taufik mengakui itu?

Intinya, Taufik membenarkan dia pernah mendatangi Labora pada Februari lalu. Dia bilang akan ke Jayapura dan meminta Rp 200 juta. "Biar saya dekati Kapolda," katanya. Sesampai di Jayapura, Taufik tak berani menemui saya. Karena sejak awal saya sudah declare, "Kapolres tak boleh memberikan apa pun kepada saya, apalagi uang." Lalu, atas persetujuan Labora, Taufik memakai uang itu untuk keperluan Polres. Rinciannya jelas dipakai untuk apa saja.

Labora mengaku diperas bahkan dirampok atasannya….

Kurang fair bila melihat Labora sebagai sosok sapi perahan. Labora kini seolah-olah menjadi korban. Kalau memakai analogi itu, sapinya tak mendapatkan apa-apa. Susunya habis diperas orang lain. Faktanya, orang lain itu hanya kecipratan susunya. Labora sendiri mendapat lebih banyak. Sekali kirim kayu saja nilainya bisa Rp 60 miliar.

Tapi faktanya ada polisi yang menerima uang Labora. Bukankah itu masalah serius?

Ya, apa pun ceritanya, di dalam kepolisian perlu pembenahan. Perlu bersih-bersih. Pengungkapan kasus ini justru untuk menghentikan siklus lama bisnis Labora. Seharusnya, media juga melihat sisi positif itu.

Banyak nama polisi yang disebut. Mengapa baru Labora yang jadi tersangka?

Dari aliran dana yang terlacak, ada 18 polisi yang bertransaksi dengan Labora. Ada yang mengirim, ada yang menerima uang. Pangkatnya ajun komisaris ke bawah. Mereka semua sudah diperiksa, tapi masih sebagai saksi. Kami ingin berfokus pada kasus pokoknya. Labora dikenai pasal penimbunan BBM dan pembalakan hutan. Kasus pencucian uang itu pidana ikutan. Pidana pokoknya harus kuat konstruksinya. Kalau pokoknya tumbang, misalnya sampai Labora bebas murni, yang lain bisa lepas semua.

Labora juga menyebut Anda pernah mengizinkan polisi berbisnis….

Memang, tak ada larangan polisi berbisnis. Tapi ada aturan tentang disiplin anggota Polri. Polisi tak boleh berbisnis dalam tiga hal. Pertama, bisnis yang bisa merugikan keuangan negara. Kedua, bisnis yang mempermudah pengadaan barang dan jasa untuk Polri. Ketiga, bisnis di wilayah penguasaan dia. Misalnya, saya Kapolda, tak boleh berbisnis kayu di Raja Ampat. Itu wilayah kekuasaan saya.

Bisnis Labora melanggar ketentuan itu?

Itulah masalahnya. Aturan itu pun tidak cukup detail. Bahasanya bisa diperdebatkan. Semestinya dibuat aturan lebih rinci. Misalnya polisi yang hendak berbisnis harus mengajukan permohonan ke Propam. Lalu Propam yang memverifikasi apakah bisnis tersebut melanggar ketiga kriteria itu atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus