SUATU hari dr. Abdul Mun'im, ahli patologi forensik dari Lembaga
Kriminologi UI (LKUI), menerima "paket" dari kepolisian. Isinya,
sesosok mayat bayi, montok dan berkulit putih bersih. Mun'im
terkejut ketika melihat mulut yang mungil itu ternyata telah
tersobek lebar, kira-kira oleh benda tajam.
Menerima kiriman serupa itu bukan hal baru bagi para petugas di
LKUI. Tapi mayat bayi dengan luka serupa itu, digolongkan kasus
istimewa di lembaga tersebut. Sebelumnya LKUI pernah menerima
bayi baru lahir yang dibunuh dengan cara menusuk dadanya dengan
benda ujam. "Karena tubuh bayi masih lemah, biasanya cukup
dibunuh dengan membuatnya mati lemas -- misalnya dengan disekap,
dijerat atau dicekik," ujar Mun'im.
Bayi-bayi malang serupa itu umumnya meninggal dalam usia nol
hari artinya dibunuh sesaat setelah dilahirkan. Hal itu dengan
mudah terlihat pada tubuhnya yang masih berlumur darah tali
pusat belum dirawat, berlemak di beberapa bagian tubuh, bahkan
terkadang masih ditempeli ari-ari.
Pembunuhan terhadap bayi berusia nol hari, menurut Mun'im,
belakangan ini tampaknya menunjukkan angka meningkat di Jakarta.
Catatan LKUI memperlihatkan, tahun 1978/1980 terbunuh 103 bayi.
Ini berarti 20% lebih dari seluruh korban pembunuhan di Jakarta
(514 kasus) dalam periode yang sama. Tahun lalu, angka itu
menanjak menjadi 23% lebih. Dan tahun ini, hingga Juni, telah
mencapai hampir 24%.
Melihat mayat manusia-manusia kecil itu, Mun'im berkesimpulan,
bahwa pembunuhnya adalah si ibu sendiri. Adapun para ibu itu,
simpul dokter itu pula umumnya berasal dari keluarga yang cukup
mampu. "Itu terlihat dari tubuh bayi-bayi itu yang sehat, montok
-- tidak satu pun yang cacat.
Karena itu para petugas LKUI terkadang merasa sayang
"mengobrak-abrik" tubuh itu. Tapi pembedahan harus selalu
dilakukan untuk mengetahui apakah si bayi lahir dalam keadaan
hidup atau meninggal. "Semua menunjukkan, bayi-bayi itu masih
hidup waktu dilahirkan," kata Mun'im pula.
Mengapa mereka harus dibunuh? Ahli patologi forensik LKUI itu
tak menjawab pasti. Ia hanya menduga, "mungkin karena kelahiran
itu memang tidak dikehendaki si ibu." Artinya, bayi-bayi itu
lahir dari hubungan gelap, atau sebangsa itu, "sehingga daripada
menanggung malu, lebih baik dilenyapkan."
Padahal menurut pasal 341 KUH Pidana, pembunuhan bayi dapat
diancam hukuman sampai 7 tahun -- dan menjadi 9 tahun bila
terbukti direncanakan. Karena itu untuk menghilangkan jejak, si
pembunuh umumnya membuang mayat bayinya begitu saja di sungai,
bak sampah, bahkan selokan.
Tapi guru besar pada Fakultas Psikologi UI, Prof. Dr. Mulyono
Gandadiputra MA, belum melihat kasus bayi-bayi terbunuh itu
sebagai pertanda perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Ia
mengemukakan pembunuhan itu terjadi, paling sedikit disebabkan 3
hal. "Pertama, karena sebagian anggota masyarakat melihat masa
depan yang tidak pasti," kata Mulyono, pengasuh Psikologi Untuk
Anda di TVRI itu. Sehingga, tambahnya, si ibu atau orang tua si
bayi, tidak tahu apa yang akan dilakukan terhadap si anak yang
lahir di luar kemauan itu.
Kedua, "pendidikan kita belum sampai pada tahap meningkatkan
budi pekerti dan ketakwaan kepada Tuhan YME". Akibatnya,
penilaian atas baik-buruk masih tergantung pada apa yang
terlihat oleh mata, belum pada hati nurani. "Dan ketiga, masih
banyak orang yang lebih "menghargai" rasa malu daripada rasa
bersalah," ujar Mulyono lagi. Karena itu wanita yang melahirkan
di luar nikah, lebih memikirkan cara supaya tidak malu. Maka
dibuanglah bayi itu.
Pihak kepolisian Kodak VII Metro Jaya memang tak memiliki
catatan lengkap berapa banyak yang terungkap atau siapa orang
tua bayi-bayi yang terbunuh itu. Tapi Kepala Dinas Penerangan
Kodak Metro Jaya, Letkol. Pol. Z. Bazar, membenarkan angka-angka
kematian yang ada pada LKUI. "Karena angka-angka itu berasal
dari kepolisian," ucap Bazar.
Namun menurut pejabat ini, angka-angka kematian sebenarnya
tentulah lebih besar. Sebab, menurut Bazar, bisa saja si bayi
tak dibuang, tapi dikuburkan keluarganya secara biasa dengan
alasan kematian yang wajar. "Dalam kasus serupa itu, polisi tak
dapat mengusut, karena itu tak tercatat," tambah Bazar. Termasuk
melalui jampi dan ramuan obat dukun-dukun. (lihat juga box).
Tak lupa Bazar berpesan, sebaiknya bayi yang lahir akibat
"kecelakaan" diserahan kepada yayasan-yayasan sosial yang biasa
menampung manusia kecil serupa itu. Di yayasan itu terbuka
kesempatan si anak diadopsi orang lain.
Misalnya Yayasan Sayap Ibu (YSI) di Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Yayasan yang berdiri sejak 1955 ini, selama ini memang
menampung bayi-bayi, baik yang orang tuanya jelas maupun tidak.
Golongan terakhir ini hampir seluruhnya berasal dari rumah-rumah
sakit -- baik karena orang tuanya tak mampu menebus ataupun
karena orang tuanya kabur untuk menghindari malu.
Menurut Nyonya Yusuf Razak, Ketua Umum YSI, rata-rata 15 bayi
masuk ke yayasan ini setiap tahun. "Tapi sejak ramai soal
jual-beli bayi, 1979, angka itu menurun," tutur Ny. Yusuf.
Menurut nyonya ini, bayi-bayi yang diserahkan, oleh orang tua
maupun rumah sakit, umumnya berasal dari "kecelakaan".
Di YSI bayi-bayi itu diadopsi setelah berusia 7 bulan. Kepada si
pengangkat yayasan tak memungut biaya perawatan. Nyonya Irawati
Dasaad SH Kepala Biro Konsultasi Pengangkatan Anak YSI,
mengungkapkan memang ada bayi yang sampai berusia 4 tahun tak
ada yang mengadopsi. "Anak yang tak berdosa itu benar-benar
sendirian," kata Ny Irawati. Anak serupa itu biasanya dikirim
untuk diasuh di Panti Asuhan Muslimin di Jalan Kramat Raya,
Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini