Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tewas atau tetap sendiri

Jumlah bayi akibat "kecelakaan" (hubungan gelap) yang terbunuh meningkat tiap tahun. ahli patologi dari lkui, abdul mun'in berkesimpulan bahwa pembunuhnya adalah ibunya sendiri. (krim)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari dr. Abdul Mun'im, ahli patologi forensik dari Lembaga Kriminologi UI (LKUI), menerima "paket" dari kepolisian. Isinya, sesosok mayat bayi, montok dan berkulit putih bersih. Mun'im terkejut ketika melihat mulut yang mungil itu ternyata telah tersobek lebar, kira-kira oleh benda tajam. Menerima kiriman serupa itu bukan hal baru bagi para petugas di LKUI. Tapi mayat bayi dengan luka serupa itu, digolongkan kasus istimewa di lembaga tersebut. Sebelumnya LKUI pernah menerima bayi baru lahir yang dibunuh dengan cara menusuk dadanya dengan benda ujam. "Karena tubuh bayi masih lemah, biasanya cukup dibunuh dengan membuatnya mati lemas -- misalnya dengan disekap, dijerat atau dicekik," ujar Mun'im. Bayi-bayi malang serupa itu umumnya meninggal dalam usia nol hari artinya dibunuh sesaat setelah dilahirkan. Hal itu dengan mudah terlihat pada tubuhnya yang masih berlumur darah tali pusat belum dirawat, berlemak di beberapa bagian tubuh, bahkan terkadang masih ditempeli ari-ari. Pembunuhan terhadap bayi berusia nol hari, menurut Mun'im, belakangan ini tampaknya menunjukkan angka meningkat di Jakarta. Catatan LKUI memperlihatkan, tahun 1978/1980 terbunuh 103 bayi. Ini berarti 20% lebih dari seluruh korban pembunuhan di Jakarta (514 kasus) dalam periode yang sama. Tahun lalu, angka itu menanjak menjadi 23% lebih. Dan tahun ini, hingga Juni, telah mencapai hampir 24%. Melihat mayat manusia-manusia kecil itu, Mun'im berkesimpulan, bahwa pembunuhnya adalah si ibu sendiri. Adapun para ibu itu, simpul dokter itu pula umumnya berasal dari keluarga yang cukup mampu. "Itu terlihat dari tubuh bayi-bayi itu yang sehat, montok -- tidak satu pun yang cacat. Karena itu para petugas LKUI terkadang merasa sayang "mengobrak-abrik" tubuh itu. Tapi pembedahan harus selalu dilakukan untuk mengetahui apakah si bayi lahir dalam keadaan hidup atau meninggal. "Semua menunjukkan, bayi-bayi itu masih hidup waktu dilahirkan," kata Mun'im pula. Mengapa mereka harus dibunuh? Ahli patologi forensik LKUI itu tak menjawab pasti. Ia hanya menduga, "mungkin karena kelahiran itu memang tidak dikehendaki si ibu." Artinya, bayi-bayi itu lahir dari hubungan gelap, atau sebangsa itu, "sehingga daripada menanggung malu, lebih baik dilenyapkan." Padahal menurut pasal 341 KUH Pidana, pembunuhan bayi dapat diancam hukuman sampai 7 tahun -- dan menjadi 9 tahun bila terbukti direncanakan. Karena itu untuk menghilangkan jejak, si pembunuh umumnya membuang mayat bayinya begitu saja di sungai, bak sampah, bahkan selokan. Tapi guru besar pada Fakultas Psikologi UI, Prof. Dr. Mulyono Gandadiputra MA, belum melihat kasus bayi-bayi terbunuh itu sebagai pertanda perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Ia mengemukakan pembunuhan itu terjadi, paling sedikit disebabkan 3 hal. "Pertama, karena sebagian anggota masyarakat melihat masa depan yang tidak pasti," kata Mulyono, pengasuh Psikologi Untuk Anda di TVRI itu. Sehingga, tambahnya, si ibu atau orang tua si bayi, tidak tahu apa yang akan dilakukan terhadap si anak yang lahir di luar kemauan itu. Kedua, "pendidikan kita belum sampai pada tahap meningkatkan budi pekerti dan ketakwaan kepada Tuhan YME". Akibatnya, penilaian atas baik-buruk masih tergantung pada apa yang terlihat oleh mata, belum pada hati nurani. "Dan ketiga, masih banyak orang yang lebih "menghargai" rasa malu daripada rasa bersalah," ujar Mulyono lagi. Karena itu wanita yang melahirkan di luar nikah, lebih memikirkan cara supaya tidak malu. Maka dibuanglah bayi itu. Pihak kepolisian Kodak VII Metro Jaya memang tak memiliki catatan lengkap berapa banyak yang terungkap atau siapa orang tua bayi-bayi yang terbunuh itu. Tapi Kepala Dinas Penerangan Kodak Metro Jaya, Letkol. Pol. Z. Bazar, membenarkan angka-angka kematian yang ada pada LKUI. "Karena angka-angka itu berasal dari kepolisian," ucap Bazar. Namun menurut pejabat ini, angka-angka kematian sebenarnya tentulah lebih besar. Sebab, menurut Bazar, bisa saja si bayi tak dibuang, tapi dikuburkan keluarganya secara biasa dengan alasan kematian yang wajar. "Dalam kasus serupa itu, polisi tak dapat mengusut, karena itu tak tercatat," tambah Bazar. Termasuk melalui jampi dan ramuan obat dukun-dukun. (lihat juga box). Tak lupa Bazar berpesan, sebaiknya bayi yang lahir akibat "kecelakaan" diserahan kepada yayasan-yayasan sosial yang biasa menampung manusia kecil serupa itu. Di yayasan itu terbuka kesempatan si anak diadopsi orang lain. Misalnya Yayasan Sayap Ibu (YSI) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Yayasan yang berdiri sejak 1955 ini, selama ini memang menampung bayi-bayi, baik yang orang tuanya jelas maupun tidak. Golongan terakhir ini hampir seluruhnya berasal dari rumah-rumah sakit -- baik karena orang tuanya tak mampu menebus ataupun karena orang tuanya kabur untuk menghindari malu. Menurut Nyonya Yusuf Razak, Ketua Umum YSI, rata-rata 15 bayi masuk ke yayasan ini setiap tahun. "Tapi sejak ramai soal jual-beli bayi, 1979, angka itu menurun," tutur Ny. Yusuf. Menurut nyonya ini, bayi-bayi yang diserahkan, oleh orang tua maupun rumah sakit, umumnya berasal dari "kecelakaan". Di YSI bayi-bayi itu diadopsi setelah berusia 7 bulan. Kepada si pengangkat yayasan tak memungut biaya perawatan. Nyonya Irawati Dasaad SH Kepala Biro Konsultasi Pengangkatan Anak YSI, mengungkapkan memang ada bayi yang sampai berusia 4 tahun tak ada yang mengadopsi. "Anak yang tak berdosa itu benar-benar sendirian," kata Ny Irawati. Anak serupa itu biasanya dikirim untuk diasuh di Panti Asuhan Muslimin di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus