Mafia tanah Sukolilo akhirnya ditangkap tim Mabes Polri. Mereka kabarnya mampu mengelabui aparat. TANAH bagus belum tentu urusannya mulus, malah bisa terjerumus. Seperti tanah di Desa Kalisari, Kecamatan Sukolilo, Surabaya, yang membuat pembelinya terperosok. Tjendrawati, pembeli tanah di kawasan itu, divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Di tingkat Pengadilan Tinggi, pekan lalu, hukuman itu bertambah menjadi 12 bulan. Wanita pengusaha itu dituduh membuat akta jual beli palsu dan menyerobot tanah orang lain sekitar 32,5 hektare. Ia terjebak berkat kerja rapi para mafia tanah di Sukolilo. Operasi mereka sejak 1976 baru terbongkar pekan lalu. Diduga mereka beranggotakan 15 orang. Mereka, konon, mampu mengelabui aparat desa, pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), polisi, dan notaris. Untuk menjebak mangsanya, mafia itu mempersiapkan surat-surat palsu, lalu melakukan transaksi jual-beli di depan notaris. Padahal, tanah-tanah yang tertera dalam akta itu fiktif. Cara lain, komplotan itu membuat dua surat tanah: asli dan palsu. Surat asli, biasanya dijual kepada temannya sendiri, sedangkan surat palsu ditawarkan kepada yang dijadikan sasaran. Inilah yang dialami Tjendrawati ketika pada tahun 1984 membeli tanah di Sukolilo. Ia membeli tanah seluas 32,5 hektare pada Said Saleh, tak jauh dari pantai Kenjeran. Kabarnya, ia habis Rp 2,5 milyar. Said tidak hanya menjual, tapi ikut menguruskan perubahan nama pemilikan dari petok jadi sertifikat. Ternyata, sertifikat dan petok itu sebagian palsu. Setelah tanah yang bersurat palsu itu dikantongi Tjendrawati, tanah yang sama dengan surat asli dijual lagi kepada anggota mafia penyandang dana, yaitu Kadjen alias Kwee Guan Tjwan. Tjendrawati, yang mengelola tanah itu, lalu dituntut Kadjen yang mengantongi surat asli. Wanita berusia 55 tahun itu menolak tuntutan Kadjen. Lalu, seorang yang diduga anggota komplotan itu melapor kepada Polda Jawa Timur. Tjendrawati diperiksa dan diadili. Jaksa menuduh dia menyerobot tanah milik orang lain. Ibu tanpa anak itu kalah karena ia tidak berbekal surat asli. Namun, pengacaranya, Elza Syarif, menemukan ada yang aneh dalam persidangan. Elza bersikeras bahwa kliennya korban mafia tanah. Pihak Tjendrawati akhirnya mengajukan kasasi. Di samping itu, pengacara itu melayangkan surat ke Kotak Pos 5000, Bakorstanas, dan ke Menko Polkam. Akibatnya, jaksa dalam kasus Tjendrawati, yaitu Nawawi Latief, diperiksa tim dari Kejaksaan Agung. "Sampai Jumat lalu ia masih diperiksa," kata Soeprijadi, Kepala Humas Kejaksaan Agung. Tim Mabes Polri pada 22 September lalu juga diturunkan ke lapangan. Tim menangkap enam orang yang diduga terlibat dan mereka dibawa ke Mabes Polri. Setelah diperiksa, Rabu lalu mereka dikirim kembali ke Polda Jawa Timur. Di hadapan penyidik, Kadjen mengaku telah membeli tanah dari Said Saleh. Tanah yang dibelinya itu telah dicek keaslian suratnya. Kadjen menolak kalau dirinya dimasukkan sebagai anggota mafia. "Saya kenal Said Saleh belum lama, bagaimana kami berkomplot. Saya ini malah korban mafia," katanya kepada TEMPO. Pentolan mafia tanah itu, menurut sumber polisi, adalah Said Saleh. Di hadapan penyidik, ia mengaku mengedarkan petok palsu bersama komplotannya. Ketika itu katanya kepada penyidik, ia berjanji kepada pembelinya akan mengurus surat-surat asli. Namun, hingga pecah perkara, surat asli itu tidak pernah muncul. Kabar tentang adanya oknum polisi yang terlibat dibantah Kapolda Jawa Timur Mayjen Koesparmono Irsan. "Setelah saya cek, anggota saya tidak ada yang terlibat. Jika ada yang tersangkut, saya tidak menutupinya. Mereka akan saya tindak," katanya kepada Zed Abidien dari TEMPO. Gatot Triyanto, Ivan Haris, dan Kelik Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini