Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Munuh matasin di ladang kemiri

Syahril,27, membunuh matasin, istri dan anaknya di lahat, sum-sel. gara-gara syahril dituduh mencolek pantat darmi, istri matasin. kasus yang menyangkut harga diri ini sering terjadi di lahat.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahril dituduh mencolek pantat Darmi. Kasus tentang harga diri di Lahat. UNGKAPAN nendo munuh mati jadia agaknya masih dipegang teguh di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Maksudnya, ada pilihan untuk orang yang dipermalukan: membunuh atau lebih baik mati. Entah teringat pada ungkapan itu kemudian Syahril, 27 tahun, membantai Matasim, istri, dan seorang anaknya. Sepekan sebelum peristiwa itu, Matasim. 37 tahun, melaporkan kepada polisi bahwa pantat istrinya, Darmi, 33 tahun, dicolek Syahril. Waktu itu, menurut petani kopi dan kemiri yang lebih sering tinggal di ladangnya ini, Syahril datang ke pondoknya berpura-pura minta api. Saat itu, kata Matasim, tersangka mencolek pantat Darmi. Syahril diperiksa polisi. Ia dilepas lagi karena tuduhan itu tidak terbukti. Meski demikian, ia merasa tuduhan itu aib yang mencoreng nama baiknya. "Seminggu saya tidak bisa tidur. Saya malu," ujarnya. Apalagi setelah itu, ayah empat anak itu tiap hari bertengkar dengan istrinya walau berkali-kali dibantah bahwa tuduhan itu tidak benar. "Jangankan mencolek, menyentuh tangannya pun saya tidak pernah," katanya. Kemudian, Sabtu sore, 21 September, ia pergi ke kebunnya di Talang Tinggi. Ia menempuh jarak tiga jam, berjalan kaki dari desa tempat tinggalnya di Talang Padang, Kecamatan Tebing Tinggi. Jarak kebunnya 100 meter dari kebun Matasim. Malam itu, lelaki berdahi lebar ini sempat bertandang ke pondok Muhar. Di situ ia bertemu dengan Rusli dan Wasrok, sambil berbincang tentang soal tanaman kemiri dan kopi. "Saat itu, Syahril tak menyinggung tuduhan mencolek pantat," kata Rusli kepada polisi. Setengah jam kemudian Syahril pamit pulang ke pondoknya. Ia mengaku malam itu sulit tidur. Perasaan malu terus menghujam. Pukul 03.30 pagi ia bangun dan menyambar golok yang tergantung di dinding pondoknya. Setelah minum air putih, ia menyusuri jalan setapak, menembus dinginnya udara. Tak lama ia tiba di pondok 6 x 4 meter yang berlantai tanah dan beratap ilalang. Ini pondok milik Matasim. Dari celah dinding pondok ia menyaksikan Matasim bersama istri dan dua anaknya lelap tidur. Di depan pondok itu Syahril tertegun sejenak, sambil mengisap rokok kretek. Baru setengah batang rokok diisapnya, terdengar pintu terbuka. Matasim muncul di depan pintu pondoknya, sambil berdiri langsung membuka ruitsleting celananya. Cor. Kencing. Kesempatan itu dimanfaatkan Syahril. Sambil mengendap, golok yang panjangnya 80 cm itu dicabut dari sarungnya, kemudian ditancapkan ke perut Matasim. Mangsanya langsung rebah. Tubuhnya yang tak berdaya itu dibacok dan dihunjam bertubi-tubi oleh Syahril. Mendengar suara gaduh dan rintih "aduh" dari suaminya, Darmi terbangun. Ia terus menyerang pembunuh suaminya dengan linggis. Tangan Syahril kena dihantamnya, tapi perempuan ini malang seperti suaminya. Ia terkapar. Tubuhnya dilibas golok Syahril. Sementara itu, anak mereka, Rafig, 7 tahun, yang memanggil ibunya, diselesaikan pula oleh Syahril. Tubuh ketiga korban itu penuh luka dan isi perutnya terburai. Hanya bocah perempuan empat bulan yang tak diapa-apakannya. Malam itu, tiga anak Matasim lainnya tinggal bersama neneknya di Desa Talang Tinggi, Kecamatan Pendopo. Lelaki yang tak lulus SD itu, sebelum pagi itu melapor ke Pos Polisi Talang, singgah di pondok kakak iparnya, dan memberi tahu bahwa ia telah membunuh Matasim, istri, dan anaknya. "Siap-siap kalau keluarga Matasim menyerang," demikian pesan Syahril pada Wasrok, kakak iparnya. Sejak saat itu Syahril ditahan. Jalannya pembunuhan itu Sabtu pekan lalu direkonstruksi di tempat kejadian. "Saya menyesal. Apalagi hidup yang miskin ini kini bertambah sulit," ujarnya kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Menurut sumber di Polres Lahat, kasus serupa sering terjadi di wilayah ini. Setahun ini sudah sebelas kasus yang menyangkut harga diri. Sumber itu juga menjelaskan bahwa Matasim pernah menuduh Lani, penduduk Talang Tinggi, mencolek istrinya. Waktu itu Lani minta api di pondoknya, dan menyentuh tangan Darmi. Melihat tingkah itu, kemudian Matasim menuduh Lani mencolek istrinya. Persoalan itu diselesaikan secara damai oleh sesepuh adat, setelah Matasim menerima "uang denda" Rp 25 ribu. Syahrir Chili

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus