Festival Istiqlal, pameran terbesar sejak kemerdekaan yang idenya dicetuskan 15 tahun lampau, digelar selama sebulan. Sebuah cermin besar untuk menemukan jati diri. INILAH kekayaan bangsa yang luar biasa. Sebuah pameran kolosal yang digelar selama sebulan, dipersiapkan selama satu setengah tahun. Festival Istiqlal, begitu pameran yang untuk pertama kali diselenggarakan, sejak kemerdekaan ini, sesungguhnya tidaklah bermaksud menampilkan wajah kesenian Islam semata, tapi kebudayaan Indonesia yang "bernapas Islam". Dananya, menurut Ketua Umum Badan Pelaksana Festival, Pontjo Sutowo, sekitar Rp 4 milyar. Selasa malam pekan ini Presiden Soeharto membuka festival tersebut dengan menabuh beduk. Di antara ratusan tamu, hadir Yang Dipertuan Agong Malaysia, Sultan Azlan Muhibbuddin Syah, dan Sultan Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, dengan permaisuri mereka. Memang, festival ini tak hanya menggelar kekayaan budaya Islam Indonesia, tetapi juga Asia Tenggara. Usai menabuh beduk, Pak Harto mengawali penulisan mushaf Quran yang kemudian diteruskan oleh para penulis khat sampai selesai 30 juz. Penulisan kitab berukuran 125 x 75 cm ini diperkirakan bakal memakan waktu tiga sampai empat tahun. Lembaran-lembaran Quran ini berhiaskan ornamen yang khas Indonesia. Menurut A.D. Pirous, pelukis yang menjadi Wakil Ketua Badan Pelaksana Festival, yang istimewa dari festival ini adalah keragaman penampilan. Berbagai suku -- Aceh, Padang, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Sasak, Bugis, sampai Ternate dan Tidore -- semuanya menampilkan pikiran dan budaya Islam yang dicerna dengan latar belakang etnis yang berbeda. "Inilah kekayaan Indonesia yang luar biasa, dengan kebinekaan yang beragam. Lebih dari itu, festival ini merupakan penampilan sebagian wajah Asia Tenggara," katanya. Karena itu, benda-benda yang dipamerkan tidak hanya berasal dari 27 provinsi di Indonesia. Panitia Festival juga mengajak para seniman dan kolektor benda seni di antaranya dari Singapura, Malaysia, Brunei. Dari Malaysia datang 22 pelukis dengan karya-karya mereka. Menurut Pirous, benda-benda antik dari Pakistan, India, dan Cina juga akan ditampilkan. Di antara benda-benda yang dipamerkan di kompleks masjid yang terbesar di Asia Tenggara ini ialah mushaf Quran yang jumlahnya lebih dari 40 buah, rata-rata berusia ratusan tahun. Sebagian besar koleksi Yayasan Masagung, ada pula koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Bahkan, ada yang dipinjam dari Pesantren Buntet (Cirebon), dari Bali dan Irian Jaya, juga ada sebuah dari Irlandia. Yang menarik ialah Quran berusia 200 tahun koleksi Irwan Holmes. Quran yang diperkirakan berasal dari Demak, Jawa Tengah, itu berhiaskan prada emas di bagian pinggir lembaran halamannya. Ada pula teks "kitab kuning" (disebut begitu karena dicetak pada kertas kasar berwarna kuning) yang jumlahnya lebih dari 100 naskah. Seni arsitektur masjid dan elemen-elemennya, seperti mihrab, gapura, gerbang, mimbar, menara, sajadah, juga dipamerkan. Juga ada gentong air wudu berhiaskan kepala burak dari Desa Sitiwinangun, Cirebon. Memang banyak benda budaya yang unik dan menarik. Misalnya, bendera yang berusia seabad bertuliskan Surah Al Ikhlas dari kerajaan Cirebon kereta berukir untuk kendaraan anak berkhitan dari Keraton Surakarta berusia 70-an tahun pakaian kebesaran raja Kasultanan Yogyakarta, Hamengku Buwono VIII, yang bertatahkan hiasan berlian dan emas dari awal abad ini. Kaligrafi ayat suci Quran tentu saja juga ada. Dari yang berusia tua -- - berasal dari Banten dan Madura -- kaligrafi lukisan kaca dari Cirebon, sampai seni rupa kontemporer. Yang tradisional misalnya kain batik asal Jambi berusia 70-an tahun berhiaskan kaligrafi Arab. Namun, juga ada kursi kayu dari kerajaan Madura berhiaskan ayat suci Quran yang berusia 150 tahun. Yang kontemporer adalah lukisan-lukisan karya pelukis dari Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Malang, Surabaya, Padang. Ada nama-nama besar seperti Roesli, Pirous, Dede Eri Supria, Amri Yahya. Festival ini juga menampilkan kesenian rakyat yang merefleksikan tradisi Islam dari beberapa daerah, meliputi teater, tari, musik. Ada madihin (Kalimantan Selatan), japin (Riau), tabut (Sumatera Barat), saman dan seudati (Aceh), lenong (Jakarta), hadrah kuntulan (Jawa Timur), wayang golek (Jawa Barat). Juga tampil beberapa musikus muslim masa kini seperti Setiawan Djodi, Bimbo, Rhoma Irama, Trisutji Djuliati Kamal. Seni baca Quran sudah dipastikan ada. Begitu pula pemutaran beberapa film serta pembacaan puisi oleh 10 penyair, yang dinilai mewakili "napas keislaman". Seni pertunjukan tersebut dipentaskan di panggung Istiqlal dan Taman Ismail Marzuki. Bukan hanya itu. Ada satu acara festival yang serius, yaitu forum ilmiah dengan tema "Islam dan Kebudayaan Islam, Dulu, Kini, dan Esok". Simposium yang diselenggarakan selama empat hari sejak 21 Oktober itu berlangsung di gedung Indosat, Jakarta, mengetengahkan tiga subtema: ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia, Islam dan masa depan peradaban dunia. Sekitar 25 pakar berbagai bidang akan tampil. "Dalam simposium ini dibicarakan apa saja yang dipikirkan oleh manusia Indonesia sekarang, Islam yang bagaimana yang dianut orang Indonesia, apakah Islam yang angker seperti di Timur Tengah ataukah Islam yang damai dan berbudaya seperti di Indonesia. Kita berhak menawarkan ini karena kita adalah warga terbesar di dunia Islam," kata Pirous bersemangat. Acara tambahan yang barangkali menarik ialah pameran dan diskusi busana muslimah. Bukan akhir-akhir ini saja busana seperti itu dikenal orang, tetapi pakaian tradisional para muslimah di beberapa daerah bahkan sudah lama mencerminkan napas Islam. Misalnya, batik basorek (Bengkulu) atau baju kurung dari Sumatera Barat. Beberapa desainer yang tampil antara lain Ida Royani, Yenny Rahman, Itang Yunaz, Anne Rufaidah, Ramli. Yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang ialah bahwa penggagas pertama festival ini ternyata Joop Ave. Sejak masih menjadi kepala protokol Istana, sampai menjabat Direktur Jenderal Pariwisata, setiap tahun ia selalu membicarakan gagasannya dengan Pirous. "Jadi, sudah sejak 15 tahun lalu gagasan ini dilontarkan. Joop adalah pencinta seni, bahkan dia pengagum kesenian yang bernapaskan Islam," ujar Pirous. Festival ini memang berusaha memperlihatkan "potret" Indonesia yang selama ini terbenam. "Akar dari apa yang disebut Indonesia sekarang ini ialah pikiran dan budaya Islam. Jadi, festival ini merupakan upaya menemukan jati diri bangsa Indonesia. Karena itu, muslim atau nonmuslim bukan persoalan lagi. Yang kita ungkapkan ialah: "Inilah napas Indonesia," katanya. Apa dan bagaimana kesenian Islam itu? Selama ini "wakil kesenian Islam" -- yang boleh dikatakan sudah dianggap baku -- antara lain kaligrafi ayat suci Quran, arsitektur Timur Tengah, atau kesenian rakyat yang berangkat dari kultur atau tradisi Islam. Dalam festival ini, adakah sesuatu yang baru yang muncul sebagai "kesenian Islam"? Batasan kesenian Islam memang sulit dirumuskan. Namun, setidaknya orang boleh berharap bisa lebih mudah mengenalinya. Secara sederhana Pirous menjelaskan bagaimana dahulu para wali memperkenalkan Islam kepada rakyat. "Antara lain dengan seni wayang. Padahal, tradisi menggambar untuk sebagian kaum muslimin dilarang. Tapi di sini ada kaligrafi ayat suci Quran yang menggambarkan tokoh Semar. Ini kan menunjukkan toleransi bangsa yang luar biasa. Nah, beginilah antara lain kesenian Islam," katanya. Begitu pula misalnya tikar yang dianyam oleh muslimah dari pedalaman Aceh, Kalimantan, dan Cirebon, digunakan untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sajadah, tempat anak-anak lahir, sampai upacara menikah pun tikar beragam hias khas Islam itu dipakai. Ketika ada orang meninggal, tikar itu pun jadi kain kafannya. "Jadi, saya mengklaim, tikar ini adalah seni kerajinan hasil karya kaum muslimin," kata Pirous lagi. Menurut pelukis yang karya-karyanya menampilkan kaligrafi ayat-ayat suci Quran itu, seni Islam ialah karya yang dihasilkan masyarakat muslim, lahir dari pikiran dan budaya Islam, yang mengungkapkan keagungan Allah, yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kesenian Islam ternyata juga mampu melebur perbedaan etnis. "Aceh, Padang, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Ternate, jadi satu, karena Islam," tambahnya. Budiman S. Hartoyo dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini