Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tim Hendarman, Bubar Jalan

Masa tugas Tim Pemberantasan Korupsi tidak diperpanjang. Jaksa Agung Hendarman Supandji siap menyeret koruptor kakap dan pengemplang BLBI.

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG kerja Hendarman Supandji di lantai dua Gedung Bundar belum berubah. Walau si empunya ruang kini sudah menjadi Jaksa Agung, sejumlah dokumen penting milik bekas Ketua Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) itu masih tersimpan di sana. ”Pekan-pekan ini mungkin semua dokumen itu baru diangkut ke gedung utama,” ujar seorang jaksa, Kamis pekan lalu. Di antaranya dokumen perkara penjualan dua tanker raksasa Pertamina yang melibatkan bekas Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi.

Dua pekan lalu nasib Timtas Tipikor itu sudah diputuskan Presiden Yudhoyono. ”Tidak diperpanjang, anggarannya sudah nggak ada,” kata Hendarman. Pada awal Mei lalu, Hendarman bertemu Presiden. Sebagai ketua tim, tiap tiga bulan pria berusia 60 tahun itu menghadap SBY, melaporkan hasil kerjanya. Rupanya, setelah dua tahun ia memimpin Timtas Tipikor, Presiden punya rencana lain. SBY mengangkat Hendarman menjadi Jaksa Agung sekaligus membubarkan Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi—selanjutnya kita sebut saja tim Hendarman.

Sejak dibentuk dua tahun lalu, tim Hendarman sudah menyelamatkan duit negara Rp 4 triliun. ”Sekitar Rp 1 triliun sudah disetor ke kas negara,” ujarnya. Sejumlah koruptor telah dilempar tim ini ke bui, misalnya bekas Direktur PT Jamsostek Ahmad Djunaidi dan bekas Menteri Agama Said Agil Husein al-Munawar. Hasil kerja lainnya yang kini sedang menggelinding di pengadilan: kasus korupsi hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton. Empat tersangka kasus itu, antara lain Pontjo Sutowo dan Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi (ketika itu menjadi pengacara Pontjo), sudah dituntut hukuman tujuh tahun penjara.

l l l

DIBENTUK berdasarkan keputusan presiden pada 2 Mei 2005, inilah tim yang diharapkan tangkas menyikat para koruptor. Bernama Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tim ini terdiri dari 45 orang dan bermasa tugas dua tahun. Anggotanya para jaksa, polisi, dan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Presiden SBY memerintahkan tim pimpinan Hendarman itu membereskan 21 kasus korupsi kakap yang bersarang di 16 BUMN, 4 departemen, dan lingkungan Istana Negara.

Hendarman langsung membenahi pasukannya. Sejumlah jaksa yang memiliki jam terbang minimal 10 tahun dalam urusan memeriksa koruptor dan dianggapnya bersih diminta bergabung. Belakangan, karena stok jaksa seperti ini di Kejaksaan Agung tak mencukupi, Hendarman memanggil sekitar sepuluh jaksa dari berbagai daerah seperti Yogyakarta dan Ponorogo, Jawa Timur, untuk memperkuat timnya.

Koordinasi dengan kepolisian dan BPKP juga dilakukan terus-menerus. Rapat gelar perkara kasus korupsi dilakukan berpindah-pindah. Kadang di Kejaksaan Agung, lain waktu di Markas Besar Polri. ”Dengan pertemuan-pertemuan semacam ini, kasus korupsi yang ditangani polisi tak ada masalah di tingkat kejaksaan,” kata Inspektur Jenderal Indarto, bekas Wakil Ketua Timtas Tipikor yang kini jadi Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Hasilnya tak sia-sia. Sejumlah kasus korupsi dapat diungkap dan dilempar ke pengadilan, antara lain kasus korupsi Jamsostek yang merugikan negara Rp 300 miliar, kasus korupsi dana abadi umat Departemen Agama Rp 50 miliar, dan kasus HGB Hotel Hilton yang dianggap merugikan negara sekitar Rp 1,9 triliun.

Tim ini juga pernah membongkar kasus pemerasan yang dilakukan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Herman Allositandi. Herman ditangkap setelah sejumlah polisi dan jaksa Timtas Tipikor menjebak panitera yang diperintahkan Herman memeras Walter Sigalingging, saksi perkara Jamsostek, Rp 200 juta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menghukum Herman empat tahun enam bulan penjara.

Sepanjang dua tahun, ada sekitar 280 kasus korupsi yang diperiksa. Dari jumlah itu, 39 kasus sudah masuk tahap pemeriksaan, penyidikan, dan juga persidangan. Misalnya perkara korupsi Bank Mandiri, juga kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI, serta penjualan tanker Pertamina.

Toh, bukan berarti kinerja tim ini bebas dari kritik. Di mata Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, kerja tim ini lamban dan jauh dari harapan. Dari 24 kasus korupsi di BUMN, misalnya, yang hanya bisa ditangani tak lebih dari enam kasus. Bahkan tim ini belum bisa membongkar kasus korupsi di Sekretariat Negara, apalagi kasus BLBI yang membuat negara rugi Rp 100 triliun lebih. Tim ini, menurut Emerson, tetap tak lepas dari intervensi kekuasaan.

Adanya intervensi diakui sumber Tempo yang juga seorang jaksa. Sumber itu menunjuk tatkala mereka bertugas memeriksa kembali kasus korupsi Pertamina yang diduga melibatkan bekas Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita. Pada saat awal-awal menjadi Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh memang memerintahkan kasus ini dikaji kembali. Sebuah tim yang diketuai pakar hukum pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo diminta meneliti kasus yang membuat negara rugi sekitar Rp 200 miliar.

Setelah bekerja sekitar tiga bulan, tim Harkristuti menyimpulkan ada dugaan Ginandjar terlibat dalam kasus ini. Tim Harkristuti bahkan merekomendasi surat perintah penghentian penyidikan (SP3) Ginandjar dicabut dan mantan Komisaris Utama Pertamina itu diperiksa. Namun rekomendasi itu tidak dijalankan. ”Alasan Pak Hendarman, perintah dari atas,” ujar sang jaksa. Intervensi atasan? Indarto menyanggah. Bekas Direktur Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Mabes Polri ini dengan tegas menyatakan bahwa tak ada ruang sekecil apa pun bagi tindakan intervensi. ”Jelas kami tolak,” ujarnya.

Namun Indarto tak menyangkal kalau timnya dinilai lamban. ”Ada hambatan yang sulit dihindari,” ujarnya. Banyak contohnya. Misalnya saja, tim harus meminta izin Presiden jika akan memeriksa pejabat. Belum lagi sulitnya menemukan dokumen bila korupsi sudah lama terjadi. Lembaga pemerintah juga tidak kooperatif jika ada anggotanya terlibat korupsi. ”Padahal kami juga ingin cepat. Panggil, periksa, dan tetapkan statusnya. Tapi kalau begini berarti melanggar aturan,” katanya.

Sumber Tempo di kejaksaan bercerita lain. Menurut sang sumber, kasus yang ditangani tim kejaksaan berjalan lelet karena Hendarman juga harus berkonsultasi dengan Jaksa Agung. ”Kalau kami tanya, Pak Hendarman bilang, tunggu dulu keputusan dari atas,” kata sumber ini. Selain itu, tugas yang bejibun tak diimbangi petugas dalam jumlah memadai. Terpaksa kerjanya serba rangkap. Sejumlah kasus yang seharusnya bisa meluncur cepat, menurut sumber itu, antara lain dugaan korupsi Direktur Utama PLN Eddie Widiono serta kasus Laksamana Sukardi.

Masa tugas tim kini sudah lewat. Semua hasil kerja tim yang dipegang kejaksaan kini ”beralih” ke tangan Hendarman sendiri—kali ini sebagai Jaksa Agung. Ia menegaskan akan tetap memprioritaskan upaya mengejar para koruptor kakap. ”Salah satunya kasus BLBI,” katanya. Ada 15 buron BLBI yang kini ngumpet di Singapura yang diincar Hendarman. ”Akan kami ekstradisi mereka,” ujarnya.

LRB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus