Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pelang kayu tertancap di pagar rumah ketua rukun tetangga di kawasan Kelurahan Meruya Selatan, Jakarta Barat, sejak sepekan lalu. Haji Manap, si pemilik, bukan mempromosikan jabatan RT-nya, tapi di sanalah Posko Forum Masyarakat Kelurahan Meruya Selatan.
Ke rumah yang terletak di Jalan Putri Tunggal Nomor 11 tersebut, warga silih berganti menyerahkan fotokopi sertifikat kepemilikan tanah. ”Melalui lembaga ini, kami bersatu,” kata Yohanes Sandjaja Darmawan, Sekretaris Forum Masyarakat Kelurahan Meruya Selatan.
Lembaga itu dipersiapkan untuk mempertahankan tanah warga yang kini terancam digusur. Lawan mereka adalah PT Porta Nigra, perusahaan properti milik Rachmat bersaudara, yaitu Purwanto Rachmat (direktur utama) dan Permadi Rachmat (komisaris utama).
PT Porta Nigra kini di atas angin. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada 26 Juni 2001, Porta dinyatakan sebagai pemilik tanah seluas 78 hektare yang terbagi dalam 311 girik di Meruya Selatan. Kawasan itu mencakup 10 rukun warga. ”Porta Nigra adalah pemilik sah atas tanah itu,” kata Yan Juanda Saputra, kuasa hukum Porta Nigra
Berlandaskan putusan Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Haryanto menetapkan jadwal eksekusi pada 21 Mei, yang baru diketahui warga pada akhir April lalu. Mereka pun kalang-kabut. Jika eksekusi dijalankan, mereka harus hengkang. ”Padahal warga mengantongi sertifikat dan membayar pajak,” kata Manap, si ketua RT.
Mereka tak sudi. Genderang perang pun ditabuh. Warga menyiapkan katapel untuk menghadang petugas eksekusi. Sejumlah akses masuk diblokir. Di wilayah RT 01 RW 05, misalnya, hanya ada satu pintu masuk dan keluar yang disisakan. Tamu hanya diizinkan masuk setelah menyerahkan kartu identitas. Tamu mencurigakan, jangan coba-coba masuk, langsung diusir.
Tak hanya itu. Sejumlah pos penjagaan disiapkan lengkap dengan sirene berupa megafon. Sirene ini akan dibunyikan serentak jika petugas eksekusi beraksi. Sejumlah senjata tajam disiapkan. ”Kami siap melawan dengan parang,” kata Manap.
Pertumpahan darah memang tak terjadi. Rabu pekan lalu, Haryanto menyatakan pengunduran waktu eksekusi. ”Hingga waktu yang belum ditentukan,” katanya.
BAGAIMANA sengkarut tanah ini bisa terjadi? Tersebutlah tiga makelar tanah yang bergelar mandor di kawasan Meruya. Mereka adalah Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono. Dari merekalah, pada 1972, Porta membeli tanah-tanah itu dengan surat kepemilikan tanah berupa girik.
Menurut Yan Juanda, Porta saat itu mengantongi girik 78 hektare tanah. Harganya waktu itu Rp 300 per meter persegi. ”Kami memiliki surat asli,” kata Yan Juanda. Ternyata, menurut versi Yan Juanda, tiga mandor itu belakangan membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut.
Pada 1978, kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo. Dari hasil pemeriksaan lembaga itu, tiga mandor tadi menjual lagi girik tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya untuk PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare) pada 1975, kepada BRI seluas 3,5 hektare pada 1977, dan 15 hektare dijual ke pemerintah DKI Jakarta pada 1974. Harga jual tanah itu Rp 200 per meter persegi.
Kasus ini bergulir ke pengadilan. Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Yahya, yang memilih banding, menyerah di pengadilan tinggi. Ia menerima vonis hakim setahun penjara. Adapun Tugono menjalani hukuman setelah permohonan kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada 1989. Djunaedi, kuasa hukum Djuhri, menegaskan kasus kliennya seharusnya selesai begitu Djuhri dihukum. ”Apalagi, selain menjalani hukuman penjara, ia membayar ganti rugi Rp 175 juta,” kata Djunaedi.
Porta Nigra terus menuntut tanahnya. Perusahaan ini lalu menempuh peradilan perdata menggugat tiga mandor itu pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik Porta.
Namun, karena masyarakat yang bermukim di tanah sengketa tak turut digugat, gugatan Porta kandas di pengadilan. Sita jaminan pun dicabut. Karena kekurangan pihak ini pula gugatan Porta kandas lagi di tingkat banding. ”Bahkan belum sampai memeriksa materi perkara,” kata Djunaedi. Porta tak menyerah dan membawa perkara ini ke Mahkamah Agung.
Di tingkat mahkamah inilah keberuntungan memihak Porta. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Porta pada 2001. Salah satu dasar putusannya adalah sita jaminan yang ditetapkan pengadilan atas 44 hektare lahan tersebut. ”Bukti jual-beli dan pidana Djuhri juga menjadi landasan putusan,” kata Nurhadi, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung.
Pemeriksaan materi perkara itulah yang dianggap Djunaedi sebagai kekeliruan. ”Mahkamah Agung seharusnya hanya boleh memeriksa kekeliruan hukum yang dibuat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi,” katanya.
Putusan Mahkamah Agung itu diketuk lima tahun silam, tapi penetapan eksekusi baru turun April lalu. Menurut Yan Juanda, penetapan ini sudah disampaikan ke aparat pemerintah pada 26 April lalu. ”Sedangkan pemberitahuan kepada warga menjadi tanggung jawab lurah,” katanya. Pengadilan mengumumkan eksekusi bakal dilakukan pada 21 Mei.
Namun bukan perkara mudah melakukan eksekusi itu. Di lahan 44 hektare itu sudah lahir 6.500 sertifikat resmi. ”Porta Nigra memiliki bukti girik. Saat ini di sana sudah berbentuk kaveling,” kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat Roli Irawan. ”Kami tidak tahu lahan mana yang akan dieksekusi.”
Menurut seorang warga Meruya Selatan, utusan Porta Nigra pernah datang ke kelurahan pada April lalu. Mereka menanyakan batas tanah sengketa itu. ”Mereka tidak tahu batas tanah yang disengketakan, apalagi kami,” katanya.
Dalam kurun belasan tahun, di lahan 44 hektare itu sudah tumbuh aneka perumahan, dari yang sederhana hingga mewah, seperti Taman Kebon Jeruk (Intercont), Real Estate Meruya Resident, perumahan DPR, perumahan karyawan kantor Wali Kota Jakarta Barat, kaveling BRI, dan perumahan Unilever. Ada pula universitas dan rumah sakit.
Jika eksekusi dijalankan, sedikitnya 21 ribu jiwa bakal terusir dari Meruya Selatan. Padahal mereka mengantongi sertifikat resmi yang dikeluarkan negara. ”Saya membeli tanah pada 1997 dan 1999 dengan bukti sertifikat hak milik dari Badan Pertanahan Nasional,” kata Edy, salah seorang pemilik dua rumah di kompleks DKI.
Gubernur Jakarta Sutiyoso juga mempertanyakan putusan hukum itu. ”Saya heran, kok, ada keputusan hukum, tetapi kami tidak pernah jadi tergugat,” katanya. Aset DKI di kawasan sengketa itu adalah sekolah dan rumah sakit. Merasa memiliki bukti yang kuat, Sutiyoso menyatakan akan mengambil langkah hukum perlawanan terhadap eksekusi. Langkah yang sama ditempuh masyarakat Meruya Selatan.
Pertempuran Porta Nigra melawan warga Meruya tampaknya akan menempuh jalan panjang.
Nurlis E. Meuko, I G.G. Maha Adi, Zaky Almubarok,Mustafa Silalahi, Sorta Tobing, Aguslia Hidayah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo