INI baru namanya pesanan khusus. Gara-gara sakit hati, Sidi Kalun memesan seorang centeng agar memotong kuping Asril alias Aciak. Akibat pesanan unik itu, penduduk Kotobangko, Padang Pariaman, Sumatera Barat, geger. Mayat Aciak tanpa kuping ditemukan penduduk tergeletak di kebun kulit manis, tiga kilometer dari Gunung Singgalang. Kasus main pakuak (potong) itu mengingatkan penduduk pada masa-masa puluhan tahun lalu. Pada masa dulu, konon, banyak centeng yang kerjanya cuma menunggu bayaran untuk mamakuak orang. Si pemesan, dengan bayaran tertentu, bisa mengorder betis, lutut, bahu, telinga, atau kepala musuhnya. Salah seorang tukang pakuak yang menghabisi Aciak, yaitu Syahril, 19 tahun, pekan-pekan ini diadili di Pengadilan Negeri Pariaman. Jaksa T. Rajagukguk menuntut dengan hukuman 8 tahun penjara. Ia bersama Mek Roki -- masih buron -- dipersalahkan membunuh Aciak dan memotong kuping korban. Tetapi, uniknya, masyarakat malah menganggap Syahril dan Mek Roki sebagai "pahlawan". Sebab, semasa hidupnya, korban memang dikenal urang bagak (jagoan) yang meresahkan masyarakat karena suka memeras dan mencuri. Seperti diakui Wakapolres Pariaman, Kapten Soenarno, Aciak sudah langganan polisi. Rumah dan toko sering dibongkarnya. Kelapa di atas pohon pun diturunkannya. Lelaki kekar itu juga tega menggampar orang jika menolak permintaannya. Semua orang takut padanya. Ia bahkan disebut punya ilmu menghilang dan tak segan-segan membacokkan parang yang terselip di pinggangnya. Setiap kali keluar dari bui, ayah dua anak ini malah semakin edan. Begitulah, pada April tahun lalu, lagi-lagi Aciak menguras habis kelapa Sidi Kalun. Padahal, kebun kelapa pamannya itu sudah digadaikan pada orang lain. Ia juga menyikat buah kelapa dari kebun Syahril, yang tak lain keponakannya pula. Syahril malah dibacoknya karena berani melarangnya. Peristiwa itulah yang membuat Sidi Kalun berang. Penghulu adat ini segera memanggil Mek Roki, 42 tahun. Jagoan setara Aciak ini pun ditawarinya untuk mamakuak telinga ponakannya. Maksudnya, agar Aciak jera. Mendengar imbalannya Rp 500 ribu, Mek Roki kontan mengangguk. Sadar Aciak terbilang licik, Mek Roki mengatur siasat dengan Syahril. Pada malam Selasa, 12 Juli 1990, persis malam hari raya Idul Adha, keduanya mengajak Aciak mencuri kulit manis penduduk di pebukitan dekat Kotobangko. Berbekal lampu senter dan pisau, ketiganya mendaki kaki bukit itu. Satu per satu pohon kulit manis itu mereka kupas. Ketika asyik menguliti pohonan itulah, Mek Roki mengeluarkan palu kayu dari balik sarungnya. Cuma satu kali ayunan, Aciak tersungkur. Pukulan berikutnya membuat korban tak berkutik lagi. Sebelum meninggalkan jasad korban, nah ini: Mek Roki menyayat kuping kiri Aciak. Barang orderan yang masih berbercak darah inilah tengah malam itu mereka perlihatkan kepada Sidi Kalun. Tanpa banyak bicara, Sidi Kalun memberi panjar Rp 50 ribu. Keduanya lalu permisi. Di tengah jalan Mek Roki membagi Rp 20 ribu pada Syahril. Esoknya, mayat Aciak ditemukan penduduk dan dilaporkan ke polisi. Di dekat tubuh korban ditemukan pula sebuah lampu senter yang dikenali penduduk sebagai milik Syahril. Kecurigaan jadi klop ketika di surau, tempat Syahril biasa tidur, ditemukan lampu senter milik Aciak. Sewaktu anak muda itu diboyong ke Polres Pariaman, ia tak lagi bisa mengelak. Dari pengakuan Syahril jugalah terungkap keterlibatan Sidi Kalun, yang diadili dalam berkas terpisah -- sementara Mek Roki keburu kabur. Menurut Soenarno, penduduk setempat seperti melindungi Mek Roki, sehingga polisi kesulitan menangkapnya. "Ia dianggap berjasa menghabisi urang bagak itu," kata Soenarno pada TEMPO. Bersihar Lubis & Fachrul Rasyid H.F. (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini