Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Umardani, Petani & Kursi

Divonis 2 th, tuduhan melakukan penipuan kepada petani-petani, kalap di sidang pengadilan, melempar kursi kepada hakim.

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGUNJUNG yang memadati ruang sidang Pengadilan Negeri Blitar tiba-tiba geger. Saat itu majelis hakim yang dipimpin Suharso baru saja menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara kepada Umardani Kombayono, karena menurut hakim terbukti menipu. Tidak disangka, mendengar vonis itu Umardani kalap. Sebuah kursi disambarnya dan dilemparkannya kepada hakim. Untung kursi itu nyasar, menghantam meja hijau. Umardani, 54 tahun, ternyata belum puas. Dua balok nama hakim yang terletak di depan majelis disabetnya dan ketika itu juga melayang menuju muka hakim. Kali ini majelis rupanya sudah sadar apa yang terjadi. Mereka sempat menghindar dengan menjatuhkan diri di balik meja hijau. Hari itu, 19 Agustus lalu, merupakan persidangan ke-21 perkara Umardani, setelah mendengarkan 49 orang saksi. Dari mereka, 42 orang di antaranya adalah petani yang dikatakan telah ditipu Umardani. Namun dalam kesaksian tidak seorang pun di antara petani itu membenarkan tuduhan jaksa, dan membantah telah ditipu Umardani. Sebab itu pula," saya menjadi kalap tidak sadar, karena kesal mendengarkan keputusan yang tidak adil itu, dan sangat merugikan saya," ujar Umardani di LP Blitar kepada TEMPO, sesudah peristiwa itu terjadi. Ceritanya bermula pada September 1979 yang lalu, ketika para petani di Desa Madongan dan Karangrejo, Kecamatan Nglegok, Blitar (Ja-Tim), meminta Umardani mengurus tanah garapan mereka seluas 240 hektar. Tapi bekas perkebunan Belanda di Karanganyar dan Karangnongko, di kaki Gunung Kelud itu sudah digarap petani sejak tahun 1946. Namun pada 1966, setelah G.30. S, Pemda Blitar memutuskan tanah di Karangnongko diserahkan kepada PT Dewi Sri dan tanah di Karanganyar kepada PT Harta Mulia. (TEMPO 25 April 1981). Takut dicap PKI, penduduk menyerah, walau ganti-rugi yang diberikan tidak memadai. Mereka dipindahkan ke areal 7 hektar di Desa Mandongan dan masing-masing mendapat tanah 500 m persegi selain ganti rugi uang untuk tanaman yang ada dan rumah. Tetapi ganti rugi rumah ketika itu masing-masing Rp 50.000, dan karena ada penurunan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, uang itu hanya cukup untuk membeli 1 kg paku," ujar istri Miselan, seorang petani yang merasa dirugikan. Kehidupan mereka setelah itu memang jadi payah. Banyak yang menggantungkan hidupnya dari mencari rumput. Sebaliknya di sebagian bekas tanah mereka tumbuh subur kopi PT Harta Mulia, dan sisanya, 100 hektar ditumbuhi cengkih dengan papan nama "Proyek Pertanian Korem." Keinginan petani untuk mendapat tanah garapan mereka kembali, akhirnya digantungkan kepada Umardani, Penanggung Jawab Biro Konsultasi Hukum yang berdomisili di Genteng, Banyuwangi. Sebanyak 630 petani yang mengadu mengumpulkan uang iuran masing-masing Rp 5.000, sehingga mencapai Rp 3. 150.000. Dengan uang itu Umardani, November 1979 membawa 8 petani menghadap Pangkopkamtib Sudomo di Jakarta. Bulan Mei tahun berikutnya, bersama 60 petani, Umardani menghadap Wakil Ketua DPR-RI, Kartidjo. Tanah yang mereka perjuangkan belum mendapat titik terang untuk dimiliki kembali. Namun Umardani sudah menerima risikonya Setelah kembali dari Jakarta, ia diusir dari Banyuwangi oleh bupati. Karena itu ia menetap di kota kelahirannya, Tulungagung. Tetapi ia segera dijemput dan ditahan Laksusda Ja-Tim. Dua bulan dalam tahanan ia dipindahkan ke LP Blitar--dan perkaranya pun dilimpahkan ke kejaksaan. Selama dalam tahanan, anehnya, Umardani mendapat simpati dari pihak yang dikatakan menipunya. Para petani dengan rajin mengikuti jalannya persidangan sambil membawa makanan untuk "pahlawan" mereka, Umardani. "Umardani tidak pernah menipu kami, kami mengeluarkan uang dengan suka rela," ujar seorang petani, Djumari. Karena itu mereka menganggap tidak pantas Umardani dihukum. "Kalau ia dihukum kami semua rela dihukum," kata petani lainnya, Miselan. Muspika Di persidangan para petani memang membenarkan telah memberi uang masing-masing Rp 5.000, tapi mereka tidak merasa ditipu. Uang itu antaranya digunakan Umardani untuk membiayai perjalanan ke Jakarta bersama beberapa petani. "Kami ingin menyaksikan apakah Pak Umardani betul-betul memperjuangkan petani," ujar Tukimin yang ikut menghadap ke DPR. "Kalau kami merasa ditipu, di tengah jalan itu juga sudah kami tuntut," tambahnya. Selama Umardani ditahan, tutur petani Miselan, memang ada 8 orang jaksa yang menginterogasi penduduk. Oknumoknum jaksa itu selain meminta keterangan, juga menganjurkan penduduk agar menuntut Umardani. Tetapi tidak ada yang mau. "Sampai gepeng, saya tidak mau menuntut orang yang menolong saya," ujar Miselan. Rekannya, Djumiran, mengatakan Umardani layak mendapat imbalan dari mereka. "Di desa miskin ini, kalau ada orang yang disuruh memetik kelapa, pasti diberi upah-apalagi seperti Umardani yang mengurus masalah berat," kata Djumiran. Tetapi bukan tidak ada pula saksi yang memberatkan Umardani. Dan Ramil Nglegok, Kabul, misalnya, di persidangan mengatakan pernah didatangi Umardani. Menurut Kabul, Umardani mengumbar janji padanya. "Saya ini kan pokrol, nanti kalau berhasil Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) dan desa, akan saya beri Rp 10 juta." Kesaksian ini dibantah Umardani. Bantahan Umardani, dan juga puluhan petani itu, ternyata tidak banyak artinya bagi pengadilan. Jaksa Soewoto tetap yakin kepada tuduhannya, dan menuntut Umardani dijatuhi hukuman 2 tahun. Tapi majelis hakim yang diketuai Suharso, mengubahnya menjadi 1 tahun 6 bulan, potong tahanan--berarti Umardani tinggal menjalani hukuman 2 bulan lagi. Tetapi peristiwa pelemparan tadi mungkin akan membuat persoalan lebih panjang lagi. "Kami akan menuntut Umardani melalui kejaksaan," kata Ketua Pengadilan Negeri Blitar, Soekarno, yang merasa perbuatan Umardani menghina pengadilan. Umardani sendiri naik banding atas putusan itu. Penghinaan atau kekerasan terhadap pengadilan, sekurangnya terjadi dua kali dalam dua tahun ini. Akhir September tahun lalu, seorang tergugat yang dikalahkan, M. Djamil, nekat mencabut pistol dan menembak pengacara lawannya Soeripto di Pengadilan Negeri Jakarta Barat/Selatan. Tembakan kedua yang ditujukan kepada Ketua Majelis Hakim, Soetrisno, untung macet, sehingga hakim itu selamat. (TEMPO, 4 Oktober 1981). Agaknya penindakan hakim-hakim oleh " Opstib ", dan diadilinya dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Heru Gunawan dan J.Z. Loudoe bulan-bulan ini, belum cukup untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan. Walau untuk itu, hakim Heru Gunawan, Selasa pekan lalu sudah dinlntut hukuman 1 tahun penjara, karena dianggap terbukti menyalahgunakan wewenangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus