PENGUNJUNG yang memadati ruang sidang Pengadilan Negeri Blitar
tiba-tiba geger. Saat itu majelis hakim yang dipimpin Suharso
baru saja menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara kepada
Umardani Kombayono, karena menurut hakim terbukti menipu. Tidak
disangka, mendengar vonis itu Umardani kalap. Sebuah kursi
disambarnya dan dilemparkannya kepada hakim. Untung kursi itu
nyasar, menghantam meja hijau.
Umardani, 54 tahun, ternyata belum puas. Dua balok nama hakim
yang terletak di depan majelis disabetnya dan ketika itu juga
melayang menuju muka hakim. Kali ini majelis rupanya sudah sadar
apa yang terjadi. Mereka sempat menghindar dengan menjatuhkan
diri di balik meja hijau.
Hari itu, 19 Agustus lalu, merupakan persidangan ke-21 perkara
Umardani, setelah mendengarkan 49 orang saksi. Dari mereka, 42
orang di antaranya adalah petani yang dikatakan telah ditipu
Umardani. Namun dalam kesaksian tidak seorang pun di antara
petani itu membenarkan tuduhan jaksa, dan membantah telah ditipu
Umardani. Sebab itu pula," saya menjadi kalap tidak sadar,
karena kesal mendengarkan keputusan yang tidak adil itu, dan
sangat merugikan saya," ujar Umardani di LP Blitar kepada TEMPO,
sesudah peristiwa itu terjadi.
Ceritanya bermula pada September 1979 yang lalu, ketika para
petani di Desa Madongan dan Karangrejo, Kecamatan Nglegok,
Blitar (Ja-Tim), meminta Umardani mengurus tanah garapan mereka
seluas 240 hektar. Tapi bekas perkebunan Belanda di Karanganyar
dan Karangnongko, di kaki Gunung Kelud itu sudah digarap petani
sejak tahun 1946. Namun pada 1966, setelah G.30. S, Pemda Blitar
memutuskan tanah di Karangnongko diserahkan kepada PT Dewi Sri
dan tanah di Karanganyar kepada PT Harta Mulia. (TEMPO 25 April
1981).
Takut dicap PKI, penduduk menyerah, walau ganti-rugi yang
diberikan tidak memadai. Mereka dipindahkan ke areal 7 hektar di
Desa Mandongan dan masing-masing mendapat tanah 500 m persegi
selain ganti rugi uang untuk tanaman yang ada dan rumah. Tetapi
ganti rugi rumah ketika itu masing-masing Rp 50.000, dan karena
ada penurunan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, uang itu
hanya cukup untuk membeli 1 kg paku," ujar istri Miselan,
seorang petani yang merasa dirugikan.
Kehidupan mereka setelah itu memang jadi payah. Banyak yang
menggantungkan hidupnya dari mencari rumput. Sebaliknya di
sebagian bekas tanah mereka tumbuh subur kopi PT Harta Mulia,
dan sisanya, 100 hektar ditumbuhi cengkih dengan papan nama
"Proyek Pertanian Korem."
Keinginan petani untuk mendapat tanah garapan mereka kembali,
akhirnya digantungkan kepada Umardani, Penanggung Jawab Biro
Konsultasi Hukum yang berdomisili di Genteng, Banyuwangi.
Sebanyak 630 petani yang mengadu mengumpulkan uang iuran
masing-masing Rp 5.000, sehingga mencapai Rp 3. 150.000. Dengan
uang itu Umardani, November 1979 membawa 8 petani menghadap
Pangkopkamtib Sudomo di Jakarta. Bulan Mei tahun berikutnya,
bersama 60 petani, Umardani menghadap Wakil Ketua DPR-RI,
Kartidjo.
Tanah yang mereka perjuangkan belum mendapat titik terang untuk
dimiliki kembali. Namun Umardani sudah menerima risikonya
Setelah kembali dari Jakarta, ia diusir dari Banyuwangi oleh
bupati. Karena itu ia menetap di kota kelahirannya, Tulungagung.
Tetapi ia segera dijemput dan ditahan Laksusda Ja-Tim. Dua bulan
dalam tahanan ia dipindahkan ke LP Blitar--dan perkaranya pun
dilimpahkan ke kejaksaan.
Selama dalam tahanan, anehnya, Umardani mendapat simpati dari
pihak yang dikatakan menipunya. Para petani dengan rajin
mengikuti jalannya persidangan sambil membawa makanan untuk
"pahlawan" mereka, Umardani. "Umardani tidak pernah menipu kami,
kami mengeluarkan uang dengan suka rela," ujar seorang petani,
Djumari. Karena itu mereka menganggap tidak pantas Umardani
dihukum. "Kalau ia dihukum kami semua rela dihukum," kata petani
lainnya, Miselan.
Muspika
Di persidangan para petani memang membenarkan telah memberi uang
masing-masing Rp 5.000, tapi mereka tidak merasa ditipu. Uang
itu antaranya digunakan Umardani untuk membiayai perjalanan ke
Jakarta bersama beberapa petani. "Kami ingin menyaksikan apakah
Pak Umardani betul-betul memperjuangkan petani," ujar Tukimin
yang ikut menghadap ke DPR. "Kalau kami merasa ditipu, di tengah
jalan itu juga sudah kami tuntut," tambahnya.
Selama Umardani ditahan, tutur petani Miselan, memang ada 8
orang jaksa yang menginterogasi penduduk. Oknumoknum jaksa itu
selain meminta keterangan, juga menganjurkan penduduk agar
menuntut Umardani. Tetapi tidak ada yang mau. "Sampai gepeng,
saya tidak mau menuntut orang yang menolong saya," ujar Miselan.
Rekannya, Djumiran, mengatakan Umardani layak mendapat imbalan
dari mereka. "Di desa miskin ini, kalau ada orang yang disuruh
memetik kelapa, pasti diberi upah-apalagi seperti Umardani yang
mengurus masalah berat," kata Djumiran.
Tetapi bukan tidak ada pula saksi yang memberatkan Umardani. Dan
Ramil Nglegok, Kabul, misalnya, di persidangan mengatakan pernah
didatangi Umardani. Menurut Kabul, Umardani mengumbar janji
padanya. "Saya ini kan pokrol, nanti kalau berhasil Muspika
(Musyawarah Pimpinan Kecamatan) dan desa, akan saya beri Rp 10
juta." Kesaksian ini dibantah Umardani.
Bantahan Umardani, dan juga puluhan petani itu, ternyata tidak
banyak artinya bagi pengadilan. Jaksa Soewoto tetap yakin kepada
tuduhannya, dan menuntut Umardani dijatuhi hukuman 2 tahun. Tapi
majelis hakim yang diketuai Suharso, mengubahnya menjadi 1 tahun
6 bulan, potong tahanan--berarti Umardani tinggal menjalani
hukuman 2 bulan lagi.
Tetapi peristiwa pelemparan tadi mungkin akan membuat persoalan
lebih panjang lagi. "Kami akan menuntut Umardani melalui
kejaksaan," kata Ketua Pengadilan Negeri Blitar, Soekarno, yang
merasa perbuatan Umardani menghina pengadilan. Umardani sendiri
naik banding atas putusan itu.
Penghinaan atau kekerasan terhadap pengadilan, sekurangnya
terjadi dua kali dalam dua tahun ini. Akhir September tahun
lalu, seorang tergugat yang dikalahkan, M. Djamil, nekat
mencabut pistol dan menembak pengacara lawannya Soeripto di
Pengadilan Negeri Jakarta Barat/Selatan. Tembakan kedua yang
ditujukan kepada Ketua Majelis Hakim, Soetrisno, untung macet,
sehingga hakim itu selamat. (TEMPO, 4 Oktober 1981).
Agaknya penindakan hakim-hakim oleh " Opstib ", dan diadilinya
dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Heru Gunawan dan
J.Z. Loudoe bulan-bulan ini, belum cukup untuk memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan. Walau untuk itu,
hakim Heru Gunawan, Selasa pekan lalu sudah dinlntut hukuman 1
tahun penjara, karena dianggap terbukti menyalahgunakan
wewenangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini