Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Gordimer

Nadine gordimer dalam cerpennya "a soldier's embrace" menggambarkan sebuah ketidak adilan di afsel. beberapa karya sastranya dibredel pemerintah. kini ia mendapat hadiah nobel kesusasteraan 1991.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFRIKA Selatan adalah seperti yang dikatakan Marlon Brando dalam film The Long White Fever. Di kantornya yang apak seperti gudang toko barang bekas, pengacara tua yang gemuk dan capek itu menasihati seseorang yang datang kepadanya mencari keadilan: "Hukum dan keadilan itu ibarat sepupu jauh. Dan di Afrika Selatan, keduanya tidak mau saling omong." Undang-undang disusun dan diterapkan dengan tegar, tapi keadilan berada di luar emper pengadilan, sendirian, seperti pngembara yang lewat? mengais. Dengarlah kisah seperti ini: di sebuah kota Afrika Selatan. seorang ahli geologi Austria yang kesepian berteman dengan seorang gadis kulit hitam yang pemalu yang bekerja di supermaket terdekat. Si gadis datang membawakan makanan, memasangkan kancing baju, dan tidur dengan si ahli geologi. Laki-laki ini memperbaiki bahasa lnggris si cewek hitam, mengajarinya mengetik, dan membelikannya arloji. Kesepian mereka bersentuhan. Tapi suatu malam polisi menggerebek. Mereka diduga melanggar undang-undang yang melarang hubungan badan antara kulit hitam dan kulit putih. Mereka diadili, tapi kemudian dibebaskan karena kurang bukti. Toh mereka pulang dan bertekad untuk tak mengulangi kesalahan mereka. Seperti dalam sebuah cerita lain, ketika seorang ayah kulit putih membunuh bayinya yang dilahirkan oleh pacarnya yang hitam: ia tak terbukti bersalah, tapi ia ingin mengoreksi diri. Cerita itu memang hanya rekaan Nadine Gordimer dalam kumpulan cerita pendeknya, A Soldier's Embrace. Tapi patologi yang meruyak dalam sukma Afrika Selatan bukan hanya khayalan wanita ini: ketika hukum berjalan sendirian tanpa keadilan, orang-orang pun jadi kehilangan kemampuan untuk bahkan sekadar membayangkan bagaimana keadilan itu laiknya. Justru karena itu Gordimer menulis, sampai belasan buku. Ia melakukan apa yang dikatakan oleh seorang pemimpin Partai Komunis Afrika Selatan yang terbunuh. ayah dalam tokoh utama novel Burger's Daughter: bahwa di rumahnya, "definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial." Dengan suaranya yang garing dan tajam Gordimer pernah mengatakan, "Seni berada di pihak yang tertindas." Kelebihan Nadine Gordimer, ialah bahwa ia bisa membuktikan apa yang dikatakannya, "dalam buku saya, saya tak pernah membiarkan diri saya menulis sebuah propaganda." la punya cukup kehangatan hati dan kekayaan batin untuk memandang hidup dalam pelbagai warna (dan warna memang sangat penting dalam deskripsinya tentang alam dan benda-benda). Juga pelbagai suara dan pelbagai bau. Orang mengagumi karyanya karena ia bisa melukiskan suasana dan lingkungan cerita secara rinci, orisinil, puitis. Ia tak hanya berpusar pada ide. "Saya ... tak bisa membuat sepenuhnya sempurna tokoh-tokoh yang ide politiknya kebetulan sama dengan ide politik saya, dan membuat jadi jahat mereka yang lain." Betapa sukarnya itu terjadi di Afrika Selatan. Di negeri itu, ketika warna kulit orang jadi perkara pokok seluruh kehidupan, setiap gerak kecil, setiap suara lirih yang lain, akan bisa jadi pekik konfrontasi. Novel Burger's Daughter (1979) dilarang beredar oleh pemerintah. Sebelumnya, novel pendeknya, The Late Bourgeois World (1966), telah dibredel. Yang pertama adalah Gordimer yang halus, liris dalam sebuah prosa puisi. Yang kedua, kisah 24 jam dalam kehidupan seorang wanita yang bekas suaminya bunuh diri dengan pelbagai kegiatan revolusioner yang tanpa hasil, tidak dianggap merupakan karya yang hebat. Pemerintah toh tetap takut. Kita tahu bahwa pemerintah yang takut kepada hasil sastra yang bagus ataupun jelek adalah pemerintah yang dirundung ketidakpastian tentang harkatnya sendiri. Baik itu terhadap sebuah karya yang indah dan berkata tulus maupun sesuatu yang norak dan bodoh, sensor adalah seperti membunuh capung dengan melemparkan celana dalam yang kotor: mubazir dan agak memalukan. "Apa pun yang kita tulis dan bagaimanapun 'menghasut' tulisan itu dianggap oleh sensor," kata Gordimer dalam sebuah wawancara tahun 1989, "di Afrika Selatan kita tak akan sampai menjangkau rakyat banyak karena mereka tak akan membacanya." Bila orang putih yang kaya juga lebih banyak menonton TV atau membaca buku komik, dan akhirnya hanya sensor yang sibuk, buat apa Gordimer, dengan tubuhnya yang kecil dan kian uzur, terus menyusun kata dan cerita pada mesin ketik Hermes di rumahnya di Parktown West di Johannesburg? Kesusastraan memang terasa terasing. Namun, Gordimer sendiri, yang dibesarkan dalam keluarga kelas menengah yang tenang dan tak acuh, pada suatu hari membaca novel Upton Sinclair tentang ganasnya hidup buruh daging di Chicago. Ia mendadak terbangun dari "dunia borjuis yang larut" itu. Ia pun tahu di mana ia harus berdiri. Tanpa berpidato, tanpa berteriak, tanpa menjejaljejalkan pendapat. "Ada banyak bentuk perlawanan yang tak dikenal," begitu ia pernah menulis. Kemudian dunia pun membaca. Gordimer memperoleh Hadiah Nobel Kesusastraan 1991 pekan lalu. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus