Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Bagi Penyiksa

Kepala sekolah dasar ternadi (kudus), djuadi &istrinya divonis oleh pengadilan negeri kudus, terbukti telah menyiksa anak kandungnya dengan menyekap di dalam kamar. (hk)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGALAK-GALAK harimau tetap sayang kepada anaknya, apalagi seorang manusia--kata sebuah tamsil. Tetapi yang sebaliknya terjadi juga. Kepala Sekolah Dasar Ternadi, di Kudus (Ja-Teng), Djuadi, terbukti telah menyiksa anak kandungnya sendiri dengan menyekap si anak dalam kamar terkunci selama berbulan-bulan. Akibatnya anak yang malang itu, Heru Purnomo, 14 tahun, menderita sampai kurus kering, tidak bisa bicara dan bergerak. Selasa pekan lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kudus diketuai Hakim Sudjatman menjatuhkan hukuman masing-masing 6 bulan kepada Djuadi, 2 tahun, dan Kasmirah, 30 tahun, ibu tiri Heru. Kedua suami istri itu tidak dipersalahkan karena menyekap Heru, melainkan karena sengaja tidak merawat dan memberi makan anak itu selama dalam sekapan sehingga menderita (Pasal 304 KUHP). Kejadiannya bermula, ketika Heru menderita sakit panas di rumah orangtuanya di Gondosari, Gebok, Kudus, Januari - lalu. Djuadi membawa anaknya itu ke Puskesmas Gribig. Dokter Aris Munandar yang memeriksa Heru menyimpulkan, anak itu menderita pra tipus dan menyarankan untuk diopname. Djuadi setuju. Tapi baru 4 hari anak itu dirawat, Djuadi datang menjemput. Dokter yang merawat tidak memperkenankan anak itu dibawa karena belum sembuh. Tapi Djuadi bersikeras memaksakan kehendaknya. Akhirnya Heru dibawa pulang. Di rumah orangtuanya, Heru tidak dirawat semestinya. Penyakitnya malah semakin menjadi. Seperti layaknya orang terserang penyakit begitu, Heru tidak suka pakai baju karena panas dan mengigau. Djuadi dan istrinya justru tidak pernah lagi meminta bantuan dokter. Mereka berkesimpulan, Heru sakit gila. Setelah itu Heru dimasukkan ke kamar dan dikunci dari luar oleh orangtuanya. Ia tidur di atas dipan bambu tanpa kasur. Sekali sehari Heru diberi makan. Penyiksaan itu berjalan hampir tiga bulan. Bahkan menurut saksi, Sumiyati, seorang tetangga Djuadi, anak itu sering dipukuli orangtuanya. Sumiyati begitu juga Mansur, wali kelas Heru di sekolahnya yang juga pernah membesuk muridnya itu, berkesimpulan, Heru tidak menderita kelainan jiwa. Guru itu prihatin melihat nasib Heru saat itu, "kedua kakinya dipasung dengan kayu pohon randu," ujar Mansur. Di persidangan Heru malah mengatakan pernah diberi makanan oleh orangtuanya dengan sayur yang dicampuri kotoran manusia. Pengakuan anak ini dibenarkan pula oleh Karsih, adik Djuadi, yang pernah secara diam-diam menjenguk keponakannya itu. Tapi keterangan ini dibantah Djuadi dan Kasmirah. Benarkah Heru menderita kelunan jiwa? Sebelum dibawa ke Puskesmas, Heru pernah diperiksa di Rumah Sakit Jiwa Semarang. Dokter Mujiono yang memeriksa anak itu memastikan Heru sehat. Begitu juga seorang dukun, Suhari yang pernah diminta Djuadi mengobati anaknya itu. Namun rupanya Duadi dan Kasmirah tidak mau percaya. Anak itu disekapnya. Penyiksaan itu baru berakhir ketika nenek Heru, Kasirah, datang ke Desa Gebog, 14 April, karena kangen pada cucunya itu. Ia kaget ketika Djuadi memberitahukan keadaan cucunya itu. Seizin Djuadi, Heru dibawa Kasirah ke rumahnya di Desa Kelet, Kabupaten Jepara. Nenek itu membawa cucunya ke RS Suwondo, Pati. Dalam perawatan dr. Sujito, Heru yang disimpulkan menderita kekurangan gizi, protein dan kalori itu berhasil disembuhkan. Ia pun melanjutkan sekolahnya di kelas II SMP Muhammadiyah Kelet. Anak itu selalu mengikuti persidangan yang mengadili orangtuanya. Ketika hakim menjatuhkan hukuman kepada ayah dan ibu tirinya itu, Heru tertawa kecil. "Saya tidak menyesal ayah dan ibu tiri saya dihukum. Biar mereka tahu rasanya mendetita," kata Heru kepada TEMPO . Ayah Heru, Djuadi, dan ibu tirinya, Kasmirah, selesai persidangan berusaha menutupi wajahnya karena malu dilihat pengunjung yang selalu membanjiri persidangan. "Harapan saya ingin tetap bekerja sebagai guru dan kalau dapat tidak diberhentikan jadi kepala sekolah," kata Djuadi yang datang ke pengadilan dengan setelan safari. Ia merasa diasingkan oleh tetangga, - keluarga dan teman-temannya setelah kejadian itu. Ketika tuntutan dibacakan Jaksa Kamarudin, yaitu 4 bulan penjara, pengunjung sidang Npanya tidak puas. Djuadi diserbu masa begitu sidang selesai. Ia sempat dilempari batu oleh pengunjung di halaman pengadilan. Sebab itu ketika keputusan dibacakan hakim, pengawalan dari polisi diperketat di ruangan sidang. "Tapi yang lebih menyakitkan, anak saya sendiri sekarang tidak peduli dan tidak mau datang ke rumah," ujar Djuadi. Selain Heru, ia mempunyai seorang anak lagi, Dwi Pujiharjo (kakak Heru), yang sudah lebih dulu tinggal bersama neneknya. "Putusan hukuman penjara ini bukan balasan dari rasa dendam dan bukan pula untuk memberikan kepuasan kepada orang-orang tertentu," kata Ketua Majelis, Sudjatman mengawali putusannya yang rupanya tertuju pada protes beberapa orang pengunjung sidang. "Tapi untuk perhatian orangtua agar mendalami arti tanggung jawab dan kasih sayang terhadap anak," tambah Hakim Sudjatman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus