SEGALAK-GALAK harimau tetap sayang kepada anaknya, apalagi
seorang manusia--kata sebuah tamsil. Tetapi yang sebaliknya
terjadi juga. Kepala Sekolah Dasar Ternadi, di Kudus
(Ja-Teng), Djuadi, terbukti telah menyiksa anak kandungnya
sendiri dengan menyekap si anak dalam kamar terkunci selama
berbulan-bulan. Akibatnya anak yang malang itu, Heru Purnomo,
14 tahun, menderita sampai kurus kering, tidak bisa bicara dan
bergerak.
Selasa pekan lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kudus
diketuai Hakim Sudjatman menjatuhkan hukuman masing-masing 6
bulan kepada Djuadi, 2 tahun, dan Kasmirah, 30 tahun, ibu tiri
Heru. Kedua suami istri itu tidak dipersalahkan karena menyekap
Heru, melainkan karena sengaja tidak merawat dan memberi makan
anak itu selama dalam sekapan sehingga menderita (Pasal 304
KUHP).
Kejadiannya bermula, ketika Heru menderita sakit panas di rumah
orangtuanya di Gondosari, Gebok, Kudus, Januari - lalu. Djuadi
membawa anaknya itu ke Puskesmas Gribig. Dokter Aris Munandar
yang memeriksa Heru menyimpulkan, anak itu menderita pra tipus
dan menyarankan untuk diopname. Djuadi setuju. Tapi baru 4 hari
anak itu dirawat, Djuadi datang menjemput. Dokter yang merawat
tidak memperkenankan anak itu dibawa karena belum sembuh. Tapi
Djuadi bersikeras memaksakan kehendaknya. Akhirnya Heru dibawa
pulang.
Di rumah orangtuanya, Heru tidak dirawat semestinya. Penyakitnya
malah semakin menjadi. Seperti layaknya orang terserang penyakit
begitu, Heru tidak suka pakai baju karena panas dan mengigau.
Djuadi dan istrinya justru tidak pernah lagi meminta bantuan
dokter. Mereka berkesimpulan, Heru sakit gila.
Setelah itu Heru dimasukkan ke kamar dan dikunci dari luar oleh
orangtuanya. Ia tidur di atas dipan bambu tanpa kasur. Sekali
sehari Heru diberi makan. Penyiksaan itu berjalan hampir tiga
bulan. Bahkan menurut saksi, Sumiyati, seorang tetangga Djuadi,
anak itu sering dipukuli orangtuanya. Sumiyati begitu juga
Mansur, wali kelas Heru di sekolahnya yang juga pernah membesuk
muridnya itu, berkesimpulan, Heru tidak menderita kelainan jiwa.
Guru itu prihatin melihat nasib Heru saat itu, "kedua kakinya
dipasung dengan kayu pohon randu," ujar Mansur.
Di persidangan Heru malah mengatakan pernah diberi makanan oleh
orangtuanya dengan sayur yang dicampuri kotoran manusia.
Pengakuan anak ini dibenarkan pula oleh Karsih, adik Djuadi,
yang pernah secara diam-diam menjenguk keponakannya itu. Tapi
keterangan ini dibantah Djuadi dan Kasmirah.
Benarkah Heru menderita kelunan jiwa? Sebelum dibawa ke
Puskesmas, Heru pernah diperiksa di Rumah Sakit Jiwa Semarang.
Dokter Mujiono yang memeriksa anak itu memastikan Heru sehat.
Begitu juga seorang dukun, Suhari yang pernah diminta Djuadi
mengobati anaknya itu.
Namun rupanya Duadi dan Kasmirah tidak mau percaya. Anak itu
disekapnya. Penyiksaan itu baru berakhir ketika nenek Heru,
Kasirah, datang ke Desa Gebog, 14 April, karena kangen pada
cucunya itu. Ia kaget ketika Djuadi memberitahukan keadaan
cucunya itu.
Seizin Djuadi, Heru dibawa Kasirah ke rumahnya di Desa Kelet,
Kabupaten Jepara. Nenek itu membawa cucunya ke RS Suwondo, Pati.
Dalam perawatan dr. Sujito, Heru yang disimpulkan menderita
kekurangan gizi, protein dan kalori itu berhasil disembuhkan. Ia
pun melanjutkan sekolahnya di kelas II SMP Muhammadiyah Kelet.
Anak itu selalu mengikuti persidangan yang mengadili
orangtuanya. Ketika hakim menjatuhkan hukuman kepada ayah dan
ibu tirinya itu, Heru tertawa kecil. "Saya tidak menyesal ayah
dan ibu tiri saya dihukum. Biar mereka tahu rasanya mendetita,"
kata Heru kepada TEMPO .
Ayah Heru, Djuadi, dan ibu tirinya, Kasmirah, selesai
persidangan berusaha menutupi wajahnya karena malu dilihat
pengunjung yang selalu membanjiri persidangan. "Harapan saya
ingin tetap bekerja sebagai guru dan kalau dapat tidak
diberhentikan jadi kepala sekolah," kata Djuadi yang datang ke
pengadilan dengan setelan safari. Ia merasa diasingkan oleh
tetangga, - keluarga dan teman-temannya setelah kejadian itu.
Ketika tuntutan dibacakan Jaksa Kamarudin, yaitu 4 bulan
penjara, pengunjung sidang Npanya tidak puas. Djuadi diserbu
masa begitu sidang selesai. Ia sempat dilempari batu oleh
pengunjung di halaman pengadilan. Sebab itu ketika keputusan
dibacakan hakim, pengawalan dari polisi diperketat di ruangan
sidang. "Tapi yang lebih menyakitkan, anak saya sendiri sekarang
tidak peduli dan tidak mau datang ke rumah," ujar Djuadi. Selain
Heru, ia mempunyai seorang anak lagi, Dwi Pujiharjo (kakak
Heru), yang sudah lebih dulu tinggal bersama neneknya.
"Putusan hukuman penjara ini bukan balasan dari rasa dendam dan
bukan pula untuk memberikan kepuasan kepada orang-orang
tertentu," kata Ketua Majelis, Sudjatman mengawali putusannya
yang rupanya tertuju pada protes beberapa orang pengunjung
sidang. "Tapi untuk perhatian orangtua agar mendalami arti
tanggung jawab dan kasih sayang terhadap anak," tambah Hakim
Sudjatman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini