Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dari qur'an dan imam-imam

Ayat al hujurat 13 dan ayat an nur 31, mengenai kerudung dibawakan oleh pak guru wahono yang wakil ketua dan sekretaris umum dari 2 yayasan pesantren di bandung dan purwakarta. (ag)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AYAT-AYAT yang dibawakan Pak Guru Jargono (yang juga Wakil Ketua dan Sekretaris Umum dua buah yayasan pesantren kecil di Bam dung dan Purwakarta, keduanya dibina MDI-Golkar) memang benar untuk pembicaraan bab aurat. Minus, tentu saja, ayat yang dipakainya untuk soal -"pakaian Indonesia." Ayat itu adalah Al Hujurat 13, yang antara lain menyebutkan: "dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berpuak-puak agar saling mengenal." Ini diartikannya sebagai peneguhan Allah atas ciri-ciri setiap bangsa--termasuk pakaian. Dan 'ciri Indonesia' dalam pakaiar disebutnya berkain kebaya, berselendang, "tidak berkudung"-- meskipun, seperti dikatakannya kepada TEMPO pakaian Indonesia disekolahnya memang hanya dipakai setahun sekali, di Hari Kartini. Ayat kedua adalah An-lyur 31: " . . . Dan janganlah mereka- menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak, dan hendaklah mereka melebarkan kerudung mereka sampai ke dada . . . " Pak Guru mengartikan 'perhiasan' itu mencakup tidak hanya barang, tapi juga tubuh itu sendiri: dada, rambut, leher . . . Bahwa seorang-muslimat baru menutupnya, berarti "menjaga agar aman, merawat secara fisik supaya ber sih, sehat dan indah, merawat secara mental supaya tidak sombong" Lalu "ada aurat yang boleh tampak hanya oleh suaminya saja," seperti disebut bagian berikutnya, ada yang boleh untuk umum. Rambut misalnya, bagi bangsa Indonesia sudah umum. Dengan kata lain, yang disebut 'yang biasatampak'- itu tak lain "yang biasa tampak di mana Islam itu berkembang", dan bukan di tempat Islam berasal. Agama boleh sama, tapi "tidak ada penjajahan-kepribadian (bangsa) melalui agama." Menjadi serius. Lebih-lebih ketika Pak Guru yang lulusan Sekolah Tinggi Olahraga 1967 itu mengutip Al Ahzab 59, yang menyebut "hendaklah mereka menutup tubuh dengan jilbab mereka." Wargono mengingatkan, yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang menutup semuanya, termasuk muka. Dan ia menunjuk terjemah Quran Departemen Agama. Sehinga, kalau mau dilaksanakan secara harfiah, tentunya cadar harus dipakai. Memang agak membingungkan: sementara di Indonesia tidak pernah dikenal pemakaian cadar, oleh muslimin golongan apa pun, ternyata bukan hanya terjemah Departemen 'Agama, yang mengartikan jilbab secara begitu. Juga misalnya terjemah Quran bahasa Jawa oleh K.H.R. Prof. Muhammad Adnan. Bahkan H.B. Jassin dalam Bacaan Mulianya. Dan semuanya tanpa penjelasan. Padahal yang dipakai di Indonesia' umumnya fiqh Syafi'i, yang di dalarn menentukan aurat wanita (bagian tubuh yang harus ditutup) tidak memasukkan muka dan kedua tapak tangan. Malah kalau mau dilihat flqh perbandingan antar-mazhab, bisa diambil contoh dengan Imam Hanafi yang memberi batasan aurat wanita secara unik: dengan menginat kepraktisan baju kerja mereka. Wanita petani akan membuka betisnya ketika bekerja di sawah. Selang wanita penebang kayu, misalnya, akan membuka lengannya lebih tinggi. Tiga mazhab yang lain sebaliknya melihatnya dari sudut tempat perhiasan RambuL leher, dada, misalnya,sebaga tempat perhiasan, ditutup Adapun cadar, itu memang tradisi Arab. "Sebenarnya masalah aurat dalam Islam banyak tasamuh (toleransi)-nya" kata Prof. K.H. Ibrahiln Hosen L.M.L. Ketua Komisi Fatwa MU Indonesia Malah Guru Besar Fiqh Perbandingan di IAIN Jakarta itu (yang tidak mengar tikan jilbab sebagai pakaian yang menutup muka menyatakan bahwa dari Al Ahzab 59 itu justru diketahui 'illat (motif) ketentuan itu. Yakni agar para muslimat "dikenal, dan tidak diganggu". "Pakaian itu juga tergantung situasinya, atau adat setempat." Sebab adat itu menjadi bahan pertimbangan hukum (al-'adab mubakkamah), kata satu kaidah Ilmu Fiqh. Dan bila demikian, bukankah pendapat Wargono, dari segi ini, cocok? Lagi pula, bila pakaian olahraga mau ditemukan seperti treiningpak plus kudung itu, bagaimana bila olahraga itu berenang? Tapi Miftah Faridl punya jawabnya. MU, katanya, sudah berulang kali menghimbau agar jam pelajaran renang ditentukan sendiriendiri untuk putra dan putri. "Adapun tidak dilaksanakan, itu urusan mereka. Sedang mengenai aurat keseluruhan, dikatakannya MU -- d i mana-mana--sebenarnya tidak pernah mewajibkan berkudung "janganjangan malah menimbulkan hipokrasi," kata sarjana IAIN Yogya itu. "Tapi kalau kesadaran itu tumbuh sendii dari bawah. mengapa tidak dipupuk? Lagi pula, seperti dikatakan Muttaqin dalam suratnya kepada Kanwil P & K Jawa Barab Agustus lalu (dan sampai kini tidak berjawab), kenyataan di masyarakat tetap menunjukkan terdapatnya keyakinan agama yang secara mutlak memandang aurat wanita sebagai 'seluruh tubuh minus muka dan telapak tangan.' Setidak-tidaknya, tentunya, mereka yang memakai langsung Quran dan Hadis dan bukan kesimpulan para imam. Belum lagi mereka yang mewajibkan kudung sebagai sarana yang terbukti efektif buat pendidikan moral. Kata Muttaqin, akhirnya: "Sekali kita tidak bisa menghargai keyakinan hidup orang lain, itu akan berakibat jauh."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus