AYAT-AYAT yang dibawakan Pak Guru Jargono (yang juga Wakil Ketua
dan Sekretaris Umum dua buah yayasan pesantren kecil di Bam dung
dan Purwakarta, keduanya dibina MDI-Golkar) memang benar untuk
pembicaraan bab aurat. Minus, tentu saja, ayat yang dipakainya
untuk soal -"pakaian Indonesia."
Ayat itu adalah Al Hujurat 13, yang antara lain menyebutkan:
"dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berpuak-puak agar
saling mengenal." Ini diartikannya sebagai peneguhan Allah atas
ciri-ciri setiap bangsa--termasuk pakaian. Dan 'ciri Indonesia'
dalam pakaiar disebutnya berkain kebaya, berselendang, "tidak
berkudung"-- meskipun, seperti dikatakannya kepada TEMPO
pakaian Indonesia disekolahnya memang hanya dipakai setahun
sekali, di Hari Kartini.
Ayat kedua adalah An-lyur 31: " . . . Dan janganlah mereka-
menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak, dan
hendaklah mereka melebarkan kerudung mereka sampai ke dada . .
. " Pak Guru mengartikan 'perhiasan' itu mencakup tidak hanya
barang, tapi juga tubuh itu sendiri: dada, rambut, leher . . .
Bahwa seorang-muslimat baru menutupnya, berarti "menjaga agar
aman, merawat secara fisik supaya ber sih, sehat dan indah,
merawat secara mental supaya tidak sombong"
Lalu "ada aurat yang boleh tampak hanya oleh suaminya saja,"
seperti disebut bagian berikutnya, ada yang boleh untuk umum.
Rambut misalnya, bagi bangsa Indonesia sudah umum. Dengan kata
lain, yang disebut 'yang biasatampak'- itu tak lain "yang biasa
tampak di mana Islam itu berkembang", dan bukan di tempat Islam
berasal. Agama boleh sama, tapi "tidak ada
penjajahan-kepribadian (bangsa) melalui agama."
Menjadi serius. Lebih-lebih ketika Pak Guru yang lulusan Sekolah
Tinggi Olahraga 1967 itu mengutip Al Ahzab 59, yang menyebut
"hendaklah mereka menutup tubuh dengan jilbab mereka." Wargono
mengingatkan, yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang menutup
semuanya, termasuk muka. Dan ia menunjuk terjemah Quran
Departemen Agama. Sehinga, kalau mau dilaksanakan secara
harfiah, tentunya cadar harus dipakai.
Memang agak membingungkan: sementara di Indonesia tidak pernah
dikenal pemakaian cadar, oleh muslimin golongan apa pun,
ternyata bukan hanya terjemah Departemen 'Agama, yang
mengartikan jilbab secara begitu. Juga misalnya terjemah Quran
bahasa Jawa oleh K.H.R. Prof. Muhammad Adnan. Bahkan H.B. Jassin
dalam Bacaan Mulianya. Dan semuanya tanpa penjelasan. Padahal
yang dipakai di Indonesia' umumnya fiqh Syafi'i, yang di dalarn
menentukan aurat wanita (bagian tubuh yang harus ditutup) tidak
memasukkan muka dan kedua tapak tangan.
Malah kalau mau dilihat flqh perbandingan antar-mazhab, bisa
diambil contoh dengan Imam Hanafi yang memberi batasan aurat
wanita secara unik: dengan menginat kepraktisan baju kerja
mereka. Wanita petani akan membuka betisnya ketika bekerja di
sawah. Selang wanita penebang kayu, misalnya, akan membuka
lengannya lebih tinggi. Tiga mazhab yang lain sebaliknya
melihatnya dari sudut tempat perhiasan RambuL leher, dada,
misalnya,sebaga tempat perhiasan, ditutup Adapun cadar, itu
memang tradisi Arab.
"Sebenarnya masalah aurat dalam Islam banyak tasamuh
(toleransi)-nya" kata Prof. K.H. Ibrahiln Hosen L.M.L. Ketua
Komisi Fatwa MU Indonesia Malah Guru Besar Fiqh Perbandingan di
IAIN Jakarta itu (yang tidak mengar tikan jilbab sebagai
pakaian yang menutup muka menyatakan bahwa dari Al Ahzab 59
itu justru diketahui 'illat (motif) ketentuan itu. Yakni agar
para muslimat "dikenal, dan tidak diganggu".
"Pakaian itu juga tergantung situasinya, atau adat setempat."
Sebab adat itu menjadi bahan pertimbangan hukum (al-'adab
mubakkamah), kata satu kaidah Ilmu Fiqh. Dan bila demikian,
bukankah pendapat Wargono, dari segi ini, cocok? Lagi pula, bila
pakaian olahraga mau ditemukan seperti treiningpak plus kudung
itu, bagaimana bila olahraga itu berenang?
Tapi Miftah Faridl punya jawabnya. MU, katanya, sudah berulang
kali menghimbau agar jam pelajaran renang ditentukan
sendiriendiri untuk putra dan putri. "Adapun tidak
dilaksanakan, itu urusan mereka. Sedang mengenai aurat
keseluruhan, dikatakannya MU -- d i mana-mana--sebenarnya tidak
pernah mewajibkan berkudung "janganjangan malah menimbulkan
hipokrasi," kata sarjana IAIN Yogya itu. "Tapi kalau kesadaran
itu tumbuh sendii dari bawah. mengapa tidak dipupuk?
Lagi pula, seperti dikatakan Muttaqin dalam suratnya kepada
Kanwil P & K Jawa Barab Agustus lalu (dan sampai kini tidak
berjawab), kenyataan di masyarakat tetap menunjukkan terdapatnya
keyakinan agama yang secara mutlak memandang aurat wanita
sebagai 'seluruh tubuh minus muka dan telapak tangan.'
Setidak-tidaknya, tentunya, mereka yang memakai langsung Quran
dan Hadis dan bukan kesimpulan para imam. Belum lagi mereka yang
mewajibkan kudung sebagai sarana yang terbukti efektif buat
pendidikan moral.
Kata Muttaqin, akhirnya: "Sekali kita tidak bisa menghargai
keyakinan hidup orang lain, itu akan berakibat jauh."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini