AGAKNYA ini untuk pertama kali ada orang yang menyatakan
keyakinan, "Islam tidak menentukan cara berpakaian. Keyakinan
itu menjadi resmi karena disodorkan kepada Majelis Ulama sebuah
kotamadya -- Bandung -- pertengahan November lalu. Termuat dalam
surat setebal 11 folio ketik, penuh kutipan ayat, dan sampai
pekan lalu belum dijawab.
Ceritanya, sejumlah siswa putri SMA Negeri 3 Bandung masuk
sekolah dengan berkudung. Itu belum apa-apa. Pada waktu
olahraga, nah, timbullah kesulitan. Pak Guru, Wargono namanya,
mewajibkan semua siswa putri memakai celana pendek (hotpant).
Murid-murid yang berkudung itu, delapan orang jumlahnya,
menolak, tentu saja. Selama ini mereka memakai treining pak,
plus kudung. Wargono berkeras: yang tidak patuh peraturan tak
usah ikut olahraga. Jadi mereka tak ikut. Lalu Pak Guru
menyatakan, dalam rapot mereka kolom olahraga akan diberi angka
merah: 2.
Tentu saja mereka gelisah. Lalu Majelis Ulama Kotamadya, yang
rupanya juga menjadi tempat mereka mengadu, mengirim surat
kepada Pak Guru, awal Agustus lalu. Isinya: menyambut baik
semangat keagamaan para siswa/siswi SMAN 3 Bandung, dan "memohon
dengan hormat kepada Bapak, Ibu, kiranya dapat memberi izin... "
Empat bulan berlalu, surat itu tak berjawab. Tahu-tahunya,
datang surat Wargono itu. Dengan nada marah, ia pertama
mengingatkan, anak-anak yang berkudung itu telah melanggar
janji. Yang dimaksudkannya: pernyataan tertulis yang mereka
tandatangani sendiri bersama orangtua, bahwa mereka akan patuh
kepada semua peraturan sekolah.
Lalu dikemukakannya ayat-ayat Quran. Sebaliknya menurut Miftah
Faridl, Ketua MU, melanggar janji dalam hal yang diyakini tidak
sesuai dengan agama malah dianjurkan. Toh "dalam janji itu tidak
disebutkan bahwa mereka tidak akan memakai kudung dan akan
memakai hotpant".
Tapi yang menarik sebenarnya bagaimana guru ini menafsirkan
ayat-ayat Quran yang seperti dikatakannya kepada TEMPO,
dipelajarinya untuk bisa melayani protes anak-anak itu (lihat
box). Padahal perbandingan bisa dilihat di sekolah lain, SPG
Negeri misalnya. Di sana anak yang berkudung tenang-tenang saja.
Dulu kepala sekolahnya, yang taat beribadat, memang pernah
mengelompokkan anak-anak yang berkudung ke dalam kelas
tersendiri, entah mengapa. Tapi anak-anak itu menolak dipisahkan
begitu. Sampai KH E.Z. Muttaqin, Ketua MU Ja-Bar (dan sekarang
MUI) ikut-ikut turun tangan, dan pemisahan dibatalkan. Itu tahun
1979.
Yang juga mengherankan sebenarnya ialah, mengapa Wargono baru di
tahun ajaran ini mengharuskan memakai hotpant dalam olahraga,
dan kemudian mengecam anak-anak berkudung itu sebagai "melawan
tata tertib sekolah" dan "mendirikan sekolah dalam sekolah ."
Padahal sudah sejak 1978/197S) terdapat anak berkudung di situ
-- waktu itu enam orang. Tahun depannya naik menjadi 12 orang.
(Di ITB, tahun 1977 cuma seorang. Tahun ini sekitar 50).
Padahal anak-anak itu tetap mengenakan seragam, tepat seperti
yang ditentukan Dir-Jen PDM 18 Maret 1982. Hanya saja ditambah
kudung dan kaus kaki panjang. Akan hal pakaian olahraga malah
belum ada ketentuan. Dan kudung maupun treiningpak itu ternyata
tidak mengganggu. "Apa salahnya7", kata seorang pengurus
organisasi siswa sekolah itu. OSIS malah, menurut dia akan
memasalahkan sikap Pak Guru itu bila terus-menerus memaksa
kawan-kawannya perempuan yang berkudung.
Apalagi anak-anak berkudung ini diakui berprestasi baik. Bisa
dipaham: anak yang mau berkudung, setidak-tidaknya di Bandung
itu, adalah yang telah dengan sadar memilih. Artinya, ia
berkepribadian. "Berkudung itu berat," kau Miftah. Dan mereka
tentu saja ter dorong untuk lebih berdisiplin: meninggalkan
segala hiburan tak sehat, apalagi maksiat, untuk belajar. Karena
itulah, seperti dikatakan Muttaqin, dengan membiarkan mereka
berkudung saja sebenarnya "tugas uru dalam menjaga moral
anak-anak sudah banyak dibantu". Kok malah dipersulit.
Bisa dipaham bila Muttaqin, ketika mendengar soal nilai 2 itu,
berkomentar: "Itu tindakan zhalim. Sudah bukan pendidikan lagi
kalau begitu". Sebab bagaimana murid bisa naik kelas dengan
angka 2?
Tapi memang, dalam suratny kepada MU Bandung Wargono sudah
beberapa kali menyindir mereka yang sedih mau taat kepada
peraturan sekolah sebaiknya pindah saja ke sekolah yang cocok.
Sebelum SMAN 3 tergolong favorit. Dan sikap itu rupanya direstui
Kepala Sekolah Mulyadi. "Bila ada siswa atau orangtua siswa
yang tidak puas terhadap peraturan di SMAN 3, silahn naik
banding ke Kanwil P & K Jawa Barat," katanya kepada TEMPO. "Di
sini tidak memberi dispensasi". Dan di pihak Kanwil, berkata
Sutia, Kepala Bidang Pembinaan Generasi Muda: 'Walaupun pakaian
olahraga belum diatur secara nasional, bila sebuah sekolah sudah
menentukan begitu, tidak ada jalan lain".
Aziz M.S., 50 tahun, ayah seorang anak yang berkudung itu,
sebaliknya malah menghidupkan semangat putrinya. Sebab, ia
merasa, setelah sang anak berkudung, "rasanya ada perubahan
suasana di rumah. Rasanya menjadi lebih damai. Ia menjadi sangat
baik, dan memperhatikan adik-adiknya. Bagaimana sampai anak
begitu tidak boleh ikut olahraga?" Karena itu ia memang akan
membicarakannya ke Kanwil. "Bila tidak selesai juga di sini,
akan saya ajukan ke pengadilan. Ini pelanggaran hak asasi dalam
hal agama".
Siapa tahu ia berhasil. Siapa tahu pula, malah bapak-bapak itu
pada naik pangkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini