Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Banci untuk Nurdin

Dakwaan Nurdin Halid dikembalikan hakim ke jaksa. Tanda tangan saksi diduga dipalsukan polisi.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Vonis Banci untuk Nurdin
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Suasana di dalam ruang sidang itu sontak berubah menjadi seperti di lapangan bola, ketika puluhan pendukung Nurdin Halid bersorak-sorai berkali-kali mendengar putusan akhir majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, pekan lalu. ”Allahu Akbar, hidup Nurdin, hidup Nurdin Halid!”

Tak mau kalah dengan pendukungnya, Nurdin, 57, pun beraksi. Begitu palu hakim diketuk, ia mengangkat kedua tangannya dan mengusapkan ke wajahnya. Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia ini lantas bersimpuh di depan meja hakim dan bersujud. Istri dan keluarganya menangis haru. Mereka saling berpelukan dan mengerumuni Nurdin setelah pria itu selesai sujud. ”Alhamdulillah, apa yang saya harapkan tercapai,” ujar bapak lima anak ini, gembira.

Rupanya, pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, ini berpikir hakim membebaskan dia. Sebab, ia lantas mengeluarkan gertakan. ”Saya akan menuntut orang-orang yang melaporkan saya,” katanya. Ia pun menyebut sejumlah nama, di antaranya mantan Menteri Perdagangan Rini Soewandi.

Mimpi Nurdin rupanya betul-betul kepagian. Padahal sebenarnya hakim tak memberinya putusan bebas. Amar putusan majelis hakim, yang diketuai Humuntal Pane, menyatakan menolak dakwaan jaksa karena memiliki cacat formal, yakni paraf palsu 19 saksi dari 25 saksi yang diberkas.

Dari pemeriksaan sidang, terungkap paraf para saksi yang tertera di halaman satu berkas berita acara pemeriksaan (BAP) mereka bukanlah paraf asli. Paraf itu tidak identik dengan halaman berikutnya di dalam BAP. Ini jelas melanggar syarat formal berkas pemeriksaan.

Terkuak juga bahwa BAP saksi sebenarnya bukan dibuat untuk perkara Direktur PT Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) itu, melainkan kesaksian untuk perkara Waris Halid, saudara kandung Nurdin. Keduanya memang terseret kasus yang sama, yakni penyelundupan gula 72,4 ribu metrik ton dari Thailand. Modusnya, memanipulasi kerja sama antara Inkud dan PT Perkebunan Negara X.

Menurut jaksa Susanto, penuntut umum tak tahu bahwa paraf saksi ternyata palsu. ”Kita terimanya dari polisi,” katanya. Rupanya, karena percaya adanya ”jaminan asli” dari polisi, berkas Ketua Inkud ini pun dinyatakan lengkap. Sidang majelis perkara di PN Jakarta Utara ternyata ”menampar muka” jaksa.

Karena dakwaan tidak diterima, Nurdin sementara memang bisa bernapas lega karena ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta tak bakal menimpanya. Juga sanksi untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 3,41 miliar. Dengan putusan itu, dakwaan menjadi kembali ke meja jaksa.

Dalam praktek hukum, putusan sejenis ini jamak dikenal sebagai NO (niet onvantkelijk verklaring—Red) atau tuntutan jaksa tidak dapat diterima. Penolakan hakim atas tuntutan jaksa itu biasanya disebabkan tidak terpenuhinya syarat formal dakwaan. Putusan NO itu bukan berarti Nurdin bebas alias pidananya ditiadakan, melainkan hanya penuntutan yang tidak diterima. Terdakwa bisa dituntut kembali jika dakwaan itu diperbaiki.

Putusan NO ini juga kerap diolok-olok para pengacara sebagai vonis banci, lantaran—ibarat pertandingan bola yang sudah berjalan—tidak diakui. Posisinya kembali nol-nol seperti sebelum pertandingan. Jadi, kedua kesebelasan harus bertanding ulang lagi. Ini juga jadi ejekan sebagai kiat kuno bagi hakim yang cari aman, dengan tidak mengutak-atik substansi perkara. Bisa saja ini indikasi suap atau kongkalikong.

Yang sudah jelas, jaksa seyogianya juga harus cepat-cepat mengembalikan Nurdin ke kursi terdakwa, karena ia bisa bebas betulan bila hak menuntut kembali tidak digunakan sampai batas waktu daluwarsa (verjaring). Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, daluwarsa penuntutan tidak disebutkan secara jelas. Menurut Pasal 25 undang-undang tersebut, penuntutan terhadap kasus korupsi harus dilakukan oleh kejaksaan ”secepatnya”.

Sepertinya, hal itu juga yang akan dilakukan oleh kejaksaan. Mereka sedang mengkaji apakah akan melakukan verset (perlawanan) ke pengadilan tinggi atau penyidikan ulang. ”Kita sedang mempertimbangkan apakah akan men-challenge putusan atau periksa ulang semua,” kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Kedua opsi itu akan dilakukan sembari berlomba dengan waktu.

Arman—panggilan akrab Abdul Rahman—mengakui bahwa hasil pemeriksaan sejumlah saksi yang dikatakan palsu itu adalah hasil pemeriksaan penyidik kepolisian. Semula ia mempercayai hasil pemeriksaan itu. ”Karena polisi bilang asli, ya, kita katakan asli juga,” katanya.

Penyidik Nurdin adalah DirektoratEkonomi Khusus II Badan Reserse dan Kriminal Polri. Mantan anggota Fraksi Partai Golongan Karya di DPR itu diperiksa sebagai saksi tanggal 16 Juli 2004. Hari itu juga ia ditahan dan dinyatakan naik status jadi tersangka. Saat itu pejabat Direktur Eksus adalah Brigjen (Pol.) Samuel Ismoko, dan Kepala Bareskrim dijabat Komjen Suyitno Landung. Kedua orang itu kini berstatus tersangka dalam kasus suap kasus BNI yang merugikan negara Rp 1,3 triliun.

Kasus Nurdin dan Waris Halid memang saling bertumpuk. Waris ditahan sejak Juni 2004 dan divonis satu setengah tahun penjara Mei 2005 dalam kasus pelanggaran kepabeanan. Sebulan kemudian, ia divonis bebas dari dakwaan korupsi dalam kasus yang sama karena nebis in idem. Berkas palsu saksi Nurdin umumnya bertanggal Juni 2004. Para saksi itu mengaku di persidangan, mereka baru diperiksa dalam rentang Agustus-September 2004. Itu pun untuk kasus Waris Halid, yang menjabat Kepala Divisi Perdagangan PT Inkud.

Namun, Arman mencoba masih bersangka baik pada koleganya di polisi. ”Putusan hakim soal tanda tangan palsu saksi bila perlu diperiksa di laboratorium kriminal,” katanya. Ini untuk mencegah agar tidak ada saling menyalahkan antara polisi dan jaksa. ”Kita perlakukan kesaksian palsu itu sebagai dugaan dulu,” ujarnya tegas. Arman boleh saja bersangka baik. Namun, ngotot akan bukti yang sudah terungkap bernilai salah di persidangan bakal repot juga.

Arif A. Kuswardono, Andri Setiawan, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus