Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Potret Negeri Penuh Luka

Film dokumenter bertema hak asasi versi negeri tamu jadi isu sensitif dalam Jakarta International Film Festival (Jiffest). Dianggap mengganggu rekonsiliasi dan membuka aib sepihak.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia perfilman mulai memasuki era mimpi buruk. Acara larang-melarang sudah dimulai, mengingatkan kita ke masa Orde Baru.

Jakarta International Film Festival (Jiffest) mengalami penyunatan pemutaran itu. Syahdan, Lynn Lee dan Leong yang memproduksi film dokumenter tentang sebuah desa bernama Passabe di wilayah mantan anak negeri, Timor Leste, tak mengantongi izin lembaga sensor film (LSF) untuk ditayangkan di acara Jiffest. Pemberitahuan itu terjadi dua jam sebelum naik layar membuatnya kecewa.  

Karya berdurasi 108 menit itu merekam potret kehidupan para milisi eks Timor yang inspirasinya diawali ketika Lynn jadi staf PBB, setahun setelah jajak pendapat pada 1999. ”Bahkan kami tidak menggunakan narasi atau voice over untuk menghilangkan kesan subyektif,” kata Lee, lemas. 

Film lain dengan topik Timor Leste bernasib sama. Karya animasi bisu, cuma 12 menit karya Vitor Lopes Timor Loro Sae (Portugal) dan Jan van den Berg berjudul Tales of Crocodile dari Belanda juga dilarang muncul.  

Kreativitas personal Lopes dan kesaksian Henk Rumbewas, relawan penerjemah PBB yang menyimak kasus teror semasa Timor meraih kemerdekaan itu dianggap bernostalgia dengan kepedihan dan membuka luka lama saat Timor Timur masih jadi bagian Indonesia.  

”Kami keberatan itu dipertunjukkan. Perasaan orang Indonesia akan dilukai. Ada cerita pembunuhan rohaniawan di rawa penuh buaya. Banyak tembakan dor-dor. Apa cerita itu layak tampil di layar Indonesia?” kata Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, Titi Said. Versi Berg itu, menurut dia, tidak menempatkan Indonesia pada posisi seimbang.  

Titi menegaskan, itu bukan larangan tanpa alasan. Rekonsiliasi sedang dilaksanakan antara Timor Leste dan Indonesia,” Janganlah dirusak dengan penayangan film terkesan subyektif,” kata penulis novel ini.  

Khusus dalam Passabe, ia mengaku sudah meloloskan di tahap pertama. Namun, ketika keputusan diberikan pada kelompok penyensor lain yang terdiri dari berbagai kalangan, di antaranya Polri, TNI, BIN, dan Bais, Titi tak berkutik. ”Mereka bilang itu sejarah sepihak.” 

Film mengenai hak asasi manusia juga jadi sorotan lembaga persahabatan Indonesia Australia (AII). Karena Jiffest dianggap tak mengikuti aturan mereka, dana Aus$ 18 ribu dibatalkan 24 jam sebelum festival dibuka.  

”Padahal, lembaga sensor sudah memberi izin,” kata Orlow Seunke, Direktur Jiffest. Pria asal Belanda itu heran mengapa film pendek 11 menit karya sutradara Australia yang sama sekali tidak bertema politik ikut masuk daftar hitam lembaga yang didirikan pada 1989 itu. 

Juga, kisah Aborigin dan kisah David Hicks yang kendati politis tapi punya hubungan dengan persahabatan Indonesia Australia. ”Mereka bilang, harus menjaga citra Australia di mata Indonesia.” 

Padahal, karya Curtis Levy—yang meraih penghargaan dokumenter terbaik versi AAI—dan Graeme Isacc itu toh tak bermasalah ketika ditayangkan TV Australia. ”Apa jadinya bila kebijakan pemerintah memberlakukan pengawasan semua film akan tampil di festival dunia,” ujar Orlow berapi-api.

Keempat film yang dianggap tak mempromosikan hubungan baik kedua negara adalah Garuda’s Deadly Upgrade karya kolaborasi jurnalis Australia David O’Shea dan Lexy Rambadeta (Indonesia) tentang kasus aktivis Munir; film pencarian seorang ayah terhadap anak dicap teroris dalam Presiden Versus David Hicks. Selain itu film Dhakiyarr Versus The King tentang pencarian keadilan Aborigin, dan terakhir film pendek karya Daniel Askill berjudul We Have Decided Not To Die mengenai siklus kehidupan.

Bagaimanapun, Orlow masih optimistis bahwa Indonesia akan membuka mata terhadap sejarah kelam Timor Timur dengan membolehkan film politis itu tampil di festival mendatang, 2006. Kemarin sebenarnya sudah tercipta komunikasi baik lewat diskusi dan penjelasan tertulis melalui lembaga sensor film selaku badan perwakilan dari berbagai kalangan. ”Tak ada gunanya bersembunyi dari masa lalu,” kata Orlow.  

Evieta Fadjar P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus