Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaran beludru ungu menyerupai dinding menutupi dan memisahkan dua hall di Balai Sidang malam itu. Kamis pekan silam, gedung pertunjukan di Senayan sedang berbagi kemeriahan. Dua stasiun TV punya perhelatan khusus. Assembly Hall bagi malam puncak Festival Film Indonesia (FFI) 2005 dan Plenary Hall menggelar acara ulang tahun Trans TV.
Sayang, festival film kedua setelah mati suri selama 12 tahun tak layak disebut pesta seni dan film. Kursi undangan tak terisi penuh, dan sajian acara adem-adem saja. Kalah pamor dengan penghargaan Panasonic Award belum lama ini. Bahkan sebagian sineas, meski masuk nominasi, malas hadir.
Kendati film bioskop mulai semarak dengan kemunculan karya sineas muda, hasil seleksi film tempo hari dipertanyakan. Sebelum para film berlaga di atas panggung final dan dinilai oleh dewan juri, adalah Komite Seleksi yang memegang gerbang awal. Susunan komite seleksi itu terdiri dari Noorca M. Massardi, antropolog Prof Dr Yasmine Zaki Shahab, penulis Eddy D. Iskandar, psikolog Niniek L. Karim, sutradara teater N. Riantiarno, praktisi periklanan Totot Indrarto, dan penata suara Iwan Mauritz.
Adapun pada FFI di masa lalu, Komite Seleksi diciptakan karena jumlah produksi film Indonesia mencapai ratusan jumlahnya, dan komite ini berguna untuk ”menyisir” film-film yang memang sama sekali tak layak festival.
Saat ini, sebetulnya jumlah film hingga September 2005 hanya 40 film. Dari 40 film produksi 2005, diperas 27 film masuk sebagai peserta. Lalu komite menggugurkan 17 judul.
Banyak yang mempertanyakan film Rindu Kami PadaMu karya Garin Nugroho yang dipuji sebagian orang tak lolos seleksi. Selain itu ada film Teddy Soeriatmadja, Banyu Biru, film karya Rako Priyanto, Ungu Violet, dan film karya Hanung Bramantyo, Catatan Akhir Sekolah, yang tak masuk seleksi.
Menurut Sekjen Komite Seleksi Noorca Massardi, film Garin tidak punya fokus cerita. ”Kami melihat seperti film panjang iklan layanan masyarakat,” katanya.
Kalah di negeri sendiri, film Garin ini mendapat predikat terbaik Asia di Cinefan Festival VII di New Delhi, India, Juli lalu. Penghargaan terletak pada indahnya nilai toleransi beragama dan justru pada kesederhanaan bertutur. Artinya, ada sudut pandangan berbeda komite seleksi dengan sineas dalam memandang sebuah cerita.
Film Banyu Biru, menurut Noorca lagi, memang diakui memiliki sisi inovasi, tapi dianggap berat karena label film realisme magis. Sedangkan film Ungu Violet memang berhasil meraih banyak penonton, tapi ”kacau dalam penceritaan, tak paham persoalan masyarakat,” tutur Noorca.
Menurut Nano Riantiarno, anggota komite seleksi, ada tiga film lolos tanpa perdebatan sama sekali, yakni Gie, Janji Joni, dan Ketika. Kemudian baru muncul film Tentang Dia tanpa debat panjang. Sisanya, film Virgin, Brownies, dan Detik Terakhir diambil melalui voting.
Film Ketika karya Dedy Mizwar meraih simpati khusus anggota komite kendati gagal menghadirkan teknis sinematografi. Cerita kejatuhan koruptor menjadi melarat amat membumi, menyatu dengan akting para pemainnya.
Makanya, dewan juri—jenjang lebih tinggi setelah komite seleksi—di antaranya beranggotakan Angelina Sondakh, Sarlito Wirawan, Sophan Sophiaan, Eros Djarot, J.B. Kristanto, memberikan penghargaan spesial kepada Ketika sebagai film tematik kepada peraih skenario terbaik FFI 2005 itu.
Pilihan akhir komite seleksi yang disaring lagi oleh dewan juri tak berarti meneguhkan pendapat film-film nominasi sudah berkualitas. Semua punya kelemahan dan kelebihan. Bahkan mereka menganggap skenario film Gie datar saja dan sineasnya dianggap mengalami kesulitan dalam mengembangkan kisah tentang kehidupan seseorang.
Seobyektif apa pun para komite dan dewan juri, yang penting adalah mengembalikan kepercayaan penuh dari para sineas dan masyarakat tentang sebuah festival. Sebagian pengunjung sudah menghilang di tengah acara (dan tak elok terlihat di layar televisi). Jika sebagian sineasnya saja sudah tak peduli dengan festival ini (bahkan ketika mereka menang) atau penonton juga lebih suka menyaksikan Siti Nurhaliza bernyanyi di saluran lain, maka penyelenggaraan acara ini masih harus berjuang keras merebut perhatian kita.
Evieta Fadjar, Cahyo Djunaedy
Festival Film Indonesia 2005
- Film Terbaik: Gie (PT Miles Production)
- Sutradara Terbaik: Hanung Bramantyo dalam Brownies
- Skenario Terbaik: Musfar Yasin dalam Ketika
- Pemeran Utama Wanita Terbaik: Marcella Zalianty dalam Brownies
- Pemeran Utama Pria Terbaik: Nicholas Saputra dalam Gie
- Pemeran Pendukung Wanita Terbaik: Adinia Wirasti dalam Tentang Dia
- Pemeran Pendukung Pria Terbaik: Gito Rollies dalam Janji Joni
- Tata Musik Terbaik: Anto Hoed dalam Tentang Dia
- Tata Suara Terbaik: Asifa Nasution dan Adi Molana dalam Brownies
- Tata Sinematografi Terbaik: Yudi Datau dalam Gie
- Tata Artistik Terbaik: Frans X.R. Paat dalam Virgin
- Editing Terbaik: Yoga K. Koesprapto dalam Janji Joni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo