Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu pekan lalu, Budi Mulya menumpahkan perasaannya. Bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa itu bercerita perihal "penderitaan"-nya menjadi seorang tahanan. "Saya agak emosional karena delapan bulan satu hari sudah dipisahkan dari orang-orang yang saya cintai," katanya.
Dikerangkeng Komisi Pemberantasan Korupsi sejak Desember tahun lalu, Budi berkukuh tak mengaku bersalah dalam perkara dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik pada 2008. "Kalau ada ’penumpang gelap’ dalam kebijakan, itu yang harus dikejar, jangan saya," ucapnya.
Selama sidang sekitar enam jam, lulusan Universitas Illinois, Amerika Serikat, itu berupaya mengendalikan diri. Namun Budi tetap saja terperenyak ketika hakim menyebut dia bersalah dan menghukumnya sepuluh tahun penjara. Di kursi pengunjung sidang, putri Budi yang juga presenter televisi, Nadya Mulya, terlihat menyeka linangan air mata.
Meski vonis hakim lebih rendah tujuh tahun daripada tuntutan jaksa, Budi memastikan melawan. "Saya sedih dan kecewa karena putusan berdasarkan tuntutan jaksa yang keras kepala," ujarnya. "Saya pasti banding."
Empat tahun lebih diinvestigasi, perkara Bank Century akhirnya menggelinding ke pengadilan. Dalam surat dakwaan yang dibacakan Maret lalu, jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Budi mengamblaskan uang negara sekitar Rp 7,4 triliun pada 2008.
Bersama jajaran pejabat Bank Indonesia dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) kala itu, Budi didakwa merugikan negara sekitar Rp 689,39 miliar dalam pemberian FPJP kepada bank milik Robert Tantular tersebut. Mereka pun dianggap merugikan negara Rp 6,73 triliun dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik—bisa memicu krisis keuangan dan perbankan.
Di surat dakwaan, Budi dituding ngotot membantu memuluskan penyelamatan Bank Century. Padahal aset Century yang diagunkan untuk mendapatkan FPJP belum dinilai secara cermat. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 tertanggal 29 Oktober 2008, yang bisa mengajukan FPJP hanya bank pemilik rasio kecukupan modal (CAR) minimal 8 persen. Waktu itu CAR Century hanya 2,35 persen.
Untuk mengakali hal itu, pada 14 November 2008, Dewan Gubernur BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/30/2008 untuk merevisi aturan sebelumnya. Aturan baru menyatakan bank pemohon FPJP hanya wajib memiliki CAR positif asalkan tidak minus.
Setelah dana Rp 689,39 miliar mengucur ke Century, baru diketahui bahwa CAR terakhir bank itu sebenarnya minus 3,53 persen. Rasio 2,35 persen berdasarkan neraca per 30 September 2008 alias kedaluwarsa satu bulan. Belakangan, diketahui CAR Century minus hingga di bawah 30 persen.
Setelah FPJP terbukti tak ampuh, satu-satunya cara adalah menyerahkan Bank Century ke KSSK, yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani. Masalahnya, KSSK hanya bisa mengambil alih bila Century betul-betul gagal dan berdampak sistemik bagi perbankan nasional.
Waktu itu, menurut jaksa, tak semua pejabat BI setuju terhadap penetapan Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik. Alasannya, Bank Century tergolong bank mini. Aset Century hanya 0,72 persen dari aset perbankan nasional. Namun pimpinan BI waktu itu memveto keberatan tersebut.
Bank Indonesia lantas menyurati KSSK pada 20 November 2008. Bank sentral menyatakan Century membutuhkan tambahan dana Rp 1,77 triliun agar mencapai CAR delapan persen. Sebelum surat disetujui Sri Mulyani, menurut jaksa, Sekretaris KSSK Raden Pardede meminta angka Rp 1,77 triliun diubah menjadi Rp 632 miliar. Alasannya, bila angkanya tetap Rp 1,77 triliun tak akan disetujui Sri Mulyani.
Lolos dari saringan Sri Mulyani, Lembaga Penjamin Simpanan—yang akhirnya mengambil alih Century—berkali-kali menggerojokkan dana segar. Karena Century tak kunjung pulih, sampai Juni 2009, suntikan dana mencapai Rp 6,73 triliun.
Di persidangan, Budi dan kuasa hukumnya berargumen penyelamatan Bank Century semata-mata agar Indonesia tak kembali terperosok ke jurang krisis keuangan. Sejak pertengahan 2008, krisis global yang semula melanda Amerika terus menjalar ke Eropa dan Asia. Bila Century dibiarkan ambruk, setelah kalah kliring pada 13 November 2008, kepercayaan nasabah kepada bank lain dikhawatirkan rontok. Akibatnya bisa terjadi penarikan dana besar-besaran (rush) seperti pada krisis moneter 1997-1998.
Masalahnya, jaksa KPK sejak awal tak begitu percaya terhadap alasan krisis keuangan itu. Keyakinan jaksa makin kuat setelah mendengar kesaksian sejumlah ahli dan bekas pejabat pemerintah, termasuk bekas wakil presiden Jusuf Kalla, yang menyebutkan perekonomian Indonesia kala itu baik-baik saja.
Jaksa pun berkukuh Budi telah melakukan perbuatan hukum secara bersama-sama dan berlanjut; memperkaya diri, orang lain, dan korporasi dengan cara menyalahgunakan wewenang; serta merugikan negara. Jaksa menjerat Budi dengan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan Pidana Korupsi serta Pasal 55 dan 64 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jaksa penuntut umum, yang dipimpin K.M.S. Roni, menuntut Budi dihukum 17 tahun penjara plus denda Rp 800 juta atau menjalani hukuman tambahan 8 bulan penjara. Budi juga dituntut membayar uang pengganti Rp 1 miliar atau dihukum tambahan 3 tahun penjara.
Risau terhadap arah tuntutan jaksa, sepekan menjelang pembacaan vonis, 35 tokoh berlatar belakang aneka profesi menyampaikan pendapat mereka kepada hakim. Para tokoh yang diwakili Todung Mulya Lubis, Emil Salim, dan Sarwono Kusumaatmadja itu menyebut diri mereka sebagai Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae).
Meski mendukung upaya pemberantasan korupsi, para tokoh itu wanti-wanti agar hakim tak mengadili kebijakan penyelamatan Bank Century. Alasan mereka: kebijakan bailout Century terbukti ampuh menahan gempuran gelombang krisis keuangan global sehingga Indonesia tak terpuruk seperti pada 1997-1998. Kalaupun di belakang hari terbukti keliru, sebuah kebijakan tak bisa dikriminalkan. "Bila kebijakan sampai dikriminalkan, banyak pejabat publik yang bakal ketakutan mengambil keputusan," kata Todung.
Para tokoh juga mengingatkan hakim agar tak mengiyakan begitu saja pendapat jaksa yang menafikan krisis keuangan pada 2008. Penerbitan tiga peraturan pemerintah pengganti undang-undang di bidang keuangan dan perbankan tahun itu, menurut mereka, menunjukkan betapa gentingnya situasi perekonomian waktu itu.
Jika hakim menyatakan tak ada krisis, menurut Sahabat Pengadilan, upaya pemerintah mengembalikan aset Century di luar negeri pun akan semakin sulit. Maklum, sewaktu beperkara di luar negeri, pemerintah selalu berargumen Bank Century limbung ketika dilanda krisis karena dananya banyak dilarikan pemilik saham ke berbagai negara. "Putusan seperti itu bisa dipakai koruptor Century yang sesungguhnya untuk menolak mengembalikan aset," ucap Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, yang juga tergabung dalam Amicus Curiae.
Toh, pembelaan Budi dan dukungan para tokoh tak cukup meyakinkan bagi hakim. Hakim tetap menghukum Budi bersalah. "Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primer," kata ketua majelis hakim Afiantara ketika membacakan amar putusan.
Seperti halnya jaksa, majelis hakim juga tak percaya krisis pada 2008 merupakan alasan utama penyelamatan Century. Menurut hakim, krisis keuangan memang melanda dunia pada 2008, tapi Indonesia tidak termasuk negara yang goyah dihantam krisis. Rujukan hakim antara lain kesaksian Jusuf Kalla di persidangan dan dokumen rapat kabinet yang menyatakan ekonomi Indonesia pada 2008 tumbuh sampai 6,1 persen.
Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri tak habis pikir terhadap pernyataan hakim ini. "Bagaimana bisa ada perpu kalau tak ada krisis?" ujar Chatib.
Majelis hakim juga menolak dalil penasihat hukum Budi yang menyatakan Gubernur BI tak bisa dihukum karena membuat keputusan yang sesuai dengan wewenangnya sepanjang hal itu dibuat dengan iktikad baik. Sebaliknya, hakim menilai Budi menyetujui pemberian FPJP kepada Century tanpa iktikad baik. Hakim merujuk pada Pasal 45 Undang-Undang Bank Indonesia. Penjelasan pasal itu menerangkan, suatu kebijakan diambil dengan iktikad baik bila tak disertai maksud mencari keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompok; bebas dari indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta dilakukan berdasarkan analisis mendalam dan berdampak positif.
Menurut hakim, sejak awal Budi Mulya tak terlepas dari konflik kepentingan. Sebulan sebelum mendorong penyelamatan Bank Century, pada September 2008, Budi meminjam dana Rp 1 miliar kepada Robert Tantular. Padahal, Budi tahu, sejak 2005 Century terus dirundung masalah sehingga masuk daftar pengawasan khusus Bank Indonesia. Meski pinjaman sudah dikembalikan Budi pada 2009, menurut hakim, konflik kepentingan telanjur terjadi.
Di luar pinjaman Rp 1 miliar itu, kata hakim, konflik kepentingan juga melibatkan jajaran pegawai dan pejabat BI lainnya. Soalnya, ketika Century bangkrut, di bank itu ada dana deposito milik Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia sebesar Rp 80 miliar. Bila Century ditutup, dana yang dijamin LPS hanya Rp 2 miliar.
Hakim juga menilai revisi peraturan Bank Indonesia soal rasio kecukupan modal hanya akal-akalan agar Century memenuhi syarat untuk mendapatkan FPJP. Begitu pula proses persetujuan penetapan Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik. Pengubahan angka tambahan modal Rp 1,77 triliun pada lampiran berkas yang diajukan ke KSSK menjadi Rp 632 miliar, menurut hakim, merupakan cacat prosedur yang cukup serius.
Meski menyalahkan Budi dan kawan-kawan, hakim menolak dianggap mengadili atau mengkriminalkan kebijakan. "Yang diperiksa adalah ada-tidaknya tindak pidana dalam pengambilan kebijakan itu," ujar Afiantara. Toh, bagi Todung, dalil hakim ini tak banyak artinya. "Ujung-ujungnya kebijakan juga yang disalahkan," katanya.
Tak semua tuntutan jaksa dikabulkan majelis hakim. Majelis tak sependapat dengan jaksa soal tuntutan uang pengganti Rp 1 miliar yang dibebankan kepada Budi Mulya. Alasan hakim, uang itu merupakan pinjaman dan sudah dikembalikan.
Majelis hakim juga menolak tuntutan jaksa untuk meminta uang pengganti kepada Hesham al-Warraq, Robert Tantular, dan Bank Century—yang sekarang berubah menjadi Bank Mutiara. Menurut hakim, tuntutan Rp 3,115 triliun kepada Hesham, Rp 2,753 triliun kepada Robert, dan Rp 1,581 triliun kepada Bank Mutiara tidak relevan. "Pidana tambahan tak bisa dibebankan kepada pihak yang tak dijadikan terdakwa," ucap Afiantara.
Putusan ini tak diambil secara bulat. Hakim anggota Anas Mustaqim menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion). Anas menganggap dakwaan penuntut umum kabur karena tak menguraikan secara lengkap, cermat, dan jelas pihak lain yang turut serta melakukan tindak pidana bersama Budi. "Karena kabur, dakwaan dan tuntutan seharusnya batal demi hukum," ujar Anas.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengatakan, karena vonis hakim masih di bawah dua pertiga tuntutan jaksa, pihaknya ada kemungkinan mengajukan permohonan banding. Kabar positif bagi KPK, vonis ini membuktikan korupsi kasus Century tak dilakukan sendiri. "Artinya, ada orang lain turut terlibat," kata Bambang.
Bak menemukan kunci kotak pandora, KPK kini bersiap menggunakan vonis Budi Mulya untuk menelisik pihak lain yang diduga terlibat.
Jajang Jamaludin, Nurul Mahmudah, Muhammad Rizki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo