Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang buka puasa, tujuh aktivis dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat itu berkumpul di markas Komunitas untuk Demokrasi Indonesia di Jalan Tirtayasa VII, Jakarta Selatan. Sembari menunggu saat berbuka, Kamis pekan lalu itu mereka membicarakan isi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD—yang kini dikenal dengan nama UU MD3—yang baru diketuk Dewan Perwakilan Rakyat pada 8 Juli lalu. "Kami berdiskusi untuk menentukan langkah selanjutnya," kata Roy Salam, Koordinator Analisis dan Advokasi Anggaran Indonesia Budget Center.
Bersama tujuh perwakilan LSM, Roy kini membentuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3. Mereka adalah Indonesia Corruption Watch; Indonesia Budget Center; Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia; Indonesian Parliamentary Center; Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia; Transparency International Indonesia; serta Pusat Telaah dan Informasi Regional.
Undang-undang teranyar itu, menurut mereka, tak menunjukkan kehendak DPR berubah lebih baik. Sebaliknya, cenderung menambah kewenangan mereka dan meminimalkan pengawasan. Juga tak memperlihatkan DPR bersedia transparan. Itu, misalnya, terlihat dengan penghapusan kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja dan melaporkannya ke publik.
Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia Ronald Rofiandri menyebutkan sejumlah hal yang mendapat sorotan pihaknya. Itu, antara lain, kewenangan Dewan dalam mengelola dan mengajukan dana aspirasi di daerah pemilihan serta penghapusan Badan Akuntansi dan Keuangan Negara, yang selama ini sebagai pengontrol Dewan. Juga aturan akrobatik—demikian ia mengistilahkan—untuk pemilihan Ketua DPR dan komisi yang semuanya demi kepentingan politik. Proses pemilihan Ketua Dewan, yang selama dua periode, sebelumnya ditentukan berdasarkan partai pemenang pemilu. Tapi, dalam aturan baru, kini ditentukan berdasar voting alias suara terbanyak.
Aturan baru inilah yang antara lain diprotes Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai pemenang pemilihan legislatif. Menurut Trimedya Panjaitan, anggota Fraksi PDI Perjuangan, sistem itu dimunculkan tidak lama setelah rapat pleno Komisi Pemilihan Umum menetapkan urutan hasil perolehan suara pemilu legislatif. "Usul itu sebelumnya tidak ada dalam daftar isian masalah," ujar politikus yang juga bekas Ketua Komisi Hukum DPR itu.
Saat disahkan, undang-undang yang merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR dan DPR itu memang mendapat protes dari tiga partai koalisi yang mendukung calon presiden Joko Widodo: PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Mereka melakukan walkout sembari melemparkan "salam dua jari".
PDIP kini tengah menyiapkan upaya hukum dengan menggugat undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi. Adapun Koalisi Masyarakat Sipil kini mengumpulkan dukungan agar pemerintah tak menandatangani UU MD3 itu dan meminta anggota Dewan periode 2014-2019 merevisi undang-undang tersebut. Mereka antara lain mencari dukungan petisi lewat situs Change.org.
SAAT rapat paripurna untuk menyetujui RUU MD3 berlangsung, tim Koalisi Masyarakat Sipil bertandang ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Di gedung yang terletak di kawasan Kuningan itu, mereka mendiskusikan RUU tersebut dengan tiga pemimpin KPK, yakni Busyro Muqoddas, Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja. Bersama ketiganya, tim ini mendiskusikan draf RUU MD3 yang mereka miliki.
Saat itu, tim tersebut memegang draf yang menyebutkan pemeriksaan anggota Dewan memerlukan persetujuan presiden. "Aturan ini kami anggap sangat penting dan berbahaya, sehingga tim koalisi berinisiatif bertemu dengan pimpinan KPK," kata Donal Fariz, anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch Divisi Korupsi Politik.
Dalam draf versi pembahasan pada 2 Juli itu, pasal 220 ayat 1 berbunyi: "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden". Selanjutnya pada ayat 2 disebutkan presiden memiliki masa 30 hari untuk memproses permintaan pemeriksaan anggota Dewan.
Sebelum bertemu dengan pimpinan KPK, pada 6 Juli lalu, tim ini sudah menggelar konferensi pers untuk membeberkan kelemahan RUU MD3. "Kami bergerak cepat karena mendengar ada rencana percepatan pengesahan rancangan undang-undang," ujar Donal. Mereka mendapat informasi bahwa rencana awalnya rapat pengesahan UU MD3 dijadwalkan pada 10 Juli 2014, tapi digeser mundur sehari menjelang pemilihan presiden.
Rupanya, draf versi terakhir yang dibawa ke rapat paripurna sudah menganulir pemeriksaan Dewan yang mesti disetujui presiden. Penggantinya muncul adanya lembaga Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam undang-undang lalu disebutkan setiap aparat hukum yang akan memeriksa anggota Dewan diwajibkan memproses permohonan pemeriksaan anggota Dewan.
Menurut Donal, kehadiran Mahkamah Kehormatan Dewan pun menjadi permasalahan baru. Soalnya, kewenangan lembaga yang merupakan "versi baru" Badan Kehormatan itu tak lagi di ranah etika, tapi meluas menangani proses hukum. "Seharusnya tak boleh ada intervensi hukum," ucap Donal.
Menurut undang-undang, Mahkamah Kehormatan harus memproses dan memberi keputusan atas surat permohonan dengan masa 30 hari. Jika dalam waktu itu Mahkamah memutuskan tidak memberi persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, surat pemanggilan tidak memiliki kekuatan hukum alias batal demi hukum. "Izin dengan rentang 30 hari itu hanya memperpanjang birokrasi dan berpotensi menjadi celah menghilangkan alat bukti atau melarikan diri," kata Donal.
Persetujuan pemeriksaan melalui Mahkamah ini untuk kasus tindak pidana umum. Mekanisme ini tak berlaku untuk kasus pidana tertangkap tangan dan bukan pidana khusus, seperti narkoba, korupsi, dan teroris. Aturan itu juga tak berlaku untuk kasus dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.
Nah, aturan seperti ini, menurut Ronald, menempatkan posisi seorang anggota DPR lebih istimewa dibanding masyarakat dalam proses hukum. "Aturan ini relatif membuat anggota Dewan lebih aman dari tuntutan kasus tindak pidana seperti pencemaran nama, pemalsuan dokumen, atau tindak kekerasan," ucapnya. Ronald menyayangkan Kejaksaan dan Kepolisian RI yang tidak memberi respons terhadap UU MD3. "Padahal, dengan adanya undang-undang tersebut, mereka sangat dibatasi dalam melakukan pemeriksaan jika ada anggota Dewan melakukan tindak pidana umum," katanya.
Tak hanya "melindungi", undang-undang ini di satu sisi juga membuat anggota Dewan mesti berpikir "seribu kali" jika berhasrat membocorkan rapat-rapat tertutup DPR. Hal ini diatur dalam pasal 224 mengenai imunitas. Di situ disebutkan anggota tak memiliki kekebalan dituntut ke pengadilan bila membocorkan rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia.
"Ini menutup kesempatan anggota Dewan sebagai whistleblower," ujar Ronald. Hak imunitas hanya berlaku jika anggota DPR membuat pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya secara lisan ataupun tertulis baik dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Ketua Panitia Khusus RUU MD3 Benny K. Harman menegaskan, pembahasan undang-undang yang kini menjadi sorotan sejumlah pihak itu sudah dilakukan dengan matang dan penuh pertimbangan. Dia mempersilakan siapa pun mengajukan uji materi undang-undang itu jika tak puas. "Silakan, asalkan mereka benar-benar sudah membaca undang-undangnya," kata Benny.
Yuliawati, Riky Ferdianto, Reza Aditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo