Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIAM-DIAM benih antipati, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat—khususnya dari koalisi lima partai yang mendukung calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa—telah ditanam sekitar dua pekan lalu. Yakni tatkala anggota Dewan merumuskan revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang anggota parlemen, yang kemudian menjadi show of force kalangan antireformasi, antikesetaraan, sekaligus resisten terhadap perjuangan antikorupsi di negeri ini.
Produk hukum yang kemudian dikenal dengan sebutan MD3 ini berpotensi memancing pihak-pihak yang kebetulan bersinggungan dengan Dewan untuk menggunakan kekuatan ekstraparlementer, people power, dalam menghadapi tantangan legislatif. Bagaimana tidak, di tengah jalan, revisi undang-undang yang tadinya ditujukan untuk memperkuat posisi Dewan Perwakilan Daerah vis-à-vis anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu ternyata dibelokkan arahnya. Dan ini membuat kita tiba-tiba tersadar akan sebuah kekuatan yang sebenarnya berseberangan dengan gagasan-gagasan ideal reformasi.
Walkout atau angkat kakinya perwakilan dari PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura dari rapat penggodokan revisi undang-undang mungkin bisa dipahami sebagai protes dari wakil partai-partai besar terhadap pasal yang berbunyi: Ketua MPR/DPR tidak harus berasal dari partai pemenang pemilihan legislatif. Kepentingan kelompok adalah sesuatu yang tak terelakkan demi keberlangsungan hidup partai. Padahal terbukanya kemungkinan bagi partai-partai non-pemenang diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan kompetitif wakil-wakil dari partai pemenang untuk mengisi kursi ketua.
Ketika Badan Anggaran yang diduga menjadi tempat nyaman bagi anggota Dewan untuk mengeruk uang negara tetap dipertahankan, sedangkan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dihapus, kita pun cepat mencium aroma pelemahan kebijakan antikorupsi. BAKN, yang dibentuk untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, memegang peran cukup penting dalam mengawasi penggunaan uang negara.
Sikap Dewan yang elitis, yang sama sekali tidak ambil pusing terhadap asas equality before the law, tampak jelas dalam pasal yang mensyaratkan persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota Dewan yang tersangkut perkara pidana. Dewan yang dipilih langsung oleh rakyat ini perlahan-lahan telah menutup pintu terhadap dunia luar.
Keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan, yang merupakan penguatan dari Dewan Kehormatan, merupakan bentuk kesungguh-sungguhan Dewan untuk mengukuhkan sebuah entitas khusus, dengan hak dan perlakuan khusus bagi anggotanya. Kendati tidak berlaku untuk tindak pidana khusus, gejala elitisme yang paling memuakkan terpapar dalam pasal yang mewajibkan izin dari Mahkamah Konstitusi bila anggota Dewan menjadi saksi saat diperiksa penegak hukum.
Padahal demokrasi menekankan pentingnya checks and balances di semua institusi negara. Dalam prakteknya di Indonesia, berjalannya checks and balances bisa dilihat dari ada dan tidaknya monopoli wewenang dari sebuah institusi. Sayang sekali, revisi Undang-Undang MD3 ini justru kembali meletakkan seluruh kuasa pada tangan eksekutif dan legislatif. Karena itu, judicial review terhadap revisi undang-undang ini merupakan kewajiban bagi setiap orang yang berpihak pada reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo