PERUBAHAN status dan pergantian direksi adalah dua hal penting yang terjadi atas bank-bank pemerintah sejak dua pekan silam. Perubahan status menjadi persero menuntut tidak hanya ketajaman otak dan ketangguhan manajerial, tapi juga integritas pucuk pimpinannya. Maka, ketika Sabtu lalu Menteri Keuangan J.B. Sumarlin melantik mukamuka baru pucuk pimpinan tujuh bank milik negara, tak urung khalayak perbankan bertanya-tanya, sejauh mana mereka siap menyandang tugas dan menghadapitantangan yang semakin berat. Seperti diketahui, bank pemerintah kini sudah tidak lagi dapat menikmati beberapa fasilitas. Sabtu pekan silam, Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooytelah menegaskan bahwa kelonggaran, misalnya dalam pemenuhan CAR (capital adequacy ratio yaitu perbandingan modal dengan aset tertimbang menurut risiko)tidak bisa diteruskan. Berarti, jika tahun ini CAR harus 5%, bank pemerintah yang pesero itu tidak boleh 4%. Begitu pula pembukaan cabang baru, tak mungkin dalam gaya jorjoran. Andai kata tidak hati-hati, bank pemerintah tanpa kecuali bisa saja mengalami nasibseperti bank swasta yang ekspansif tapi kemudian ambruk. Tentang ini, Menteri Sumarlin malah berpesan supaya bank yang bersangkutan menutup saja kantor cabang tertentu, kalau itu dianggap perlu. Ketegasan itu diharapkan bisa memacu bank-bank pemerintah untuk mempertinggi tingkat kesehatannya. Inilah syarat utama agar bisa bersaing melawan kelihaiandan agresivitas bank-bank swasta. Syarat utama yang lain adalah integritas,termasuk ke dalamnya keberanian menolak katebelece yang datang dari pejabat pemerintah. Isu katebelece ini telah disorot banyak pihak sepanjang pekan silam. Mengapa? Agaknya karena katebelece atau memo saktilah yang menjadi penyebab utamakredit macet di bank-bank pemerintah. Memang, ada juga kredit program (seperti kredit usaha kecil) yang macet. Tapi jika dibandingkan dengan total kredit yang disalurkan bank-bank pemerintah,jumlahnya hampir tak berarti. Kredit usaha tani, yang dikabarkan macet 29%,ternyata nilainya tidak melebihi Rp 100 milyar. Banyak pengamat berkeyakinan, kredit macet terbesar justru terjadi di proyek-proyek yang berkelas puluhan sampai ratusan milyar. Pokoknya, "Kredit macet yang dialami bank-bank pemerintah saat ini sudah termasuk parah," ujar Priasmoro Prawiroardjo, bekas direktur Bapindo yang kini menjadi wakil presiden BNP Lippo. Priasmoro menyarankan, di samping harus segera membenahi kredit macet, para bankir juga dituntut untuk berani. Maksudnya, berani menolak memo sakti daripejabat dan menolak tawaran-tawaran yang datang dari nasabah, baik berupa uang tunai, fasilitas sekolah ke luar negeri, maupun biaya jalan-jalan sang istri kemancanegara. Lebih dari itu, "Para bankir pemerintah juga harus berani dipecat, akibat menolak katebelece . . .," katanya. Dalam bahasa Sumarlin, kalau terjadi kredit macet, "yang lebih dulu digantung adalah direktur utama bank yang bersangkutan". Tapi, siapa kelak yang "menggantung" direktur utama bank pemerintah? Ini harus jelas, sebab yang sering terjadi justru kebalikannya. "Bankir pelaksana surat saktihidupnya semakin nyaman, dan jabatannya bisa diperpanjang," komentar seorang bankir swasta nasional. Bahkan bank-bank pelaksana katebelece dijamin aman dari guncangan. Dulu, kata pengamat bank Anwar Nasution, kalau bank pemerintah sempoyongan, "mereka akandiberi suntikan yang besar." Misalnya, menjadi bankir bagi Bulog, Pertamina, atau diberi porsi menyalurkan kredit luar negeri yang lebih besar. Anwar lalu menunjuk Bank Bumi Daya, yang andai kata swasta niscaya sudah lama dinyatakan bangkrut. Memang, tak ada suntikan langsung dari pemerintah, tapi secara teratur BBD selalu menerima hak penyaluran dana pemerintah. Dalam pandangan Anwar, perlakuan istimewa ini tak lepas dari "pelayanan" yang diberikan bankir BBD. "Coba, mana ada bankir yang berani mengeluarkan uangnya untuk proyek-proyek mega kalau tanpa katebelece," ujar pengamat yang selalu bicara blak-blakan itu. Karena terbiasa "tidak disiplin", akhirnya bankir pemerintah tak lagi merasa tertekan menghadapi pesan katebelece. Menurut Priasmoro, yang tahubanyak soal katebelece, pesan itu juga sering dalam bentuk perintah per telepon. Dan bankir bersangkutan bukan merasa stres, malah senang. "Kalau saya jadi dirut bank pemerintah, tentu saja saya ingin lama duduk di kursi itu. Kapan lagi bisa menikmati enaknya naik Mercedes?" Anwar menyindir. Gaji yang diterima bankir pemerintah secara resmi memang jauh berada di bawah gaji rekanrekan mereka di bank swasta (lihat Gaji Tidak Seberapa, Tapi . . .).Tapi mungkin karena itu pula mereka terbiasa mainmain dengan komisi tingkat tinggi. Pernah, misalnya, pada tahun 1985, sebuah perusahaan swasta mengajukan kredit kepada bank pemerintah. Untuk membeli sebuah perkebunan, swasta tersebut mengharapkan pinjaman US$ 55 juta. Tapi, "Itu kebun terlalu mahal. Paling banter harganya cuma 45 juta dolar," begitu tanggapan seorang ahli perkebunan. Adanya kelebihan 10 juta, "itu kan bagian untuk bankir," kata salah seorang dari mereka. Ini sebuah contoh lain lagi. Ada seorang pengusaha terkemuka yang mau terjun ke sektor ini. Ia mendirikan pabrik di Ambon, yang diresmikan oleh Presiden. Tapi tiga bulan kemudian pabrik itu gulung tikar dan perusahaannya menyatakan diri pailit. Bank pemerintah, yang memberikan pinjaman, belakangan cuma bisa menyita mesin-mesin bekas. Padahal, dalam studi kelayakannya, nasabah yang bangkrut itu menyatakan akan menggunakan mesin-mesin baru. "Kongkalikong seperti itu di bank pemerintah sampai sekarang masih terjadi," kata seorang bekas bankir. Yang juga parah adalah pengalaman seorang manajer urusan kredit di salah satu bank pemerintah. Katanya, meminjam di bank mirip berutang di lintah darat.Jika kredit yang diurus bernilai Rp 1 milyar, yang akan masuk kocek pengusaha hanya Rp 800-850 juta. "Itu sudah termasuk bagus, sebab komisi yang dipotong lebih dulu itu biasanya sampai 25% dari total pinjaman," ujarnya. Namun, berbagai cerita miring tersebut di atas hampir tak mungkin dilacak secara akurat. Namanya juga "rahasia bank". Yang pasti, hampir semua bankir yang baru dilantik mengaku tidak atau belum pernah menerima permohonan kredit dengan katebelece. "Kami tetap akan berpegang pada studi kelayakan proyek. Kalau tidak layak, ya terpaksa disikat. Walaupun jabatan saya taruhannya," kata Syahrizal, direktur utama Bapindo. Suara senada dikemukakan Subagyo Karsono, Bos Bank Dagang Negara yang baru. Dikatakannya, kendati tak ada katebelece, jika proyek yang diajukan menguntungkan, "pasti akan kami bantu". Sebaliknya, jika tak layak tapi tetap dipaksakan dengan memo sakti, Subagyo akan mengingatkan nasabah bahwa yang merugi akibat tindakan itu bukan hanya bank, tapi juga pengusaha yang bersangkutan. Tekad untuk bertindak lebih profesional memang tampaknya tak bisa ditawar lagi, apalagi jika bank-bank pemerintah ingin bisa bersaing lawan bank swasta.Padahal, menurut Anwar Nasution, bank-bank pemerintah kini terluka berat. Dalam perolehan laba, kecuali BTN, sepanjang triwulan I1992, enam bank pemerintah mengalami penurunan laba rata-rata 30%. Itu jika dibandingkan dengan perolehan laba pada periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal, total kredit yang disalurkan, dibandingkan dengan tahun lalu, naik 15-45%. Begitupun dalam hal kesehatan yang diukur berdasarkan CAR (perbandingan antara modal dan aset berisiko) dan ROA (perbandingan antara pendapatan dan aset). Dari dua kategori itu saja, hampir semua bank pemerintah bisadipastikan sakit. Budi Kusumah, Ardian T. Gesuri, Dwi S. Irawanto, dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini