Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Wajah peradilan agama setelah skb

Skb antara menteri agama dengan ketua mahkamah agung, mengenai fungsi mahakamah agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang mengawasi semua lembaga peradilan di indonesia, termasuk peradilan agama.(hk)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JURANG pemisah antara peradilan agama dan peradilan umum, khususnya Mahkamah Agung, yang selama ini mengganjal, berhasil diatasi. Sebuah keputusan penting telah tertuang dalam empat Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama Alamsyah dan Ketua Mahkamah Agung, Mudjono. "Keputusan itu mendasar sekali, karena akan menyelesaikan soal yang sudah 37 tahun terkatung-katung," ujar Menteri Agama, Alamsyah, selesai penandatanganan. Maksud Menteri Agama, adalah fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi yang mengawasi semua lembaga peradilan di Indonesia, termasuk peradilan agama. Bukan rahasia lagi, selama ini terjadi konflik diam-diam antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung untuk memecahkan soal itu. Ke-4 SKB bertanggal 7 Januari yang ditandatangani 6 Januari lalu itu mengatur 4 masalah: masing-masing soal pengangkatan hakim-hakim PA, pengawasan hakim, pemberian bantuan hukum, dan pembentukan lembaa konsultasi antara kedua instansi itu. Putusan itu positif sekali untuk mengangkat derajat hakim agama dan merupakan kemajuan yang sudah lama dirancangkan," ujar Direktur Pembinaan Peradilan Islam, H. Muchtar Zarkasyih selesai menutup penataran hakim agama se Ja-Teng dan DIY di Solo, Kamis pekan lalu. Persiapan untuk lahirnya SKB itu menurut Muchtar, sudah lama juga. Bulan Juli lalu, diadakan rapat kerja antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Mudjono telah mengangkat Hakim Agung Busthanul Arifin sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung bidang agama. Jembatan-jembatan yang dibuat untuk menghubungkan kedua instansi itulah yang kemudian melahirkan ke4 SKB itu. Sebenarnya tanpa SKB itu ke-258 PA dan 10 buah PTA (Pengadilan Tinggi Agama) yang telah ada selama ini sudah jelas berada di bawah kekuasaan MA, seperti juga peradilan umum dan militer. Ketentuan itu tercermin dari bunyi pasal 24 UUD 1945 dan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tapi pelaksanaannya ternyata rumit. Apalagi tidak ada peraturan pelaksanaan yang mengatur prosedur perkara kasasi dari PA ke MA. Selain itu ada pula surat edaran dari Direktur Pembinaan Peradilan Islam, H. Ichtijanto S.A., SH,1 Mei 1978, kepada PTA-PTA, agar tidak melayani permohonan kasasi ke MA. Alasannya, selain tidak ada peraturan pelaksanaan, juga tidak ada hakim agung agama di MA. (TEMPO 14 April 1979). Urusan pada tahun-tahun itu semakin runyam. MA yang ketika itu diketuai Prof. Oemar Seno Adji, tanpa melalui PTA ternyata sering menerima upaya kasasi langsung dari pencari keadilan yang tidak puas di PA atau PTA. Pertentangan semakin terbuka ketika sebuah kasus perceraian yang diputuskan MA, dianggap tidak pas dengan hukum agama Islam. Kasus itu adalah pembatalan perceraian Cut Satariah dengan suaminya oleh MA. Padahal wanita itu sudah ditalaq oleh suaminya di hadapan beberapa orang saksi. Talaq itu kemudian dikukuhkan PTA Aceh. (TEMPO 26 Juni 1982). Sebaliknya PA-PA di Indonesia banyak disorot karena terlalu eksklusif dan kadang-kadang "aneh". "Masak di satu sidang, seorang penonton yang berdiri di jendela pengadilan ikut-ikut ngomong mencampuri sidang dan dibenarkan hakim," ujar Direktur LBH DKI Abdul Rachman Saleh. Pernah pula, katanya, seorang pembela LBH ditolak oleh seorang hakim PA karena pembela itu beragama Kristen. "Anehnya hakim (PA) lain menerima pembela itu," ujar Abdul Rachman Saleh lagi. Kekurangan-kekurangan peradilan itu diakui oleh kalangan PA sendiri. Peradilan yang sudah ada sejak tahun 188 itu, ternyata sampai kini belum mempunyai hukum acara yang dikodifikasikan. Bahkan hukum-hukum agama yang dipakai untuk memutuskan perkara juga masih cerai berai dalam kitab-kitab klasik. Jadi bisa saja dua persoalan yang sama diputuskan berbeda oleh dua PA," ujar Ketua PA Jakarta Selatan Alimi BA. Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah status hakim-hakim PA. Saat ini tercatat 1.733 hakim PA berstatus honorer dan hanya 581 orang hakim tetap. Sebagian besar hakim honorer itu terdiri dari para kiai dengan honor seribu rupiah setiap bulan di samping honor Rp 250 untuk setiap perkara yang ikut ia tangani. Padahal banyak perkara harus diurus PA-PA. Tahun 1981 misalnya tercatat 257.665 perkara. Masalah yang harus diadili mereka juga tambah banyak sejak ada UU Perkawinan, tahun 1971. Selain hubungan suami-istri, PA juga menangani masalah orangtua dengan anak dan fatwa untuk warisan. Sebab itulah, SKB itu diharapkan akan mengubah potret PA-PA selama ini. "Citra peradilan agama yang selama ini eksklusif akan diakhiri," ujar Alamsyah. Upaya ke arah itu sudah kelihatan dengan adanya desakan dari raker Departemen Agama Mahkamah Agung ke DPR agar segera diundangkan hukun acara PA. Selain itu, Alamsyah juga mengumumkan rencana untuk menjadikan semua hakim PA sebagai pegawai negeri. Semuanya itu dijamin tidak akan membuat PA-PA jadi sekuler. "Jangan khawatir, PA akan tetap religius, sebab hakim-hakimnya tetap bebas," ujar Direktur Pembinaan Peradilan Islam, H. Muchtar Zarkasyih. Tercapainya kesempatan antara kedua lembaga itu menurut Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, "tidak terlepas pula dari qadla dan qadar Ilahi." SKB itu katanya juga sangat penting untuk menghilangkan prasangka-prasangka kurang baik terhadap PA selama ini. "Tapi setelah ini akan ada kejutankejutan," ujar Mudjono. Ia tak mengatakan bentuk kejutan itu. Mudjono menunjuk Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Agama, Busthanul Arifin, untuk menjelaskannya. Tapi Hakim Agung Busthanul Arifin keberatan mengungkapkan semua itu. Ia, katanya, khawatir kalau pendapatnya tidak sejalan dengan pendapat para pejabat di Departemen Agama. Rupanya meski sudah ada SKB, kekhawatiran akan terjadi beda pendapat ternyata masih ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus