JURANG pemisah antara peradilan agama dan peradilan umum,
khususnya Mahkamah Agung, yang selama ini mengganjal, berhasil
diatasi. Sebuah keputusan penting telah tertuang dalam empat
Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama Alamsyah dan
Ketua Mahkamah Agung, Mudjono.
"Keputusan itu mendasar sekali, karena akan menyelesaikan soal
yang sudah 37 tahun terkatung-katung," ujar Menteri Agama,
Alamsyah, selesai penandatanganan.
Maksud Menteri Agama, adalah fungsi Mahkamah Agung sebagai
lembaga peradilan tertinggi yang mengawasi semua lembaga
peradilan di Indonesia, termasuk peradilan agama. Bukan rahasia
lagi, selama ini terjadi konflik diam-diam antara Departemen
Agama dan Mahkamah Agung untuk memecahkan soal itu.
Ke-4 SKB bertanggal 7 Januari yang ditandatangani 6 Januari lalu
itu mengatur 4 masalah: masing-masing soal pengangkatan
hakim-hakim PA, pengawasan hakim, pemberian bantuan hukum, dan
pembentukan lembaa konsultasi antara kedua instansi itu.
Putusan itu positif sekali untuk mengangkat derajat hakim agama
dan merupakan kemajuan yang sudah lama dirancangkan," ujar
Direktur Pembinaan Peradilan Islam, H. Muchtar Zarkasyih selesai
menutup penataran hakim agama se Ja-Teng dan DIY di Solo, Kamis
pekan lalu.
Persiapan untuk lahirnya SKB itu menurut Muchtar, sudah lama
juga. Bulan Juli lalu, diadakan rapat kerja antara Mahkamah
Agung dan Departemen Agama. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung
Mudjono telah mengangkat Hakim Agung Busthanul Arifin sebagai
Ketua Muda Mahkamah Agung bidang agama. Jembatan-jembatan yang
dibuat untuk menghubungkan kedua instansi itulah yang kemudian
melahirkan ke4 SKB itu.
Sebenarnya tanpa SKB itu ke-258 PA dan 10 buah PTA (Pengadilan
Tinggi Agama) yang telah ada selama ini sudah jelas berada di
bawah kekuasaan MA, seperti juga peradilan umum dan militer.
Ketentuan itu tercermin dari bunyi pasal 24 UUD 1945 dan UU
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tapi pelaksanaannya ternyata rumit.
Apalagi tidak ada peraturan pelaksanaan yang mengatur prosedur
perkara kasasi dari PA ke MA.
Selain itu ada pula surat edaran dari Direktur Pembinaan
Peradilan Islam, H. Ichtijanto S.A., SH,1 Mei 1978, kepada
PTA-PTA, agar tidak melayani permohonan kasasi ke MA. Alasannya,
selain tidak ada peraturan pelaksanaan, juga tidak ada hakim
agung agama di MA. (TEMPO 14 April 1979).
Urusan pada tahun-tahun itu semakin runyam. MA yang ketika itu
diketuai Prof. Oemar Seno Adji, tanpa melalui PTA ternyata
sering menerima upaya kasasi langsung dari pencari keadilan yang
tidak puas di PA atau PTA. Pertentangan semakin terbuka ketika
sebuah kasus perceraian yang diputuskan MA, dianggap tidak pas
dengan hukum agama Islam. Kasus itu adalah pembatalan perceraian
Cut Satariah dengan suaminya oleh MA. Padahal wanita itu sudah
ditalaq oleh suaminya di hadapan beberapa orang saksi. Talaq itu
kemudian dikukuhkan PTA Aceh. (TEMPO 26 Juni 1982).
Sebaliknya PA-PA di Indonesia banyak disorot karena terlalu
eksklusif dan kadang-kadang "aneh". "Masak di satu sidang,
seorang penonton yang berdiri di jendela pengadilan ikut-ikut
ngomong mencampuri sidang dan dibenarkan hakim," ujar Direktur
LBH DKI Abdul Rachman Saleh. Pernah pula, katanya, seorang
pembela LBH ditolak oleh seorang hakim PA karena pembela itu
beragama Kristen. "Anehnya hakim (PA) lain menerima pembela
itu," ujar Abdul Rachman Saleh lagi.
Kekurangan-kekurangan peradilan itu diakui oleh kalangan PA
sendiri. Peradilan yang sudah ada sejak tahun 188 itu, ternyata
sampai kini belum mempunyai hukum acara yang dikodifikasikan.
Bahkan hukum-hukum agama yang dipakai untuk memutuskan perkara
juga masih cerai berai dalam kitab-kitab klasik. Jadi bisa saja
dua persoalan yang sama diputuskan berbeda oleh dua PA," ujar
Ketua PA Jakarta Selatan Alimi BA.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah status
hakim-hakim PA. Saat ini tercatat 1.733 hakim PA berstatus
honorer dan hanya 581 orang hakim tetap. Sebagian besar hakim
honorer itu terdiri dari para kiai dengan honor seribu rupiah
setiap bulan di samping honor Rp 250 untuk setiap perkara yang
ikut ia tangani. Padahal banyak perkara harus diurus PA-PA.
Tahun 1981 misalnya tercatat 257.665 perkara. Masalah yang harus
diadili mereka juga tambah banyak sejak ada UU Perkawinan, tahun
1971. Selain hubungan suami-istri, PA juga menangani masalah
orangtua dengan anak dan fatwa untuk warisan.
Sebab itulah, SKB itu diharapkan akan mengubah potret PA-PA
selama ini. "Citra peradilan agama yang selama ini eksklusif
akan diakhiri," ujar Alamsyah. Upaya ke arah itu sudah kelihatan
dengan adanya desakan dari raker Departemen Agama Mahkamah
Agung ke DPR agar segera diundangkan hukun acara PA.
Selain itu, Alamsyah juga mengumumkan rencana untuk menjadikan
semua hakim PA sebagai pegawai negeri. Semuanya itu dijamin
tidak akan membuat PA-PA jadi sekuler. "Jangan khawatir, PA akan
tetap religius, sebab hakim-hakimnya tetap bebas," ujar Direktur
Pembinaan Peradilan Islam, H. Muchtar Zarkasyih.
Tercapainya kesempatan antara kedua lembaga itu menurut Ketua
Mahkamah Agung, Mudjono, "tidak terlepas pula dari qadla dan
qadar Ilahi." SKB itu katanya juga sangat penting untuk
menghilangkan prasangka-prasangka kurang baik terhadap PA selama
ini.
"Tapi setelah ini akan ada kejutankejutan," ujar Mudjono. Ia tak
mengatakan bentuk kejutan itu. Mudjono menunjuk Ketua Muda
Mahkamah Agung bidang Agama, Busthanul Arifin, untuk
menjelaskannya. Tapi Hakim Agung Busthanul Arifin keberatan
mengungkapkan semua itu. Ia, katanya, khawatir kalau pendapatnya
tidak sejalan dengan pendapat para pejabat di Departemen Agama.
Rupanya meski sudah ada SKB, kekhawatiran akan terjadi beda
pendapat ternyata masih ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini