SIAPA yang tidak kenal Adnan Buyung Nasution ? Berkulit hitam, rambut putih, dandy, penampilannya memang selalu "terlepas" dari lingkungannya: senyumnya seperti mengatur, kapan ia bicara lembut, kapan harus berkobar-kobar. Abang Buyung, begitu ia membahasakan dirinya, memang pengacara yang "tampil" di dalam dan di luar pengadilan. Kacak pinggang dan suara lantang pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia itu, bahkan, aksinya terasa "menguasai ruang pengadilan bila ia membela suatu perkara penting. Tapi kali ini ia tersandung. Memang belum diketahui seberapa besar batu sandungannya. Yang pasti, urusannya jadi panjang: ia dituduh menghina lembaga peradilan. Asalnya dari kasus H.R. Dharsono. Pada saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membacakan vonis Dharsono, beberapa waktu lalu, Buyung tiba-tiba merasa tersinggung oleh uraian hakim yang menyebutkan ia tidak etis: Menganggap pemerintah yang mematangkan situasi sehingga peristiwa Tanjungpriok terjadi. Serta merta ia menyambar pengeras suara didepannya dan berseru, "Saya protes kata-kata Majelis itu -- siapa yang tidak etis?" Protes itu membuat Majelis Hakim Soedijono berhenti membacakan vonis. Suasana, yang sejak semula sudah hangat oleh teriakan-teriakan massa, semakin gaduh. Pada saat itulah polisi memasuki ruang sidang. Tapi Buyung, 52, segera membentak dan menuding polisi itu: "Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!" Polisi keluar. Selesai? Vonis untuk Dharsono hari itu memang jatuh: 10 tahun penjara. Tapi "insiden" 8 Januari lalu itu berbuntut panjang. Soedijono, yang kini menjadi hakim tinggi di Medan, bulan lalu mengadukan sikap Buyung itu ke Mahkamah Agung. Buyung kemudian dipanggil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang baru, Soebandi, dan dituduh telah menghina atau merendahkan martabat lembaga peradilan (contempt of court). Kendati Buyung mengeksepsi, bahwa sampai saat ini belum jelas siapa yang berhak memeriksa kasus semacam itu dan bagaimana prosedurnya, pekan lalu Soebandi tetap menyatakan putusan yang berslfat administratif: agar Departemen Kehakiman mencabut izin praktek Buyung sebagai pengacara. "Menurut saya, tingkah laku Buyung itu sudah keterlaluan. Masa hakim diperintah di depan umum. Walau peraturannya belum ada, orang tidak bisa berbuat seenaknya begitu," kata Soebandi, sambil memperagakan sikap Buyung bertolak pinggang di persidangan. Sebaliknya, menurut Buyung, sikapnya justru "untuk menjaga kewibawaan pengadilan". Ia tak setulu polisi sembarangan masuk ruang sidang. Apa pun, karier kepengacaraan Buyung selanjutnya kini memang di tangan Menteri Kehakiman. Tapi Ismail Saleh, pekan ini, menyatakan masih menunggu pertimbangan Mahkamah Agung. " 'Kan advokat itu di bawah pengawasan Mahkamah Agung," kata Ismail Saleh, berkilah. Tapi rasanya tidak sulit meraba apa bunyi "rekomendasi" Mahkamah Agung. Sebab, Ketua Mahkamah Agung, Ali Said, sebelumnya sudah beraba-aba bahwa tindakan Buyung itu memang boleh dibilang menghina pengadilan. "Baca saja KUHAP, kita 'kan harus menghargai pengadilan," komentar Ali Said kepada TEMPO. Apa pun keputusan petinggi hukum, nantinya, yang jelas Buyung bukan advokat pertama yang dihukum hakim karena dianggap tidak menghormati lembaga peradilan. Hakim Agung Bismar Siregar, misalnya, mengaku membuat yurisprudensi pertama. Ketika menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur, 1971, Bismar melarang Pengacara Thamrin Manan berpraktek selama satu tahun. Thamrin Manan "dihukum" Bismar gara-gara mengadu ke pengadilan tinggi dengan kata-kata yang dianggap menghina. "Saya kira itulah yurisprudensi pertama pada kasus contempt of court," ujar Bismar Siregar. Setelah kasus Thamrin Manan itu, memang, hampir tidak terdengar lagi ada pengacara ditindak gara-gara dianggap menghina pengadilan. Barulah, awal 1985 Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Soejoedi Wiroatmodjo membuat geger: "memberhentikan sementara" Pengacara Pamudji (kini almarhum). Keputusan itu kemudian diperkuat pengadilan tinggi yang menganggap Pamudji merendahkan martabat peradilan dengan berbagai pernyataannya di pers yang menilai seorang hakim di Surabaya melanggar hukum acara. "Saya melakukan tindakan itu dalam rangka wewenang saya sebagai pengawas advokat," ujar Soejoedi. Muncul protes keras dari para advokat. Kasus itu jadi dramatis, karena tiba-tiba Pamudji meninggal dunia, akibat serangan jantung. Buyung Nasution, yang mengantarkan Pamudji ke pemakaman, menuding Hakim Soejoedilah yang menjatuhkan semangat hidup rekannya. "Kasus Pamudji ini adalah yang pertama dan terakhir jangan terulang lagi. Di atas dunia ini tidak ada advokat yang dipecat oleh seorang hakim," ujar Buyung, ketika itu. Para advokat, ketika itu, memang menuntut agar pemecatan seorang pengacara dilakukan oleh majelis yang terdiri wakil dari lembaga peradilan dan advokat. Dasar hukumnya? Rechten Ordonnantie, perundang-undangan Zaman Belanda. Tapi tuntutan tinggal tuntutan. Buyung sendiri kini menjadi pengacara berikutnya yang dimintakan pemecatannya oleh seorang hakim. Dan, yang lebih menarik dari semua itu, Buyunglah pengacara pertama yang terkena "perkara", setelah prinsip mengenai contempt of court dimasukkan dalam perundang-undangan -- Undang-Undang Mahkamah Agung -- akhir tahun lalu. Gagasan untuk memberlakukan prinsip itu memang muncul sejak akhir tahun lalu. Kini semakin menghangat. Awal pekan ini, misalnya, para hakim dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Ikahi (organisasi para hakim) mengadakan seminar sehari untuk membahas prinsip itu. Sepekan sebelumnya, para pengacara, yang merasa akan menjadi "calon terdakwa", juga mengadakan diskusi serupa di LBH Jakarta. Entah dari mana, di akhir pembahasan RUU Mahkamah Agung tiba-tiba muncul ide agar undang-undang yang mengatur kekuasaan peradilan tertinggi itu juga mencantumkan ketentuan tentang contempt of court. Semua fraksi dan pemerintah, kabarnya, setuju dengan gagasan itu. Sebab itu, berbeda dengan RUU semula, Undang-Undang Mahkamah Agung yang disahkan pada bagian penjelasannya mencantumkan kata-kata: "Untuk lebih menjamin terciptanya suasana penyelenggaraan peradilan yang baik .... maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap, dan ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan martabat kehormatan badan peradilan yang dikenai sebagai contempt of court." Sudah demikian gawatkah wibawa lembaga peradilan kita? Baik dari DPR maupun pemerintah tidak ada penjelasan resmi tentang itu. Tapi Menteri Kehakiman Ismail Saleh, dalam berbagai kesempatan, mengisyaratkan hal itu. Ia, misalnya, melihat belakangan ini ada usaha-usaha pihak tertentu yang cenderung meremehkan lembaga peradilan. "Peradilan merupakan benteng terakhir upaya menegakkan hukum dan keadilan, sehingga siapa pun wajib ikut menegakkan dan menghormati ...," ujar Ismail Saleh, ketika menutup pendidikan calon hakim, akhir bulan lalu. Tidak jelas siapa yang dituding. Tapi banyak kalangan hukum yang menduga para terdakwa dan pembela perkara subversi yang dimaksud. Sebab, munculnya gagasan melindungi lembaga peradilan dari cercaan itu bertepatan dengan ramainya perkara subversi di Jakarta, akhir tahun lalu, yang diwarnai berbagai pertentangan antara hakim -- jaksa di satu pihak dan terdakwa-pengacara di pihak lain. Pada sidang perkara H.M. Fatwa, misalnya, majelis hakim terperanjat ketika tiba-tiba tim pembela serentak meninggalkan | sidang, setelah permohonan mereka mengajukan Ali Sadikin sebagai saksi ditolak | hakim. Apalagi Fatwa, setelah ditinggalkan pembelanya, ikut-ikutan pula meninggalkan sidang. Aksi "mogok" sidang itu, kebetulan, bersamaan pula dengan tertunda-tundanya persidangan perkara subversi lain dengan terdakwa Abdul Qadir Djaelani dan Mawardi Noor. Kejadian-kejadian itu memang sempat menegangkan. Coba, kalau sidang tertunda terus, masa penahanan bisa habis, dan terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan. Ketua Mahkamah Agung, Ali Said, marah besar. Petinggi hukum itu menuduh para pembela tidak lagi menghormati lembaga peradilan. "Kasarnya, mereka menghina. Pengacara harus memperjuangkan kepentingan kliennya dengan tetap sesuai dengan aturan yang ada -- jangan dengan main ketoprak begitu," kata Ali Said. Berbeda pendapat dengan hakim, katanya boleh-boleh saja. Tapi tidak lalu meninggalkan sidang. "Kalau rapat organisasi, yang tidak setuju bisa pergi sambil kentut, dan tidak apa-apa. Tapi, lho ini 'kan sidang pengadilan. Itu 'kan namanya orang gila, seenaknya," tambah Ali Said, sambil terkekeh. Penghargaan terhadap lembaga peradilan memang sudah semakin kurang. Perintah dan putusan-putusan hakim semakin sulit dilaksanakan -- terutama dalam perkara perdata. Yang lebih parah, ada yang berani, kalau kalah beperkara lalu menyerang hakim. Enam tahun lalu, misalnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Kolonel (purnawirawan) M. Djamil, yang kalah dalam sebuah perkara perdata, mencabut pistol dan menembak kuasa lawannya. Pengacara Soeripto terkapar. Djamil mengalihkan bidikannya ke Majelis Hakim Soetrisno. Untunglah, pistol itu macet, sehingga korban tidak bertambah, kecuali Soeripto yang terpaksa dirawat di rumah sakit. Dua tahun kemudian terjadi drama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Seorang saksi pelapor, Nyonya B.M. Sinaga, menyerbu Hakim Riyanto yang dianggap tidak adil karena membebaskan F.A. Panjaitan dari tuduhan menipu. Ia merobek-robek toga pak hakim. Seorang nyonya lain yang tak puas dengan putusan hakim di Bogor lebih jauh lagi bertindak: memecahkan kaca jendela ruang kerja pengadilan . Penghinaan yang lebih kasar terjadi di Pengadilan Negeri Lahat, Sumatera Selatan. Majelis Hakim yang diketuai Abdulhak Ali tiba-tiba, diserbu saksi pelapor bersama puluhan pengikutnya begitu ia membebaskan seorang terdakwa pemalsu surat tanah. Tak pelak lagi, ketiga anggota majelis dipukuli massa, dan gedung pengadilan hancur berantakan. Cukupkah contoh-contoh di atas untuk melahirkan sebuah undang-undang yang memberikan perlindungan lebih lagi kepada lembaga peradilan? Prof. Oemar Senoadji, pada seminar Ikahi, menganggap penting scgera diwujudkannya peradilan yang bebas dari pengaruh mana pun. Untuk itu perlu ketentuan mengenai contempt of court. Tapi tidak semua ahli hukum sepakat. Prof. Padmo Wahyono, deputi BP7, di seminar Ikahi dan diskusi LBH menilai semua unsur perlindungan peradilan itu sudah diatur oleh undang-undang yang ada, khususnya pada KUHP. Ia tidak melihat perlunya scbuah undang-undang baru untuk mengatur hal itu. Semata-mata untuk melindungi martabat hakim pun Padmo tidak sepenuhnya setuju. "Dengan hanya memfokuskan martabat dan wibawa hakim, kita cenderung hanya melindungi hak kebebasan hakim, dan mengaburkan kewajiban-kewajibannya," katanya. Prof. Soerjono Soekanto tegas menganggap belum saatnya memberlakukan ketentuan itu. Prioritas untuk penegakan wibawa peradilan saat ini, kata Soerjono, adalah membenahi aparatnya. "Bagaimana kita bisa membanggakan sebuah peradilan yang bersih dan berwibawa bila untuk mendaftarkan perkara perdata saja susah," katanya. Rekannya, dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Dr. Soemantri, berkata, "Persoalannya sejauh mana hakim-hakim memiliki kewibawaan dan kejujuran moral sehingga semua pihak menaruh hormat kepadanya. Kalau hakim bisa memelihara kehormatannya, dengan sendirinya pencari keadilan akan menghormati," kata Soemantri (lihat: Mengkomersialkan Palu . . .). Jadi, seandainya hakim tidak menghormati lembaga peradilan, ia bisa juga dituduh contempt of court. Memang, "Siapa pun bisa terkena. Apa dia hakim, jaksa, atau advokat," ujar Ismail Saleh. Karni Ilyas Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini