Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Tinggi atau PT Pontianak menuai sorotan setelah memvonis bebas warga negara asing (WNA) asal Cina, Yu Hao, 49 tahun, dalam perkara tambang emas ilegal. Dalam putusan banding tersebut, majelis hakim membatalkan vonis 3,6 tahun penjara dan denda Rp 30 miliar yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Ketapang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menyatakan terdakwa Yu Hao tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa ijin sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum,” bunyi putusan majelis hakim yang dibacakan pada Senin, 13 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan itu kini mendapat atensi dari Komisi Yudisial (KY). Anggota sekaligus juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan KY mempersilakan masyarakat untuk melapor kejanggalan vonis PT Pontianak terhadap Yu Hao. Pihaknya akan mendalami kasus tersebut.
“Untuk melaporkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) majelis hakim yang menangani perkara ini beserta bukti pendukung,” kata Mukti lewat keterangan tertulis, Jumat, 17 Januari 2025.
Menurut Mukti, laporan dari masyarakat akan direspons KY sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tindak lanjut yang dilakukan KY akan berfokus pada kesimpulan ada tidaknya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim tinggi pada PT Pontianak.
“Publik dapat melaporkan apabila ada dugaan pelanggaran kode etik hakim disertai dengan bukti pendukung, sehingga nantinya laporan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh KY sesuai prosedur yang ada,” kata Mukti.
Kronologi kasus tambang emas ilegal Yu Hao
Kasus tambang emas ilegal Yu Hao terungkap setelah Tim Penyidik PNS (PPNS) Ditjen Minerba menemukan aktivitas penambangan ilegal di area IUP milik PT BRT dan PT SPM yang tengah dalam masa pemeliharaan. Kala itu, Ditjen Minerba bersama Bareskrim Polri menangkap Yu Hao.
“PPNS Minerba didampingi Korwas PPNS Bareskrim Polri menemukan adanya pemanfaatan tunnel yang saat ini statusnya dalam pemeliharaan dan tak memiliki izin operasi produksi,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba Sunindyo Suryoherdadi di kantornya, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu, 11 Mei 2024.
Pada kegiatan yang ada di tambang tersebut, kata dia, WNA Cina itu melakukan produksi yaitu pengambilan bijih emas di lokasi termasuk mengolah dan memurnikan yang dilakukan di terowongan. Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas.
“Temuan sementara, lubang tambang emas ilegal dengan total panjang 1.648,3 meter dengan volume hitungan sementara 4.467,3 meter persegi,” katanya.
Adapun Yu Hao diduga mengkoordinir lebih dari 80 Tenaga Kerja Asing atau TKA Cina dalam operasi tambang ilegal tersebut. Modusnya adalah memanfaatkan tunnel yang seharusnya dalam masa pemeliharaan untuk melakukan penambangan aktif, termasuk penggunaan bahan peledak dan pemurnian emas di lokasi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM mencatat kerugian negara mencapai Rp 1,020 triliun dari hilangnya cadangan emas sebanyak 774,27 kilogram dan perak 937,7 kilogram akibat pertambangan ilegal itu. Hasil uji sampel menunjukkan kandungan emas yang sangat tinggi, mencapai 337 gram per ton pada sampel batu tergiling.
Setelah dibawa ke meja hijau, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau JPU, Yu Hao diduga telah melakukan kegiatan penambangan tanpa izin dalam periode Februari 2024 – Mei 2024. Jaksa menuntutnya atas pelanggaran Pasal 158 UU No 3 Tahun 2009 dengan pidana penjara 5 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar.
Pengadilan Negeri Ketapang lalu memvonisnya 3,6 tahun penjara dan denda Rp 30 miliar. Kendati hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU, Yu Hao tidak terima. Dia lalu mengajukan banding hingga akhirnya divonis bebas majelis hakim PT Pontianak, Isnur Syamsul Arif, Eko Budi Supriyanto, dan Pransis Sinaga.
Jihan Ristiyanti dan Bagus Pribadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.